Pentingnya Budaya Membaca dalam Buku Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu

Hikmawan Firdaus | Sam Edy Yuswanto
Pentingnya Budaya Membaca dalam Buku Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu
Buku Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu.[Dokumen pribadi/ Sam Edy]

Budaya membaca mestinya terus digalakkan. Dimulai dari keluarga dan orang-orang terdekat. Misalnya, ayah dan ibu mengajarkan pentingnya membaca buku kepada anak-anaknya di rumah. Jangan hanya sekadar memerintah atau menyuruh, tapi orangtua juga harus memberikan contoh secara nyata.

Saya yakin, orangtua yang memiliki kebiasaan membaca buku, maka kebiasaannya itu akan ditiru oleh putra-putrinya. Jangan lupa, orangtua juga harus menyediakan buku-buku di rumah, yang disesuaikan dengan kondisi atau usia anak-anaknya. Sisihkan sebagian uang untuk membeli buku-buku setiap bulannya agar koleksi buku di rumah semakin banyak sehingga anak-anak akan memiliki banyak pilihan buku bacaan.

Tak perlu khawatir tentang harga-harga buku baru yang mahal. Karena kita bisa memulainya dengan membeli buku-buku original terbitan lama yang banyak dijual di toko-toko buku online. Ingat, jangan sampai membeli buku-buku bajakan karena hal tersebut sangat merugikan banyak pihak, khususnya pihak penerbit dan penulis buku.

Selain gemar membaca, gemar membeli buku mestinya diupayakan. Jangan sampai kita hanya gemar meminjam buku pada orang lain alias tak pernah ada niat untuk membeli dan memiliki buku. 

Bicara tentang pinjam meminjam buku, ada sebuah kisah menarik dalam buku kumpulan cerpen berjudul “Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu” karya Ade Ubaidil. Salah satu cerpen yang menarik disimak berjudul “Nenek Penunggu Kereta”. Kisah bermula ketika tokoh “Aku” merasa sangat kesal gara-gara buku yang dipinjam oleh temannya dalam kondisi yang lusuh. 

Tak hanya itu, dia pun harus bela-belain mengambil buku yang dipinjam tersebut ke rumah temannya. Dia bahkan berkata pada dirinya sendiri untuk tak lagi-lagi meminjamkan buku pada siapa pun. Anehnya, temannya tak merasa bersalah telah membuat bukunya menjadi lusuh. Berikut ini petikan sebagian kisahnya:

Mataku saat itu sulit lepas dari ujung sampul depan yang melengkung, halaman yang dicoret-coret pulpen, dan warnanya yang sedemikian pudar. Aku nyaris tidak mengenali lagi buku milikku sendiri. Aku baru membeli buku itu di sebuah pameran buku sebulan lalu. Buku itu baru kubuka dan belum kubaca seluruhnya saat seorang teman mampir ke rumah. Ia tertarik lalu meminjamnya—mana bisa aku menolak, sementara ia melihat sendiri di rak buku dalam kamarku ada begitu banyak buku yang masih tersegel, yang barangkali ia yakini belum semuanya khatam kubaca. Satu bulan kemudian aku mendapati bukuku seperti habis nyemplung di comberan.

Singkat cerita, usai mengambil buku yang dipinjam temannya, dia pun pulang dengan hati dongkol. Di tengah perjalanan dia tak sengaja bertemu dengan sosok nenek penunggu kereta yang pada akhirnya menjadi sebuah ide atau inspirasi untuk menulis tentangnya. 

Semoga ulasan buku ini dapat menjadi pengingat bagi kita tentang pentingnya budaya membaca dan membeli buku.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak