Satu kata yang cocok untuk menggambarkan buku ini adalah; lengkap. Lengkap yang berarti semua tahap-tahap yang dialami manusia itu ada di dalam buku ini. Penantian, dapat apa yang kita mau, kecewa, denial, sampe di tahap terakhir yaitu terima. Salah satu yang bisa dijadikan pelajaran dalam buku ini adalah, kita enggak perlu buru-buru terima suatu kejadian. Nikmati waktu sedih, kecewa, dan marahnya. Sampai nanti kita akan ada di tahap terima semuanya.
Ini tentang Celoisa dan Deas yang sama-sama menanti anak di rumah tangga mereka. Meski udah beberapa tahun mereka menikah, mereka belum dikasih kesempatan buat punya anak. Ditambah dengan omongan-omongan dari keluarga yang enggak pernah kasih pertanyaan yang buat sakit hati,"Kapan punya anak? Udah bertahun-tahun nikah kok masih belum punya juga?" Rasanya lengkap sakit hatinya jadi Celoisa. Seakan-akan memang mereka berdua yang belum mau punya anak, padahal ya belum dikasih aja. Sampai akhirnya Celoisa punya anak dan anak itu kemudian lahir, ternyata anak itu autis. Celoisa ada di tahap di mana dia sampai jauhin anaknya karena tiap kali melihat anaknya dia merasa anak itu autis karena dia. Memang ada beberapa penyebab dari anak autis yang mungkin karena dia, tapi semua itu dia lakukan bukan karena pengen anaknya autis. Tapi dia enggak pernah berhenti salahin diri sendiri, sampe rasa-rasanya "anti" sama anaknya sendiri. Di awal-awal juga dia bahkan enggak mau anter anaknya untuk terapi. Jadi menurutku, selain dia nyalahin diri sendiri, dia juga kecewa karena punya anak yang beda dari anak-anak lain. Atau mungkin takut juga tentang gimana anak dia nanti bisa bertahan kalau kondisi dia aja berbeda.
Tokoh yang jadi perhatianku salah satunya juga Bude Hanum. Rasanya setiap orang punya anggota keluarga yang kayak Bude Hanum ini. Yang tiap acara keluarga sukanya komentarin kehidupan orang lain, jelek-jelekin, bandingin-bandingin kita dengan orang lain. Bayangkan saja, Celoisa dengan stress karena masalah kehidupannya masih harus di hadapkan sama kata-kata yang nyakitin dari Bude Hanum. Seakan-akan Bude Hanum ini enggak bisa merasa senang kalau enggak ngomentarin orang. Padahal setiap orang pastinya punya cara masing-masing buat jalanin hidupnya, buat merasa senang. Dan orang kayak Bude Hanum ini memang perlu dikasih pelajaran sekali-sekali, supaya dia tahu kalau omongin dia itu bikin orang malas ketemu sama dia.
Sosok yang perlu dikagumi juga pastinya Deas. Deas ini selalu mengusahakan apa pun biar Celoisa bisa merasa lebih baik, enggak salahin diri sendiri lagi, dan mau dekat sama Ole (anaknya) lagi. Walau di satu sisi dia pastinya sedih banget juga ketika tahu anaknya autis, dia memilih buat nguatin Celoisa dan enggak berlarut-larut sedihnya. Karena dia tahu, kalau dia dan Celoisa sama-sama sedih, Ole enggak akan ada yang ngurus. Jadi salah satu dari mereka harus bisa nguatin yang lain, dan Deas memilih buat ambil peran itu.
Buku ini diceritain mulai dari mereka menanti Ole, Celoisa melahirkan, Ole dipastiin sama dokter bahwa dia autis. Sampe akhirnya, baik Deas dan Celoisa sama-sama bisa menerima keadaan Ole yang berbeda. Mereka akan selalu berusaha yang terbaik supaya Ole bisa jadi kayak anak-anak pada umumnya.