Dunia Politik Diwarnai Intrik dalam Buku "Dramaturgi Politik Indonesia"

Ayu Nabila | Sam Edy Yuswanto
Dunia Politik Diwarnai Intrik dalam Buku "Dramaturgi Politik Indonesia"
Buku "Dramaturgi Politik Indonesia" (DocPribadi/ Sam Edy)

“Dunia politik penuh dengan intrik.” Begitu penggalan kalimat yang pernah disampaikan Iwan Fals dalam salah satu lagunya. Memang tak dipungkiri, dunia politik memang diwarnai intrik dan sarat kepentingan-kepentingan. Karenanya tak heran bila sebagian orang tak menyukai dan enggan terlibat dalam dunia politik.

Namun, sebagian orang justru sebaliknya. Mereka begitu getol menggeluti dunia politik dan ingin ikut andil di dalamnya. Dalam bukuDramaturgi Politik Indonesia” diuraikan, pembicaraan tentang politik menjadi menarik sekaligus menakutkan, bahkan dianggap berbahaya bagi banyak kalangan. Politik selalu terkait penyingkapan kelakukan kurang etis, peraih kemenangan dengan beragam cara, dan konsekuensi mengorbankan kepentingan orang lain. 

Banyak rahasia dan manipulasi dalam politik. Mengingat sifatnya yang sensitif, tidak semua orang bisa berbicara terbuka tentang sebuah tema yang memiliki konsekuensi politis serius seperti kasus korupsi, HAM, manipulasi fakta dalam praktik kampanye presiden, maupun isu lainnya (halaman 2).

Muhamad Sulhan menguraikan, wawancara sebagai salah satu cara mengungkap fakta politik seringkali terkendala ketakutan dan kehati-hatian narasumber penghasil berita. Kecenderungan sensitif menanggapi pertanyaan bila terkait dengan kepentingan politik akan selalu terjadi. Apabila orientasi pembicaraan cenderung merugikan dirinya, narasumber akan mengambil sikap hati-hati. Mungkin dari sinilah muncul adagium ‘diam itu emas’. Apabila seorang tokoh atau narasumber diwawancarai oleh wartawan tentang hal politis yang merugikan dirinya, biasanya jawaban ‘no comment’ atau ‘tidak tahu’ selalu muncul. Bisa jadi tokoh ini akan diam saja saat direkan oleh kamera, atau mengambil perilaku ekstrem menghindari wartawan. Hal ini terjadi dalam praktik jurnalistik berwujud berita, investigasi, maupun tayangan ‘hot news’ sebuah stasiun televisi.

Dalam buku terbitan Intrans Publishing ini, Muhamad Sulhan membeberkan dua aspek yang menjadi penyebab kesulitan proses mengungkat fakta dari pengakuan narasumber politik. Dua aspek tersebut yakni:

Pertama, karakteristik personal dan kepribadian sang narasumber yang sangat terkait dengan kondisi emosionalnya. Proses wawancara seringkali gagal karena narasumber enggan atau bahkan tidak mau memberikan keterangan (jawaban) pertanyaan yang diberikan. Kepribadian dan personality narasumber menjadi hambatan sekaligus juga peluang bagi seorang wartawan untuk mengungkap fakta. Beragam pengalaman wartawan di Indonesia menunjukkan bahwa karakter dan personality narasumber akan berpengaruh besar dalam proses investigasi.

Kedua, sifat dan tema informasi yang ingin didapatkan memiliki tingkat sensitifitas politis yang cukup tinggi. Biasanya akan terjadi pada tema-tema bermuatan politik terkait kepentingan banyak pihak, mungkin menyangkut kepentingan negara, atau berpengaruh pada kerugian posisi politis sang narasumber. Dalam kondisi demikian, narasumber lebih memilih hati-hati dalam menjawab atau sama sekali diam. Pada titik inilah proses pengungkapan informasi menjadi barang mahal. Sejauh ini, institusi media massa pun menyadari sepenuhnya kondisi tersebut.

Bagi yang menyukai dunia politik, terbitnya buku “Dramaturgi Politik Indonesia” karya Muhamad Sulhan ini semoga dapat dijadikan salah satu sumber rujukan berharga dan mencerahkan. Selamat membaca!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak