Review Film Hellboy The Crooked Man: Kisah Horor di Kawasan Mistis Appalachia

Hayuning Ratri Hapsari | Alexander Joy
Review Film Hellboy The Crooked Man: Kisah Horor di Kawasan Mistis Appalachia
Hellboy: The Crooked Man (IMDb)

Hellboy kita kenal melalui seri terkenal yang disutradarai oleh Guillermo del Toro pada pertengahan 2000-an. Setelah usaha reboot-nya gagal di tahun 2019, karakter ini dihidupkan kembali melalui Hellboy: The Crooked Man.

Crooked Man digarap oleh Brian Taylor yang kita kenal melalui seri aksi Crank dan Ghost Rider: Spirit of Vengeance, serta menulis naskah Jonah Hex.

Film ini menampilkan nama-nama bintang yang belum begitu dikenal, seperti Jack Kesy, Jefferson White, serta Adeline Rudolph. Tanpa banyak ekspektasi, kini reboot seperti apa lagi yang ditawarkan sang pembuatnya?

Kisahnya berlatar tahun 1959 dengan plot yang berkisah tentang Hellboy (Ketsy) dan rekannya, Jo (Rudolph), yang kembali dari sebuah misi melalui kereta api. Tak disangka, kargo berisi monster yang mereka tangkap tiba-tiba lepas hingga gerbong mereka terlempar.

Mereka terdampar dalam sebuah wilayah terpencil yang bernuansa mistik, penduduknya terkena penyakit aneh. Sihir yang masih dipercaya warga di sana meyakini bahwa sang dalang adalah sebuah entitas kuat bernama The Crooked Man.

Bersama pemuda lokal, Tom (White), Hellboy dan Jo berniat untuk melawan kekuatan gelap yang belum mereka pahami sepenuhnya.

Plotnya kini mengambil arah cerita yang sama sekali berbeda dengan seri sebelumnya. Dua protagonisnya dihadapkan pada satu masalah dan lingkungan yang sama sekali asing bagi mereka.

Kita tahu persis, (eksposisi) karakter Hellboy lewat film-film sebelumnya yang penuh aksi. Kini dalam kisahnya, kekuatan fisik sang pahlawan tidak ada artinya.

Nuansanya memang berbeda dari seri sebelumnya yang kini dipenuhi dengan elemen horor. Jump scare dan musik mengejutkan bersliweran seperti film horor pada umumnya.

Sayangnya, potensi premis dan karisma sang pahlawan tidak mampu memberikan satu kisah yang menggigit hingga klimaksnya. Padahal sang sineas cukup berpengalaman menggarap film-film superhero supernatural seperti Ghost Rider dan Jonah Hex.

Premis yang unik rupanya direspon oleh sang sineas dengan pendekatan estetik yang berbeda dari seri sebelumnya.

Dari sisi pembabakan cerita, kisahnya dibagi dalam babak seperti film-film Tarantino. Kemudian, tidak seperti gaya Del Toro dengan set ekspresionistiknya, kali ini nuansanya sepenuhnya horor dengan penggunaan rumah tua dan lorong gelap cahaya yang kontras antara gelap terang, plus jump scare dan segala gimmick horor-nya.

Satu pendekatan teknis yang tak biasa adalah dominasi penggunaan low angle dan shot-shot close-up. Entah apa motifnya dan dalam beberapa momen, teknik ini justru tidak nyaman secara visual.

Satu lagi adalah pergantian adegan yang sering kali menggunakan fade-out (layar gelap), ini jelas tidak biasa untuk film fiksi kebanyakan (lazimnya fade out digunakan dalam pergantian sekuen). Alhasil, film ini secara visual terasa sangat melelahkan.

Hellboy mungkin adalah sosok super unik yang memiliki penggemarnya sendiri. Entah bagaimana tanggapan pembaca komiknya karena saya sendiri bukan penggemarnya.

Kekuatan terbesar dua film pertamanya terletak pada sang sineas (Del Toro) bukan pada kisahnya.

Rasanya tidak mungkin, film ini mencapai sukses komersial, dan tak lama lagi pasti akan bisa kita temui di platform streaming.

Skip saja untuk menonton di bioskop, baik penggemar atau bukan. Film ini tidak berbeda dari film horor yang hanya menampilkan sosok Hellboy dalam plotnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak