Ini kali pertama saya membaca novel karya dari Windry Ramadhina dan langsung kepincut dengan kisah dalam Angel in the Rain. Novel ini merupakan terbitan dari GagasMedia pada tahun 2016.
Berkisah tentang seorang editor sastra bernama Gilang dan Ayu, penulis novel roman. Keduanya bertemu di London, tepatnya di toko buku Dickens and More, Fitzrovia. Lalu saling berbagi payung merah di Charlotte Street saat hujan turun.
Gilang berada di London untuk mengejar cinta, sedangkan Ayu ada di sana karena melarikan diri dari cintanya, yang sudah menjadi milik Luh, kakaknya. Keduanya sama-sama patah hati.
Di Jakarta, Gilang dan Ayu dipertemukan kembali. Dua orang yang sifatnya saling bertolak belakang, disatukan dengan kecintaan mereka pada buku-buku. Ayu si pemburu buku cetakan pertama, Gilang si penggila Scott Fitzgerald.
Namun, akankah keduanya bisa bersatu dalam ikatan cinta? Jika masa lalu Gilang hadir kembali di antara mereka. Dan Ayu, masihlah perempuan yang tinggal di masa lalu dan tak percaya pada keajaiban.
“Suatu saat, kau akan sadar, aku bukan Ning. Aku bukan perempuan yang sungguh-sungguh ingin kau miliki. Mungkin tidak hari ini. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Tapi, buat apa buang-buang waktu? Kita sudahi saja sekarang, sebelum kita jatuh terlalu dalam.” (Angel in the Rain, hal. 352)
Menggunakan alur maju mundur, diksi memikat, gaya penulisan ala novel terjemahan, dan uniknya, memakai tokoh Goldilocks atau Malaikat Hujan sebagai narator atau penutur cerita, membuat novel ini sayang untuk dilewatkan.
Apalagi novel ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di dua novel pendahulunya, yaitu: London: Angel dan Walking After You.
Sebab, meskipun novel Angel in the Rain merupakan kisah yang berdiri sendiri, tapi ia adalah benang merah dari kedua novel yang saya sebutkan di atas.
Konflik cerita tak hanya perkara hubungan Gilang dan Ayu yang manis, pahit, penuh dilema, dan tarik ulurnya lama. Tapi, juga konflik intern Ayu dengan Luh, kakaknya. Rumit, karena Luh akan menikah dengan Em, mantan pacar Ayu. Namun, jauh sebelum dengan Ayu, Em lebih dulu berpacaran dengan Luh walau sempat putus. Nah, rumit, kan?
Jadi tak mengherankan karakter Ayu di sini rada ketus, jutek, nggak pedulian, skeptis, dan nggak percaya ada keajaiban cinta. Beda sama Gilang yang rada naif, punya sisi romantis, dan lucu.
Chemistry antara Gilang dan Ayu dibangun dengan baik. Saya bisa ikut merasakan yang dari awalnya Ayu selalu jutek, kaku, irit omongan jika berhadapan dengan Gilang, menjadi lebih bawel dan suka mendadak tersipu-sipu sama kata-kata Gilang.
Sehubungan dengan profesi dua tokoh utamanya, novel ini juga memasukkan unsur literasi, seperti tentang KLA, Ubud Writers & Readers Festival, buku sastra vs novel populer dan pasar perbukuan keduanya, buku-buku klasik, termasuk sejarah cetakan pertama novel Burmese Days yang saya juga baru tahu.
Karakter yang unik dan menarik perhatian saya adalah Ambu, editornya Ayu. Ambu yang seorang perempuan mungil, berkacamata, nggak suka basa-basi, omongannya tajam, dan suka main todong naskah. Tapi sebenarnya perhatian dan sangat peduli pada Ayu.
Karakter yang menyebalkan sudah pasti Luh. Dia perempuan yang nggak peka, egois, selalu ingin jadi pusat perhatian orang-orang, dan drama queen.
Ending-nya agak bikin gondok karena sudah baca sampai 460 halaman tapi malah open ending dan ditutup sama narasi dari Goldilocks yang bikin pengen gigit sandal.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE