Dulu Diragukan Kini Diakui, Saga Petani Tegalsari Wujudkan Pertanian Organik

Hayuning Ratri Hapsari
Dulu Diragukan Kini Diakui, Saga Petani Tegalsari Wujudkan Pertanian Organik
Fandoli, salah satu anggota KUB Sarimulyo, saat diwawancarai di halaman kediamannya di Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Jalan perubahan memang tidak selalu mulus. Seringkali landai, tak jarang pula terjal. Hal ini dialami oleh sekelompok petani di Dusun Tegalsari di Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Mereka membawa inovasi tanaman organik. Namun, upaya tersebut sempat memantik keraguan. Bisakah mereka membawa perubahan?

Dulu, Dusun Tegalsari di Desa Wonosari mungkin merupakan desa agraris biasa. Mayoriitas warganya memang menanam jagung. Namun kini, sekelompok petani yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sarimulyo menciptakan inovasi dalam pola tanam yang berbeda. Alhasil, inovasi ini pun dilirik oleh banyak orang.

Berawal ketika Ngarimin, 52 tahun, selaku Ketua KUB Sarimulyo bersama salah seorang anggota, Fandoli, 49 tahun, memberikan lahan seluas 5.000 meter persegi atau 0,5 hektare sebagai ‘kebun pembelajaran’. Di sana, mereka dan anggota lainnya belajar melakukan diversifikasi tanaman menggunakan sayuran dan pupuk organik cair (POC).

Lokasi pembuatan pupuk organik cair di Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.(Dokumentasi pribadi)
Lokasi pembuatan pupuk organik cair di Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (Dokumentasi pribadi)

“Awalnya itu, saya punya tanah di sini. Saya sendiri punya tanah seperempat hektare. Saat itu mau tanam gimana, nah saya ngomong sama teman-teman. ‘Udah ini tanah saya aja buat pembelajaran! Kalau nggak punya lahan pembelajaran, kita mau belajar gimana. Akhirnya ya tidak apa-apa tanah saya dibikin tempat penanaman untuk kita,” kata Ngarimin ketika ditemui beberapa waktu silam.

Lahan itu kini dikelola bersama dan ditanami berbagai sayur seperti terong, pare, labu madu, sereh wangi, hingga kacang panjang. Namun, perjalanan mereka tidak mudah. Mereka mendapatkan kesulitan dalam mengubah pola tanam masyarakat. Ini terutama bagi warga yang memang sudah dari dulu menanam jagung.

Ngarimin pun bersaksi, “Dulu, (masyarakat–RED) sempat menanam kacang tanah dan padi. Tapi sekarang semua menanam jagung. Sampai hari ini, jika (masyarakat–RED) disuruh beralih ke tanaman lain itu, tidak mau. Berarti jika ingin mengubah (perilaku masyarakat–RED), memang harus perlahan. Pokoknya mana yang lebih menghasilkan dari sisi pendapatan.”

Nggak cuma itu, meski banyak yang menerima, tak jarang pula yang menolak upaya perubahan dari KUB Sarimulyo. Resistensi umumnya datang dari sebagian masyarakat yang terbiasa menggunakan pupuk kimia dan menerapkan sistem pertanian konvensional. Banyak dari mereka yang merasa skeptis terhadap sistem tanam KUB Sarimulyo.

“Tanggapan masyarakat itu beragam—ada yang tertarik, tapi ada juga yang menentang. Mereka bilang, ‘Oh, kamu kok menanam seperti ini? Memangnya tanpa pupuk kimia bisa tumbuh? Itu nggak boleh,” ujar Ngarimin.

Namun waktu membuktikan bahwa pupuk organik yang mereka racik sendiri mampu menghasilkan sayuran lebih hijau dan sehat. Terlebih sebelum menjualnya, Ngarimin dan KUB Sarimulyo bereksperimen menggunakan pupuk organik di kebun sendiri. Ngarimin menekankan kini masyarakat mulai bisa membandingkan sendiri kualitas hasil panen organik mereka.

“Tetangga saya yang menanam kacang panjang dengan pupuk kimia, daunnya malah kuning-kuning. Sementara tanaman saya yang pakai pupuk organik, daunnya justru kebanyakan hijau. Selain itu, tanaman yang menggunakan kimia, ada yang bisa dipanen namun tak jarang yang gagal (panen–RED),” terang dia.

Ngarimin pun mengakui, “Memang sulit mengajak masyarakat beralih ke organik karena dianggap lebih ribet. Misalnya, pupuk organik harus disemprot setiap tiga hari selama seminggu. Sedangkan kalau pakai kimia, jagung umur 12 hari dipupuk satu kali, setengah hari saja cukup untuk menggarap 1,5 hektare. Nanti umur 35 sampai 40 hari tinggal dipupuk lagi.”

Pernyataan tak jauh berbeda disampaikan oleh Fandoli. Tak jarang warga yang meremehkan cara mereka menanam sayuran. Bahkan, menurut Fandoli, “(Diremehkan–RED) Itu sudah biasa bagi kami. Mereka yang meremehkan biasanya beranggapan bahwa menanam sayur itu ya lebih repot dibandingkan menanam jagung seperti yang mereka lakukan.”

KUB Sarimulyo tak hanya berhasil dari sisi pertanian, tetapi juga membentuk sistem pembelajaran terbuka yang fleksibel. Ngarimin mengungkapkan bahwa tak ada jadwal tetap dalam pembelajaran ini. Setiap anggota bebas bergabung saat ada waktu luang, dan kegiatan dilakukan secara spontan berdasarkan kebutuhan kelompok.

“Tidak ada jadwal yang baku atau kewajiban tertentu untuk belajar. Misalnya, kalau ada dua orang yang sedang tidak ada pekerjaan, kami ajak bikin POC. Kalau ada empat orang yang lowong, kami ajak bikin kompos. Jadi tidak harus semua 16 orang anggota terlibat sekaligus. Kadang hanya 2 sampai 4 orang saja yang aktif membuat POC,” tukas Ngarimin.

Menurut Ngarimin, pendekatan dengan model fleksilibitas seperti ini lebih efektif. Sebab, pengerjaan produk pupuk organik cair ini tidak membebani anggota dengan rutinitas kaku dan justru meningkatkan solidaritas antarpetani.

Perubahan kecil berdampak besar

Sambil menatap nanar, Fandoli menuturkan kebanggaannya terhadap perubahan yang telah dicapai oleh dirinya dan para anggota KUB Sarimulyo. Ia mengaku bahwa awalnya banyak warga yang tidak memperhatikan kebun mereka. Namun, lahan mereka mulai mencuri perhatian terutama bagi warga yang melewati wilayah tersebut.

Kebanggaan Fandoli memang beralasan. Lahan pembelajaran tersebut memang berbeda dari sebagian besar wilayah yang notabene dihuni tanaman jagung. Lahan seluas 0,5 hektare itu dihuni beragam tanaman sayur. Di bagian tengah lahan tersebut, ada sebuah bangunan kecil tempat warga bersantai dan juga menampung pupuk organik cair buatan mereka.

“Saya bangga ketika warga yang lewat memuji lahan sayur saya, dan saya merasa senang karena hasil panen sayur lebih menguntungkan dibandingkan jagung,” kata Fandoli menatap nanar.

Nah, salah seorang pendorong utama perubahan ini adalah Eko Maryanto, Ketua Yayasan Rebo Ijo. Ia ingin membangun kesadaran pentingnya pertanian berkelanjutan. Dia memberikan pelatihan tentang pengelolaan lahan, pembuatan pupuk organik hingga manajemen kelompok.

Eko pun mengatakan, “Saya selama 7 tahun melatih masyarakat secara gratis untuk masyarakat yang ingin berubah.”

Menurut Eko, tantangan utama di Wonosari adalah minimnya pemahaman tentang teknik bertani yang baik. Ia melihat banyak petani tidak mengetahui proses penanaman secara tepat, mulai dari pengolahan tanah hingga pengendalian hama secara alami. Terlebih, tingginya biaya transportasi hasil panen. Ini menjadi hambatan untuk menjangkau pasar di kota.

"Selain soal kebijakan, kurangnya ilmu atau pemahaman tentang sektor pertanian juga menjadi masalah karena mereka tidak tahu proses penanaman yang benar. Selain itu, biaya transportasi hasil panen juga tinggi," ujar dia.

Namun pelan tapi pasti, perubahan terlihat. Eko mengamati anggota KUB kini mampu memenuhi kebutuhan dapur mereka sendiri dengan hasil panen dari kebun organik. Ini, kata dia, merupakan bentuk ketahanan pangan yang nyata di tingkat keluarga.

“Kalaupun hasil panen tidak terjual, minimal bisa untuk makan sendiri, dimasak sendiri dan mendapatkan manfaat dari sayur yang sehat,” terang Eko.

Dampak ekonomi juga tak bisa dipandang remeh. Ngarimin menjelaskan meskipun hasil panen tidak selalu besar, hasilnya cukup untuk menopang kebutuhan harian dan lebih bernilai dibanding hanya menanam jagung.

“Biar sedikit, tapi kalau dihitung, bisa lebih banyak meraup pendapatan dari hasil tanaman sayuran," ujar Ngarimin.

Memang, belum semua warga Dusun Tegalsari beralih ke organik. Tapi, jejak perubahan yang dilakoni KUB Sarimulyo sudah jelas. Fandoli berharap nantinya semua masyarakat bisa beralih menggunakan pupuk organik agar tidak merusak lingkungan sekitar.

“Harapannya, semoga apa yang KUB mimpikan bisa terwujud. Masyarakat bisa berpindah menggunakan pupuk organik setelah melihat keberhasilan kami, jadi kami sangat bersungguh-sungguh menjalankan program ini,” kata Fandoli.

Adapun program ini merupakan bagian dari kemitraan Yayasan Rebo Ijo bersama Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia, yang mendukung inisiatif masyarakat sipil dalam adaptasi perubahan iklim dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal.

Inisiatif ini menunjukkan bagaimana adaptasi terhadap perubahan iklim bisa dilakukan dari tingkat lokal. Dengan inovasi dan semangat gotong royong, petani Tegalsari membuktikan bahwa pertanian ramah lingkungan bisa menjadi solusi masa depan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak