Pemilik nama Daud Beureueh adalah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan yang mungkin sedikit orang mengenalnya. Mengapa tidak? Keberanian dan kekecewaan Daud Beureueh kepada pemerintah pusat kala itu, justru memilih untuk mengangkat senjata melawan pemerintah pusat karena meninggalkan daerah yang ia kuasai, yaitu Aceh.
Seperti buku yang ditulis Johan Prasetya, "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan," Daud Beureueh lahir pada tahun 1898 di Sigli, nama kecilnya adalah Muhammad Daud. Waktu kecil, Ia hanya bisa menempuh pendidikan di beberapa pesantren di Sigli, termasuk pesantren milik Teungku Abdul Hamid. Hingga akhirnya, pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa'adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli.
Nama Daud dikenal sebagai ulama yang sangat dikagumi, pengaruhnya amat besar dalam mengajarkan ilmu yang ia miliki. Tidak hanya memukau, Daud bahkan tidak segan melontarkan kritik keras terhadap orang yang meninggalkan akidah Islam.
Atas keberanian dan kelihaian Daud Beureueh, alhasil Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler, meskipun Daud tidak pernah menempuh pendidikan formal. Dalam kiprahnya, Daud Beureueh memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Selain itu, Daud juga mampu menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka akan digabungkan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Kiprah Daud Beureueh yang terpenting juga saat di dalam lembaga PUSA, yang ia dirikan pada tahun 1939. Di lembaga PUSA terjadi ketidakcocokan dengan kaum uleebalang (golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh) yang didukung pemerintah Belanda. Hubungan tidak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja sudah lama terjadi sebenarnya. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya pun ketika terjadi Perang Cumbok.
Van Dijk mencatat bahwa menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah nampak. Di samping itu, Van Dijk menuding gerakan PUSA tidak independen karena memakai persenjataan dari Jepang. Akan tetapi, El Ibrahimy membantah tudingan itu, bahwa senjata yang dipakai merupakan sisa-sisa yang disita rakyat dari Jepang.
Padahal, serangan kepada Daud dan PUSA memang beragam. Bukan hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Ksysyafatul Islam, pernah disebut-sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dari Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. Memang pemberontakan Daud Beureueh terjadi secara berlarut-larut.
Setelah menjalani pemberontakan panjang pada 1961, Daud Beureueh pun menyerahkan diri kembali ke pangkuan RI. Dalam surat menyuratnya, Daud bersedia turun gunung asalkan diberi kesempatan untuk bermusyawarah dengan kalangan ulama.
Meski begitu, awal Mei 1978, Daud Beureueh diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru demi mencegah kharismanya mempengaruhi rakyat Aceh melakukan perlawanan. Semasa di Jakarta, Daud menderita dan kesehatannya pun merosot tajam. Daud Beureueh tutup usia di tanah Aceh pada tahun 1987.
Referensi: Prasetya, Johan. “Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan.” Penerbit Saufa.