Cinta adalah sesuatu yang sakral. Ia tak bisa dikotori oleh hawa nafsu yang akan mencelakakan atau menyakiti orang yang dicinta. Bila ada orang mengatakan mencintai seseorang, tapi cintanya malah membuatnya melukai kekasih hatinya, maka perlu dipertanyakan cinta yang terucap dari mulutnya.
Hamid Baedowi dalam tulisannya Ini Beda Cinta dan Nafsu dalam Tafsir Para Ulama menguraikan, apabila cinta adalah perasaan yang bersumber dari ketulusan kasih sayang, maka cinta tidak akan memberikan apapun selain kebaikan. Perasaan ingin menyayangi, mengasihi, melindungi, menjaga, memuliakan, melayani, berkorban, dan memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai, itulah manivestasi konkret dari cinta.
Apabila ini bisa diterima, maka menjadi jelas bahwa cinta berbeda dengan ketertarikan seksual, syahwat, nafsu berahi, atau bahkan dengan perasaan ingin memiliki. Sebab kalau hanya urusan ketertarikan seksual atau syahwat biologis, tanpa cinta pun bisa jadi (bincangsyariah, 10/3/2020).
Bicara tentang cinta, ada yang menarik direnungi dalam buku kumpulan cerpen berjudul Pesan untuk Kekasih Tercinta. Buku yang berisi dua belas cerpen pilihan ini ditulis oleh para penulis dari beragam latar dan kesemuanya pernah termuat dalam majalah Esquire Indonesia.
Pesan untuk Kekasih Tercinta adalah cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang berkisah tentang seorang lelaki yang sedang tergila-gila pada Maneka, perempuan kekasih hatinya. Semua bermula dari perkenalan lewat telepon genggam. Waktu itu, telepon genggam belum secanggih sekarang yang bisa dengan mudahnya saling bertukar gambar atau melakukan panggilan video call. Berikut ini saya kutipkan sedikit petikan cerpen tersebut:
Mula-mula suara, ya hanya suara—dan bagaimanakah caranya suara dapat membayangkan dengan tepat sosok manusia? Seperti apa pun yang dibayangkannya tidaklah seperti kenyataannya, dan betapa tiada akan terpesona jika suatu ketika sosok yang berkelebat di hadapannya ternyata begitu indah, sangat indah, bagaikan tiada lagi yang akan bisa menjadi lebih indah, sehingga udara pun bergelombang dalam pandangannya? (Pesan untuk Kekasih Tercinta, halaman 123-124).
Singkat cerita, perkenalan mereka pun berlanjut kopi darat. Tak hanya bertemu, mereka juga memadu kasih layaknya pasangan suami-istri. Hal yang mestinya tak boleh dilakukan tentu saja, terlebih mereka berdua ternyata sudah memiliki pasangan sah masing-masing.
Si lelaki telah memiliki istri, sementara Maneka juga telah bersuami. Hubungan perselingkuhan tersebut terus berlanjut. Perselingkuhan dengan mengatasnamakan cinta. Ya, karena cinta, sebagaimana saya ungkap di awal adalah sesuatu yang sakral, tak bisa dikotori oleh hawa nafsu.
Kisah perselingkuhan dalam cerpen Pesan untuk Kekasih Tercinta tersebut sepertinya biasa terjadi di tengah masyarakat. Ada saja ditemukan orang yang telah bersuami atau beristri, tapi ternyata di belakang pasangan sahnya mereka melakukan perselingkuhan. Semoga kisah ini dapat menjadi renungan bersama, agar kita berusaha hati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis. Agar kita berusaha setia terhadap pasangan sah masing-masing.
***