Sastra ditulis untuk menyuarakan jeritan hati, sebongkah harapan, atau beragam potret peristiwa kehidupan. Melalui karya sastra kita bisa mengintip banyak hal, mulai dari latar peristiwa yang dialami (atau dipilih) penulis, hingga pemahaman akan karakter manusia yang terkadang sukar dipercaya.
Cara terbaik membaca karya sastra menurut saya adalah lewat sebuah antologi. Karena dalam antologi kita bisa menikmati beragam tema menarik, mulai dari cinta kasih hingga kritik sosial budaya.
Salah satu antologi sastra yang bisa sobat jadikan referensi adalah “Antologi Maut Lebih Kejam daripada Cinta: 25 Cerita Karya Pemenang Nobel Sastra”, terbitan Penerbit BASABASI tahun 2017, tebal 280 halaman, dan disusun serta diterjemahkan oleh Anton Kurnia.
Melalui karya para pemenang nobel sastra dari pelbagai penjuru dunia dan zaman, dari sastrawan klasik yang sudah meninggal hingga pengarang masa kini yang masih produktif, kita bisa menikmati karya-karya bernas.
Cerpen karya Mo Yan, peraih Nobel Sastra tahun 2012, yang berjudul “Obat Mujarab” (hal. 245-260), adalah cerpen yang menarik perhatian saya. Karena kritiknya yang tajam dan penuh ironi pada kondisi sosial-budaya Tiongkok.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Tiongkok yang menganut ideologi Komunis amat mengatur kehidupan rakyatnya. Tak ada kebebasan berpendapat, semua harus tunduk terutama pada partai penguasa. Barangsiapa membangkang, atau disangka melawan, hukuman mati telah menanti.
Kondisi di atas menimbulkan celah yang bisa disalahgunakan. Seseorang yang tidak menyukai tetangganya, dengan berbagai alasan, bisa saja memanipulasi peristiwa lalu memfitnah tetangganya sebagai pengkhianat. Selanjutnya ia tinggal melaporkan tetangganya kepada pihak militer, untuk dihukum.
Latar itulah yang diambil oleh Mo Yan. Ia mengisahkan sebuah peristiwa eksekusi di desa di suatu pagi. Orang-orang yang akan ditembak mati oleh tentara milisi adalah dua pasang suami-istri, yang dikenal berbudi baik oleh warga desa. Tentu saja hal tersebut sempat menimbulkan protes dari warga yang hadir di lokasi pelaksanaan eksekusi.
Namun protes itu tidak digubris. Komandan pasukan milisi tetap memerintahkan hukuman dilaksanakan di atas jembatan desa. Tanpa sepengetahuan warga dan pasukan milisi, di bawah jembatan tersebut telah menunggu pria bernama Zhang Qude beserta putranya. Rupanya Zhang Qude punya niat tertentu.
Begitu jasad-jasad itu membentur tanah, Zhang Qude dan putranya segera melaksanakan misi mereka. Di bagian ini, Mo Yan begitu intens menggambarkan adegan pembedahan dada mayat.
Saya seolah turut mencium aroma anyir, dan organ tubuh manusia yang terburai. Melalui pertanyaan anaknya yang cemas, saya jadi mengetahui apa yang dicari oleh Zhang Qude.
“Kantong empedu. Di manakah letak kantong empedunya?” (hal. 258).
Mengapa Zhang Qude sampai tega memfitnah empat warga tersebut? Ternyata demi obat mujarab untuk menyembuhkan katarak pada mata ibunya. Sebab menurut resep tabib, obatnya adalah kantong empedu manusia. Sebuah ending yang menohok.
Setelah membaca keseluruhan cerpen ini, saya menangkap ironi kemanusiaan yang disajikan oleh Mo Yan. Bagaimana untuk bertahan hidup, manusia bisa memangsa manusia lainnya. Bila perlu, manusia mengadopsi hukum rimba. Demikianlah cara sastra menyajikan esensi kehidupan kita. Sobat harus membaca dan membuktikannya sendiri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS