ulasan

Krisis Eksistensial dan Kekerasan dalam Buku Awan-Awan di Atas Kepala Kita

Krisis Eksistensial dan Kekerasan dalam Buku Awan-Awan di Atas Kepala Kita
Cover buku Awan-Awan di Atas Kepala Kita (Gramedia)

Yoursay.id - Agaknya beberapa di antara kita pernah mempertanyakan makna dari hidup yang kita jalani. Apakah memiliki tujuan yang patut diperjuangkan di tengah dunia yang terkadang terasa tidak ada belas kasih ini?

Benjamin Iskandar memutuskan untuk mengakhiri hidupnya tepat di hari ulang tahunnya yang kesembilan belas, namun hal tersebut gagal sebab seorang perempuan dengan tas gitarnya yang bernama Kirana Kharitonova muncul untuk menyelamatkannya. 

Di jembatan dengan sungai kotor penuh sampah yang mengalir di bawahnya itulah Benjamin atau dipanggil dengan Ben ingin mengakhiri hidupnya sekaligus di sanalah tempat di mana untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Kay, panggilan untuk Kirana.

Lagi dan lagi Miranda Malonka setelah karyanya yang berjudul Orbit Tiga Mimpi berhasil membuat saya terserap ke dalam kisah yang disuguhkannya dan merasa terhubung dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Memiliki konflik yang terhitung tidak ringan, namun gaya tulisannya nyaman untuk dibaca dan mengalir begitu saja.

Awan-Awan di Atas Kepala Kita memiliki Ben yang mengalami krisis eksistensial hingga baginya mengakhiri hidup adalah pilihan yang tepat. Pembawaannya memiliki vibes yang gloomy yang mencerminkan pandangannya akan kehidupan. Meskipun terkadang sikapnya bertentangan juga dengan apa yang diutarakannya.

Di sisi lain, Kay memiliki pembawaan yang berbanding terbalik dengan Ben. Keceriaan yang dipancarkan oleh Kay adalah sesuatu yang mungkin tidak akan pernah Ben miliki. Kepedulian dan kekhawatiran yang dimilikinya akan Ben membuat Ben keheranan dan merasa terusik. Namun ketika mereka semakin mengenal, apa yang ditutup rapat-rapat oleh Kay perlahan terbuka dan bagaimana jadinya jika cara pandang mereka akan kehidupan seolah tertukar? Sebenarnya siapa yang menyelamatkan siapa?

Bukan bacaan romantis yang penuh adegan manis, namun kegelapan di dalamnya berhasil menahan saya untuk terus membaca. Bertanya-tanya bagaimana akhirnya, ikut mencari jawaban akan makna kehidupan di dunia. Memiliki konflik yang cukup berat, penyelesaiannya sendiri termasuk tidak terburu-buru dan tidak dipaksakan memiliki akhir yang sempurna.

Meskipun begitu, bukan berarti buku ini tidak memiliki sentuhan manis sama sekali, hubungan di antara Kay, Ben dan Kian, sahabat Kay membuat saya senang di tengah-tengah gelapnya kehidupan Kay dan Ben. Persahabatan yang menyenangkan.

Selain mengenai mengakhiri hidup sendiri, di dalamnya juga mencakup kekerasan terhadap perempuan yang mana berhasil membuat saya semakin frustasi dan sedih mengingat di luar sana juga masih ada perempuan yang dimanipulasi oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab hingga membuat perempuan tersebut merasa dirinya pantas mendapatkan segala bentuk tindak kekerasan.

Memang bukan tipe buku yang akan menyegarkan harimu, namun saya tetap merekomendasikan Awan-Awan di Atas Kepala Kita dengan segala kisah perjuangan tokohnya menghadapi krisis eksistensial dan berjuang mengobati diri yang terluka.

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda