Ulasan Film Shutter Island, Investigasi yang Berujung pada Twist Mengejutkan

Sekar Anindyah Lamase | Rosetiara Sahara
Ulasan Film Shutter Island, Investigasi yang Berujung pada Twist Mengejutkan
Shutter Island (IMDb)

"Shutter Island" adalah film thriller psikologis yang berlatar tahun 1954 dan diadaptasi dari novel karya Dennis Lehane. Film ini disutradarai oleh Martin Scorsese dan dibintangi oleh Leonardo DiCaprio.

Film ini mengeksplorasi tema trauma, dan ilusi melalui kisah Teddy Daniels, seorang U.S. Marshal yang dikirim ke rumah sakit jiwa di pulau terpencil untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien.

Sinopsis

Cerita berpusat pada Teddy Daniels, seorang U.S. Marshal dan rekannya, Chuck Aule (Mark Ruffalo),yang datang ke Shutter Island untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien bernama Rachel Solando (Emiliy Mortimer).

Sesampainya di pulau, Teddy segera merasakan ada yang tidak beres. Staf rumah sakit, terutama Dr. Cawley (Ben Kingsley), tampak menghindar, dan investigasi Teddy terus-menerus mendapat perlawanan.

Teddy mencurigai keterlibatan seorang pasien bernama Andrew Laeddis, yang memiliki hubungan dengan masa lalu pribadinya yang kelam. Andrew adalah pria yang Teddy yakini bertanggung jawab atas kematian istrinya, Dolores (Michelle Williams).

Saat investigasi berlangsung, Teddy diganggu oleh kenangan traumatis tentang istrinya, yang perlahan-lahan membuatnya mempertanyakan kewarasannya sendiri.

Investigasi ini semakin rumit ketika Teddy menemukan bahwa rumah sakit mungkin melakukan eksperimen lobotomi pada pasien-pasiennya, yang semakin memperparah paranoia dan kecurigaannya.

Suatu hari,pencarian Teddy membawanya ke sebuah gua misterius, di mana dia bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai Rachel Solando asli.

Wanita ini memperingatkan bahwa seluruh investigasi adalah jebakan, dan semua orang di rumah sakit, termasuk partner Teddy, Chuck Aule (Mark Ruffalo), terlibat dalam konspirasi untuk menahannya di pulau itu.

Saat cerita mendekati puncaknya, Teddy menghadapi Dr. Cawley di mercusuar pulau tersebut. Di sinilah film ini memberikan plot twist yang paling mengejutkan bahwa Teddy Daniels sebenarnya adalah Andrew Laeddis, pasien ke-67 di Ashecliffe.

Teddy menciptakan identitas sebagai U.S Marshal untuk melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa ia membunuh istrinya setelah istrinya menenggelamkan ketiga anak mereka.

Seluruh investigasi ternyata adalah bagian dari eksperimen peran yang dilakukan oleh staf rumah sakit untuk mengembalikan Andrew/Teddy ke realitas.

Terungkap juga fakta bahwa Chuck, yang dianggap rekan oleh Teddy adalah seorang dokter di rumah sakit jiwa tersebut.

Eksperimen peran ini pernah dilakukan pada Andrew sembilan bulan yang lalu, namun Andrew malah menunjukkan tanda-tanda penurunan kondisi.

Jika Andrew masih mengalami penurunan kondisi setelah eksperimen peran ini, pihak rumah sakit terpaksa akan melakukan lobotomi pada Andrew.

Film ini berakhir dengan nada ambigu,kalimat terakhir Andrew dalam film, saat ia berbicara dengan Chuck, “Which would be worse? to live as a monster or die as a good man?” menjadi renungan akhir yang menegaskan bahwa sebenarnya Teddy sadar akan semua kenyataan termasuk skenario peran yang ia mainkan.

Namun,ia memilih untuk hidup dalam delusinya dan memilih untuk percaya pada identitas fiktifnya,sebagai bentuk pelarian daripada harus menghadapi kenyataan.

Ulasan Film Shutter Island

"Shutter Island" mengeksplorasi tema trauma, penolakan, dan identitas. Film ini menghadirkan narasi yang rumit namun menarik,tentang seorang pria yang berusaha melarikan diri dari kenyataan tragisnya melalui delusi yang diciptakannya sendiri.

Martin Scorsese dengan cemerlang menyajikan narasi yang membingungkan antara kenyataan dan ilusi, mempermainkan persepsi penonton dan memaksa mereka untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Atmosfer dalam film ini sangat kental dengan nuansa gothic dan horor. Desain produksinya, yang memanfaatkan lanskap Shutter Island yang terisolasi dan cuaca yang selalu mendung, menciptakan perasaan ketidaknyamanan dan ketakutan yang terus-menerus.

Penggunaan musik oleh Martin Scorsese juga sangat tepat, menambah ketegangan dan membantu menciptakan mood yang menyeramkan dan penuh teka-teki.

Sinematografi oleh Robert Richardson adalah bagian penting dari pengalaman menonton Shutter Island. Richardson menggunakan pencahayaan dan sudut kamera yang mengintensifkan perasaan terjebak dan kebingungan, seakan-akan pulau itu sendiri adalah karakter yang antagonis.

Adegan-adegan di mercusuar, yang menjadi lokasi klimaks, sangat efektif dalam menekankan isolasi dan kekerasan emosional yang dialami oleh Teddy.

Leonardo DiCaprio juga memberikan penampilan yang sangat solid sebagai Teddy Daniels, dengan sempurna menggambarkan pergulatan emosional dan mental karakter yang mengalami trauma berat.

Peran pendukung oleh Mark Ruffalo dan Ben Kingsley juga memberikan lapisan kedalaman pada cerita, masing-masing menambah ketegangan dan misteri pada narasi.

Ulasan ini tidak akan lengkap tanpa menyebutkan bagaimana "Shutter Island" juga menjadi refleksi tentang trauma, rasa bersalah, dan bagaimana pikiran manusia dapat menciptakan realitas alternatif untuk melarikan diri dari kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi

"Shutter Island" bukan hanya sekadar film thriller, tetapi juga sebuah studi mendalam tentang kondisi manusia, mengajukan pertanyaan moral dan psikologis yang kompleks.

Dengan twist di akhir cerita membuat penonton merenungkan kembali keseluruhan plot, menjadikannya film yang layak ditonton lebih dari sekali untuk menangkap setiap detail yang tersembunyi.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak