Tema kehidupan rumah tangga memang menjadi sasaran empuk bagi seorang penulis untuk digemari banyak pembaca. Lantaran bahasan rumah tangga ini kaya konflik, gampang didapat, dan beragam kemelut yang melingkupi di dalamnya.
Siapa pun pembacanya dapat dipastikan pernah bahkan masih mengalami percikan api dalam rumah tangga. Maka, tema rumah tangga dipilih sebab dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Salah satu penulis yang banyak menampilkan kehidupan rumah tangga beserta ragam konfliknya adalah penulis terkenal, Habiburrahman El Shirazy.
Dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra ini, penulis mengangkat rumah tangga sebagai bahasan utama dalam kisahnya. Terdapat dua novel mini dalam buku ini, yaitu Pudarnya Pesona Cleopatra dan Setetes Embun Cinta Niyala.
Novel mini Pudarnya Pesona Cleopatra mengisahkan seorang laki-laki lulusan Mesir yang terpaksa menuruti kemauan ibunya untuk menikah dengan gadis bernama Raihana yang tak lain adalah putri dari teman lama ibunya. Ibunya memaksa agar laki-laki tersebut menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ia kenal.
Ia tidak berdaya untuk menolak keinginan ibunya, sebab setelah ayahnya tiada, baginya ibu adalah segalanya.
"Kami pernah berjanji, jika dikaruniai anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu Anakku, ibu mohon keikhlasanmu. Jangan kau kecewakan harapan ibumu yang telah hadir jauh sebelum kau lahir!" ucap ibunya dengan nada mengiba. (hlm. 1).
Hana, panggilan akrab Raihana, memang benar-benar cantik, tapi kecantikannya tidak sesuai dengan kecantikan yang diimpikan laki-laki itu.
Ia masih hanyut dengan citra gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai, yang berwajah jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan.
Sedemikian kuat kecantikan gadis-gadis titisan Cleopatra mengakar dalam otak dan hatinya, sehingga tidak ada ruang bagi gadis-gadis Indonesia, termasuk Hana.
"Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-benar merana. Satu-satunya harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai." (hlm. 5). Demikian kata hati laki-laki tersebut.
Meski ia telah resmi menikah dengan Hana, rasa cinta belum juga muncul meski setiap saat ia sudah berusaha dan terus berdoa.
Sikapnya lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis dan tidur pun di ruang tamu. Sementara Hana dengan segenap tenaga dan pikirannya dipersembahkan untuk mengabdi kepada suaminya.
Saat laki-laki itu pulang mengajar dan kehujanan di jalan, Hana menyambutnya khawatir, melepaskan pakaiannya, menggodokkan air untuk mandinya, membuatkan wedang jahe panas, mengerokin punggungnya, membawakannya bubur kacang hijau kesukaannya, merebahkannya di kamar tidur, serta menyelimutkan tubuhnya.
Saat Hana sudah merasa tak mampu bertahan, ia pamit pulang ke kampung halaman. Kala itulah laki-laki itu merasa kehilangan sosok Hana. Lebih lanjut, selama pelatihan ia mendengar dari seniornya yang beristri gadis Mesir bahwa rumah tangganya tidak tenang, selalu kurang, dan sering bertengkar.
Laki-laki itu pun sadar dan menyusul Hana ke kampungnya untuk hidup seatap lagi dengan rajutan kasih sayang. Namun, setibanya di sana, didapat kabar dari ibu mertuanya bahwa Hana baru saja telah meninggal dunia.