Bagi kalian yang gemar membaca karya-karya sastra, khususnya karya-karya sastra Indonesia, tentu kalian sudah tidak asing lagi dengan seorang pengarang yang bernama Seno Gumira Ajidarma, bukan?
Yap, Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang masih produktif menulis karya sastra hingga saat ini. Beliau dilahirkan di Boston pada 19 Juni 1958, lalu menetap lama di Yogyakarta.
Setelah lulus SMA pada usia sembilan belas tahun, beliau memulai kariernya sebagai wartawan lepas di Harian Merdeka. Sastrawan yang saat ini masih menjabat sebagai rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu dikenal karena gaya kepenulisannya yang cenderung lepas atau tidak terpatok pada teori-teori kepenulisan, dan bisa dibilang gaya kepenulisannya itu seringkali mengangkat hal-hal yang absurd.
Meskipun demikian, bukan berarti karya-karya Seno Gumira Ajidarma itu kalah dengan para pengarang lain yang cenderung mengangkat tema yang realistis, lho. Karena bagaimanapun karya-karya Seno Gumira Ajidarma itu mampu memberikan warna baru dalam dunia sastra Indonesia.
Membahas karya-karya seorang pengarang, sepertinya akan terasa kurang mumpuni bila saya tidak menyuguhkan karya-karyanya secara langsung. Dan kali ini, paling tidak salah satu saja, saya akan membahas salah satu karya sastra yang berupa sebuah buku kumpulan cerpen dari seorang pengarang yang namanya saya sebutkan tadi di atas, yakni Seno Gumira Ajidarma, dengan salah satu karya sastranya yang berjudul Saksi Mata.
Buku Saksi Mata merupakan salah satu buku kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 oleh penerbit Bentang Budaya. Cerita-cerita yang terkumpul dalam buku Saksi Mata ini sebenarnya merupakan cerita-cerita yang berdasarkan pada kejadian nyata, yang pada mulanya merupakan berita-berita yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ketika menjabat sebagai redaktur pelaksana Jakarta Jakarta, mengenai insiden Dili yang terjadi pada tahun 1991.
Akibat berita-berita yang ditulisnya mengenai insiden Dili itu, Seno Gumira Ajidarma kemudian dilepaskan untuk sementara waktu dari tugasnya sebagai redaktur pelaksana Jakarta. Berita-berita yang pernah ditulisnya itu kemudian mendorongnya untuk menulis cerita-cerita pendek yang saat ini dikumpulkan dalam sebuah buku, yang berjudul Saksi Mata.
Buku Saksi Mata ini bisa dibilang berisikan gambaran-gambaran mengenai peristiwa yang pernah terjadi di Timor Timur saat itu. Penderitaan, peperangan, pengkhianatan, perjuangan, dan semacamnya menjadi tema yang ingin penulis angkat dan sampaikan kepada para pembacanya agar para pembacanya itu dapat mengetahui sejarah yang 'disembunyikan' mengenai insiden Timor Timur.
Buku Saksi Mata ini memuat enam belas cerpen yang masing-masing menceritakan kisah yang berbeda tetapi tetap dengan 'penderitaan' yang sama. Hampir secara keseluruhan cerpen-cerpen pada buku ini menyajikan hal-hal yang dapat dikatakan di luar nalar, seperti misalkan seseorang tanpa mata, seseorang tanpa telinga, dan semacamnya; terlepas dari benar atau tidaknya hal-hal yang seperti itu, buku ini bisa saja menceritakan kejadian yang barangkali disembunyikan.
Ilustrasi yang disajikan pada beberapa halaman awal cerpen-cerpen dalam buku ini juga mampu mendukung jalannya cerita, hingga membuat cerita-cerita dalam buku ini terasa begitu nyata. Buku ini sangat cocok bagi kalian yang ingin mengetahui salah satu sisi kelam dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia yang dimimpin oleh para petinggi militer. Buku ini membuat kalian melihat sejarah dari sudut pandang yang tidak hanya satu arah. "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara" begitulah kata Seno Gumira Ajidarma.
Itu tadi merupakan sedikit ulasan mengenai salah satu buku kumpulan cerpen karya prosais Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Saksi Mata. Adapun ulasan di atas merupakan ulasan saya pribadi yang berdasarkan pada buku yang dibahas. Itu saja yang ingin saya sampaikan, dan untuk segala kekurangan saya sampaikan permohonan maaf. Di akhir kalimat saya ucapkan terima kasih dan semoga bermanfaat.