Gus tf Sakai, lahir pada tanggal 13 Agustus 1965 di Payakumbuh Sumatera Barat. Ia menamatkan studinya di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.
Gus tf Sakai mulai menulis prosa sejak usia 13 tahun. Saat itu cerpen pertamanya memenangkan juara 1 pada sebuah lomba penulisan cerpen. Hingga sekarang ia telah menyelesaikan 2 buku novel, 7 novelet, dan 18 cerpen.
Salah satu buku kumpulan cerpen karya Gus tf Sakai berjudul Perantau. Buku ini memuat 12 cerita, yaitu Lelaki Bermantel, Perantau, Gadis Terindah, Jejak yang Kekal, Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas, Belatung, Hilangnya Malam, Kami Lepas Anak Kami, Tok Sakat, Kota Tiga Kota, Sumur, dan Stefani dan Stefanny.
Cerpen-cerpen Gus tf Sakai ini mayoritas mengemukakan kritik sosial dengan gaya bercerita yang metaforis. Seperti cerpen Kami Lepas Anak Kami menyinggung masalah kurikulum pendidikan anak yang tidak proporsional. Cerpen Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas mengungkapkan kritik terhadap pemerintah pusat tentang eksploitasi kekayaan bumi daerah, dan cerpen Belatung mengisahkan tentang kesulitan ekonomi yang memaksa seorang perempuan menjadi pelacur.
Bahasa Gus tf Sakai begitu indah dalam menuturkan kisah. Indah tapi sulit dan berat. Untuk memahaminya perlu dibaca berulang-ulang. Atau bahkan seperti saya, membawa bukunya ke tempat sunyi sambil sesekali berkontemplasi untuk bisa larut dalam cerita.
Cerpen-cerpen ini memang tipe cerpen yang butuh pembacaan ulang agar dapat lebih memahaminya. Tapi, meski menguras pikiran untuk memahami, saya coba untuk menyelami meski tidak terlalu dalam untuk bisa memahaminya.
Ia, ternyata, tak perlu jadi burung untuk tahu rahasia sayap. Ia pergi ke mana-mana, merantau ke mana-mana, tapi ternyata bukan jauhnya, bukan langit atau angkasanya yang menentukan dirinya ada. Betapa sia-sia. Bukan hanya jarak, tetapi juga waktu. (Halaman 18).
Itu adalah kutipan dalam cerpen Perantau. Merantau yang dimaksud di sini bukan soal tempat dan jarak, tetapi masalah waktu. Diperkuat di bagian akhir, sebelum anaknya pamit berangkat merantau, Mak Itam meminta tolong suatu hal.
"Sebelum kau pergi, bantu aku. Di bawah sana, di rumpun bambu, telah kutumpuk reranting kayu. Tolong, Nak, bawa ke mari..."
Beberapa puluh tahun setelahnya, saat si anak pulang ke kampungnya, Mak Itam mengingatkan tentang ranting kayu. Benar, si anak telah melupakannya. Ranting kayu itu telah lupa ia mengambilnya.
"Mak Itam menungguku?"
"Ya. Huk huk..."
"Selama itu? Bertahun-tahun..."
"Apa maksudmu?"
"Bertahun-tahun aku pergi, perpuluh-puluh tahun."
Mak Itam menatapnya. Nanap. Lalu tertawa, "Hua-hua... huk huk. Bertahun-tahun? Berpuluh-puluh tahun? Hua-hua... huk huk. Kau belum pergi, Nak. Kau baru akan pergi." (Halaman 21).
Di sini, merantau menjadi luas maknanya. Bisa berarti merantau ke alam yang kekal. Sementara perjalanan kita ini masih baru sejengkal untuk merantau. Sehingga kita ini senyatanya bukan sedang atau sudah datang dari perantauan, namun baru akan berangkat merantau. Begitulah kira-kira penafsiran saya.
Selamat berpikir!
Identitas Buku
Judul: Perantau
Penulis: Gus tf Sakai
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: 130 Halaman
ISBN: 978-979-22-2735-2
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.