Bukti Nyata Seni Inklusif: Arif Onelegz dan Lauren Russel Buktikan Setiap Tubuh Bisa Menari

M. Reza Sulaiman
Bukti Nyata Seni Inklusif: Arif Onelegz dan Lauren Russel Buktikan Setiap Tubuh Bisa Menari
Perayaan Kolaborasi Seni Inklusif Inggris Raya–Indonesia di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Dok. British Council)

Jika biasanya kita melihat seni tari sebagai hal yang melekat pada tubuh-tubuh yang lincah dan sempurna, pada Selasa (9/12/2025) malam, Arif Onelegz dan Lauren Russel berhasil menembus batasan tersebut.

Factory Devotion, sebuah karya tari kontemporer interpretatif yang mereka bawakan pada rangkaian Perayaan Kolaborasi Seni Inklusif Inggris Raya–Indonesia di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi buktinya.

Penampilan mereka membawa penonton ke sudut baru dunia seni, tempat tidak ada batasan pada tubuh untuk dapat berkarya. Pertunjukan ini menjadi pusat perhatian dalam rangkaian acara British Council karena tidak hanya memukau secara artistik, tetapi juga menunjukkan bagaimana seni bisa menjadi inklusif.

Melihat Disabilitas dari Perspektif Lingkungan, Bukan Tubuh

Di konferensi pers, Summer Xia, Country Director British Council untuk Indonesia dan Asia Tenggara, menjelaskan bahwa seseorang menjadi disabilitas bukan karena tubuhnya, melainkan karena lingkungan yang tidak ramah.

“Lauren itu menjadi disabilitas apabila dia harus tampil di sebuah panggung yang tidak ada bidang landai… Lauren sendiri mungkin tidak disabilitas kalau diberikan lahan landai untuk mengakses area panggung.”

Secara sederhana, masalahnya bukan pada Lauren, melainkan pada lingkungan yang tidak didesain ramah untuknya. Ketika ruangnya dibuat ramah, Lauren bisa tampil maksimal sebagai seniman, bukan sebagai orang dengan kebutuhan khusus, tetapi sebagai penari yang punya cerita.

Perayaan Kolaborasi Seni Inklusif Inggris Raya–Indonesia di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Dok. British Council)
Perayaan Kolaborasi Seni Inklusif Inggris Raya–Indonesia di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Dok. British Council)

Inklusi Tertanam dari Seni

Inklusi seharusnya menjadi hal yang perlu dikedepankan sehingga penting bagi kita untuk memahami bahwa akses bukanlah fasilitas, melainkan sebuah standar. Mulai dari desain acara, bentuk panggung, teknis latihan, sampai proses kreatif, semuanya dipikirkan untuk memastikan seniman dengan disabilitas dapat berpartisipasi.

Hal ini sangat terasa dalam Factory Devotion. Gerakan tidak dipaksakan untuk mengikuti standar tari tertentu. Justru, koreografinya menyesuaikan tubuh Arif dan Lauren, bukan sebaliknya.

Summer juga menambahkan bahwa British Council melibatkan teman-teman disabilitas dalam mengembangkan program yang dikhususkan untuk mereka. Prinsip “Nothing About Us Without Us” menjadi salah satu pedoman yang dipegang. Dalam hal ini, inklusi bukan soal memberikan jalur khusus atau perhatian ekstra. Inklusi adalah memastikan tidak ada hambatan yang menahan seseorang untuk tampil, berkarya, atau ikut terlibat.

Dua Budaya, Satu Bahasa Tubuh

Arif dan Lauren berasal dari dua negara dengan latar belakang yang berbeda, tetapi karya mereka terasa seperti satu napas. Mereka membangun gerakan dari tubuh masing-masing, dari pengalaman, dan dari ritme yang berbeda-beda.

Program Connections Through Culture dari British Council membuat pertemuan itu menjadi mungkin. Hasilnya adalah sebuah penampilan yang tidak hanya indah, tetapi juga membuka cara pandang baru tentang tubuh, akses, dan seni.

(Flovian Aiko)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak