Konflik Rusia-Ukraina: Celah Meningkatnya Perdagangan Manusia?

Ayu Nabila | Titan Alramadhan
Konflik Rusia-Ukraina: Celah Meningkatnya Perdagangan Manusia?
Gambar satelit menunjukkan situs kuburan dengan parit sepanjang sekitar 45 kaki (sekitar 13,7 meter) di bagian barat daya lahan Gereja St. Andrew & Pyervozvannoho All Saints, di Bucha, Ukraina, 31 Maret 2022. (Citra satelit 2022 Maxar Technologies/HO via Reute)

Perdagangan manusia bukanlah fenomena baru bagi negara-negara di Eropa. Kejahatan ini menjadi semakin sering terjadi karena dipercaya dapat menjadi ladang bisnis bagi orang-orang tidak bertanggung jawab. Para pelaku melakukan aksinya atas dorongan dari beberapa faktor, dan yang paling mengejutkan adalah ditemukannya indikasi permintaan akan layanan seksual. 

Para pelaku biasanya mengeksploitasi orang-orang yang rentan dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, serta para imigran juga tergolong dalam sasaran empuk para pelaku. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Komisi Eropa, dalam kurun waktu 2017 hingga 2018 dinyatakan bahwa 49% korban perdagangan manusia di Eropa adalah penduduk negara-negara Uni Eropa. Negara Uni Eropa dengan penyumbang korban perdagangan manusia terbanyak di antaranya adalah Rumania, Hongaria, Belanda, Prancis, dan Bulgaria. 

Selain itu, Eropa juga menjadi sasaran empuk bagi para pelaku perdagangan manusia yang membawa korban dari Nigeria, negara-negara di Amerika Selatan, bahkan dari Asia Timur.

Saat ini, kondisi Eropa sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak? Presiden Rusia, Vladimir Putin telah mendeklarasikan perang kepada Ukraina sejak 24 Februari 2022 kemarin. Rusia memulai serangannya dengan meledakkan sejumlah titik di Ukraina, seperti Kharkiv, Mariupol, Odessa, dan tak lupa Ibu Kota Kiev.

Menurut data statistik yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Maret 2022 kemarin, setidaknya lebih dari 3 juta orang Ukraina terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga, di antaranya Polandia, Slovakia, Hungaria, Romania, dan Maldova. Sebagian besar pengungsi terdiri dari perempuan dan anak-anak. 

Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual adalah bentuk perdagangan manusia yang paling sering terjadi, dan 92% korban dari kejahatan itu adalah perempuan. Berkaca pada kondisi yang terjadi di Eropa saat ini, di mana banyak sekali perempuan dan anak-anak yang menjadi imigran ke negara lain, menjadikan mereka sasaran empuk dalam perdagangan manusia. 

Kondisi ini semakin diperkeruh karena adanya pandemi Covid-19. Negara-negara Eropa menjadi terkendala dalam merespon persoalan imigran dan perdagangan manusia. Hal ini dibuktikan dengan terganggunya layanan bagi korban dan penyintas, sumber daya penegakan hukum untuk memerangi hal ini banyak dialihkan untuk menuntaskan persoalan pandemi, serta pengawasan di perbatasan yang tidak optimal. Dalam kondisi seperti ini, tentunya pelaku perdagangan manusia akan semakin sulit dideteksi.

Meningkatnya indikasi perdagangan manusia dalam situasi konflik ini juga sudah diperingatkan oleh Kepala Komisi International Organization for Migration (IOM) Ukraina, Anh Nguyen. Beliau menjelaskan bahwa pelaku kriminal seperti perdagangan manusia dapat menyesuaikan diri dengan situasi konflik secara cepat, karena itulah beliau mengimbau warga Ukraina yang meninggalkan kediamannya untuk lebih berhati-hati saat bepergian.

Uni Eropa, sebagai organisasi terbesar yang menghimpun negara-negara di Eropa, sudah memberikan tanggapannya dalam mengupayakan masalah ini. Pada 4 Mei 2022 kemarin, Komisaris untuk Urusan Dalam Negeri Uni Eropa, Yiva Johansson, telah menjabarkan rencana aksi melawan perdagangan manusia yang dikembangkan di bawah naungan Koordinator Anti-Perdagangan Manusia Uni Eropa (The EU Anti-Trafficking Coordinator). Rencana aksi tersebut bertujuan untuk mencapai lima hal, di antaranya:

  1. Memperkuat peningkatan kesadaran tentang risiko perdagangan manusia;
  2. Memperkuat  pencegahan terhadap perdagangan manusia;
  3. Meningkatkan penegakan hukum dan respons peradilan terhadap perdagangan manusia;
  4. Meningkatkan mekanisme deteksi perdagangan manusia;
  5. Menangani risiko perdagangan manusia di negara-negara non-Uni Eropa, terutama Ukraina dan Moldova.

Aktivitas perdagangan manusia akan lebih sukar untuk diatasi jika terjadi di wilayah konflik, seperti Ukraina. Semakin lama konflik ini terjadi, semakin besar pula celah untuk terjadinya aktivitas perdagangan manusia. Meskipun Ukraina dan Uni Eropa telah mengerahkan upayanya masing-masing dalam persoalan ini, para pengungsi diharapkan untuk senantiasa berhati-hati dalam beraktivitas.

Sumber:

Boucaud, Pascale. 2020. “Human Trafficking in Europe.” Revue Juridique de l’USEK: 135–58.

Nations, United. 2022. “Russian Invasion in Ukraine Leads to Increased Risks of Human Trafficking – IOM.” (March): 1–5.

Negotiations, Directorate-General for Neighbourhood and Enlargement. 2022. “Ukraine: Commissioner Johansson Presents the Plan Against Human Trafficking to the EU Solidarity Platform.” (May): 2–3.

Peseckyte, Giedre. 2022. “EU to Step Up Human Trafficking Prevention for Ukrainian Refugees.” (March): 3–5.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak