Pada awal abad ke-20 hingga masa perang dunia ke-2, banyak negara yang masih memiliki angkatan udara yang masih belum terpisah dari angkatan darat. Konsep tersebut pada umumnya meleburkan kekuatan udara militer sebuah negara ke dalam angkatan darat atau angkatan laut. Hal senada juga terjadi di kawasan Hindia-Belanda. Dinas penerbangan militer tersebut pada umumnya dilebur ke dalam angkatan laut yang dikenal dengan nama MLD (Marine Luchtvaardients) dan PVA (Proef-vlieg Afdeling) yang kemudian dirubah menjadi LA (Luchtvaart Afdeling) yang dikelola oleh angkatan darat atau KNIL yang nantinya menjadi ML-KNIL (Militaire Luchtvaart-KNIL).
Di dalam lingkup LA, sejak mulai dirintis pada tahun 1915 sudah beberapa kali menggunakan beragam jenis pesawat dalam satuan penerbangan militernya. Salah satu jenis pesawat yang pernah digunakan oleh LA-KNIL adalah Curtiss P-6 Hawk. Pesawat tempur tersebut diketahui menjadi pesawat tempur murni kedua yang dioperasikan oleh LA-KNIL. Seperti apakah rekam jejak pesawat tersebut di Hindia-Belanda ? simak ulasan ringkasnya berikut ini.
1. Kedatangannya yang Menimbulkan Polemik
Melansir dari situs aviahistoria.com, kedatangan P-6 Hawk berawal ketika Letnan James Dollitle dari militer Amerika Serikat mendemonstrasikan menerbangan P-6 Hawk di lapangan udara Andir, Bandung. Pihak angkatan darat pada tahun 1929 memang sedang mencanangkan untuk memperbarui kekuatan militernya, khususnya di divisi penerbangan dengan membeli beberapa pesawat tempur baru untuk menggantikan Fokker DC.I dan Fokker D VII. Pihak KNIL kemudian menyetujui untuk membeli beberapa unit pesawat P-6 Hawk tersebut.
Namun, hal ini mendapatkan tentangan dari pihak pemerintah Hindia-Belanda yang mewajibkan untuk menggunakan produk alutsista buatan lokal dari pabrikan Fokker. Pada akhirnya dipilihlah Fokker D XVI sebagai pesawat tempur baru LA-KNIL saat itu. Meskipun pada akhirnya P-6 Hawk tetap dipilih dan sukses didatangkan pada tahun 1931, akan tetapi pengadaannya sempat menimbulkan polemik di tubuh pemerintahan dan militer saat itu. Mulai dari aturan mesin jika tetap menggunakan Fokker D XVI, hingga keterbatasan kemampuan produksi oleh pabrikan Fokker sehingga menyebabkan dibelinya pesawat P-6 Hawk dari Amerika
2. Dipaksa Diproduksi Secara Lokal di Belanda
Pengadaan pesawat P-6 Hawk ini nyatanya masih menimbulkan polemik di dalam negeri Belanda dan Hindia-Belanda. Pihak pemerintah masih tetap pada pendiriannya jika pembelian pesawat tempur baru harus melibatkan industri militer lokal. Hal ini kemudian mau tidak mau dituruti oleh pihak militer yang meminta pabrikan Aviolanda untuk memproduksi secara lisensi pesawat P-6 Hawk dari pabrikan Curtiss Aeroplane and Motor Company.
Pengadaan secara lisensi ini terkesan dipaksakan saat itu. Melansir dari situs wikipedia.com, ada sekitar 6 unit varian P-6D yang dipesan dari pabrikan Aviolanda. Namun, pabrikan Aviolanda sendiri mengakui belum memiliki pengalama dalam membuat pesawat tempur semacam ini. Hal tersebut justru membuat harga per unitnya sedikit lebih mahal daripada buatan pabrikan Curtiss di Amerika Serikat. Selain itu, performa pesawat buatan pabrik Aviolanda ini dinilai lebih buruk daripada buatan asli dari pabrikan Curtiss.
Pesawat Curtiss P-6 Hawk sejatinya merupakan pesawat tempur biplane atau sayap ganda bermesin tunggal. Pesawat yang diawaki 1 orang pilot ini menggunakan mesin piston Curtiss V-1750C Conqueror V-12 yang mampu membuat pesawat tersebut terbang dengan kecepatan maksimal 311 km/jam. Pesawat ini mampu mencapai radius pertempuran dengan jarak 393 km dan ketinggian sekitar 7.000 meter. Sebagai sebuah pesawat tempur, P-6 dipersenjatai dengan 2 pucuk senapan mesin kaliber 7.6 mm.
3. Menjadi Korban Perubahan Taktik Militer
Meskipun tergolong pesawat baru yang dibeli pada awal dekade 1930-an, pesawat P-6 tersebut kemudian dianggap sudah ketinggalan zaman pada pertengahan dekade 1930-an. Belum lagi pihak militer saat itu meyakini bahwa pengadaan pesawat bomber yang memiliki keunggulan daya jelajah dan ketinggian terbang dianggap lebih cocok untuk dioperasikan di kawasan Hindia-Belanda yang luas. Pada akhirnya LA-KNIL melakukan pengadaan pembelian pesawat bomber Martin B-10 sebanyak puluhan unit.
Hal tersebut membuat peran P-6 Hawk milik Hindia-Belanda mulai digeser sebagai pesawat latih bagi para calon pilot pesawat Martin B-10. Pesawat ini kemudian menjadi pesawat intai darat dan pesawat latih sebelum semua unitnya diketahui dipensiunkan menjelang dekade 1940-an. Cukup disayangkan sekali pesawat yang masih tergolong baru ini dipensiunkan lebih cepat karena perubahan doktrin militer saat itu. Padahal, beberapa tahun kemudian konsep militer baru yang diterapkan oleh LA-KNIL menjadi senjata makan tuan saat menghadapi invasi Jepang di Hindia-Belanda.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.