Ewuh Pakewuh, Budaya Jawa yang Memengaruhi Kesehatan Mental

Hayuning Ratri Hapsari | Rion Nofrianda
Ewuh Pakewuh, Budaya Jawa yang Memengaruhi Kesehatan Mental
Ilustrasi anak jawa yang sopan santun (Freepik)

Budaya memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk cara pandang, perilaku, dan cara seseorang berinteraksi dengan orang lain. Hal ini juga berlaku dalam konteks kesehatan mental, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang dipegang oleh suatu masyarakat.

Salah satu budaya yang cukup terkenal di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, adalah budaya "ewuh pakewuh". Meskipun terdengar sederhana, budaya ini ternyata memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan psikologis dan emosional seseorang.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara mendalam hasil penelitian yang mengangkat topik tentang pengaruh budaya ewuh pakewuh terhadap kesehatan mental masyarakat Jawa.

Penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai bagaimana budaya yang kaya akan nilai-nilai kesopanan dan keharmonisan sosial ini dapat memengaruhi kesejahteraan mental individu yang hidup di dalamnya.

Bagi sebagian besar orang Jawa, istilah "ewuh pakewuh" mungkin sudah tidak asing lagi. Budaya ini mengacu pada rasa sungkan atau perasaan tidak enak saat berinteraksi dengan orang lain, terutama ketika seseorang merasa ragu untuk mengungkapkan perasaan atau kebutuhan pribadi mereka secara terbuka.

Dalam masyarakat Jawa, konsep ini sangat kuat karena dianggap sebagai cara untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial.

Tujuan dari budaya ewuh pakewuh adalah menghindari konflik dan menjaga hubungan antar individu tetap baik, mengutamakan sikap saling menghormati dan menjaga perasaan orang lain.

Namun, budaya yang tampaknya penuh dengan niat baik ini ternyata memiliki sisi lain yang kurang terlihat—yaitu dampaknya terhadap kesehatan mental individu.

Dalam konteks ini, ewuh pakewuh dapat menjadi beban psikologis yang menyebabkan seseorang merasa tertekan, cemas, bahkan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pendapat atau kebutuhan mereka dengan jujur.

Kecemasan yang muncul akibat budaya ini sering kali berakar dari ketakutan akan penilaian sosial atau khawatir membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bangun, Peristianto, dan Wulandari (2024) dari Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi Malahayati mencoba untuk menggali lebih dalam tentang dampak budaya ewuh pakewuh terhadap kesehatan mental masyarakat Jawa.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan dua individu yang berasal dari latar belakang sosial yang sama, namun berada pada usia yang berbeda.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana budaya ewuh pakewuh memengaruhi cara individu dalam mengekspresikan perasaan dan kebutuhan mereka, serta bagaimana hal tersebut berdampak pada kesejahteraan mental mereka.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa budaya ewuh pakewuh memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental individu.

Salah satu dampak yang paling menonjol adalah kecemasan sosial yang sering kali muncul akibat kesulitan dalam berinteraksi sosial secara terbuka.

Individu yang hidup dengan budaya ini sering kali merasa takut atau ragu untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, baik itu dalam situasi formal maupun informal.

Ketakutan untuk menyinggung perasaan orang lain atau merusak keharmonisan hubungan sosial menjadi alasan utama di balik rasa sungkan ini.

Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa budaya ewuh pakewuh menyebabkan individu kesulitan dalam menunjukkan perilaku asertif.

Perilaku asertif adalah kemampuan untuk menyampaikan pendapat, perasaan, atau kebutuhan dengan cara yang jujur dan jelas, tanpa merasa takut atau terintimidasi.

Namun, dalam budaya yang sangat menekankan pada keharmonisan sosial seperti budaya Jawa, banyak individu yang merasa bahwa mengungkapkan perasaan atau pendapat secara terbuka bisa merusak hubungan sosial yang sudah terjalin dengan baik.

Sebagai hasilnya, banyak individu yang lebih memilih untuk menahan diri, mengalah, dan bahkan menutupi perasaan atau kebutuhan mereka yang sebenarnya.

Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun budaya ewuh pakewuh memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan sosial, terlalu sering menahan perasaan atau kebutuhan pribadi dapat berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang.

Dalam jangka panjang, ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan dan keinginan mereka secara terbuka dapat menyebabkan perasaan tertekan, stres, kecemasan, bahkan depresi.

Kecemasan sosial adalah salah satu bentuk gangguan kecemasan yang muncul ketika seseorang merasa cemas atau takut berada dalam situasi sosial karena khawatir akan penilaian orang lain.

Dalam masyarakat Jawa, budaya ewuh pakewuh dapat memperburuk kecemasan sosial ini. Ketika seseorang merasa terjebak dalam perasaan tidak enak atau sungkan, mereka cenderung menghindari interaksi sosial atau merasa cemas dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kondisi ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan membuat individu merasa terisolasi.

Di banyak situasi, seseorang yang mengalami kecemasan sosial mungkin merasa tidak dapat berpartisipasi dalam percakapan atau aktivitas sosial karena takut membuat kesalahan atau tidak sesuai dengan ekspektasi orang lain.

Budaya ewuh pakewuh sering kali memperburuk kecemasan ini karena ada tekanan untuk selalu bersikap baik, sopan, dan tidak menyinggung orang lain.

Dalam beberapa kasus, individu yang mengalami kecemasan sosial mungkin merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanan mereka atau meminta bantuan, karena mereka khawatir hal itu akan menciptakan ketegangan sosial atau ketidaknyamanan di sekitar mereka.

Salah satu kesimpulan utama dari penelitian ini adalah pentingnya pemahaman terhadap konteks budaya dalam pendekatan terhadap kesehatan mental.

Banyak orang yang mungkin tidak menyadari bahwa budaya tempat mereka hidup dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia luar, termasuk dalam hal kesehatan mental.

Dalam kasus budaya Jawa, di mana nilai-nilai seperti kesopanan, keharmonisan, dan rasa sungkan sangat dijunjung tinggi, pendekatan yang berbasis budaya sangat diperlukan untuk memahami bagaimana faktor-faktor sosial ini memengaruhi kesehatan mental.

Dalam praktiknya, para profesional kesehatan mental sering kali berfokus pada aspek individu dalam menangani masalah kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan atau depresi.

Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang memiliki budaya kuat seperti Jawa, faktor sosial dan budaya harus dipertimbangkan dalam setiap intervensi atau pendekatan.

Tanpa memahami konteks budaya, pendekatan kesehatan mental yang diberikan mungkin tidak efektif atau bahkan bisa berisiko memperburuk kondisi pasien.

Sebagai contoh, pendekatan terapi yang tidak mempertimbangkan budaya ewuh pakewuh mungkin tidak akan berjalan dengan baik dalam masyarakat Jawa, karena pasien mungkin merasa kesulitan untuk berbicara terbuka tentang masalah mereka.

Oleh karena itu, penting bagi para profesional kesehatan mental untuk memahami budaya lokal dan menyesuaikan pendekatan mereka agar lebih sesuai dengan nilai-nilai dan cara hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut.

Penelitian ini juga memberikan beberapa rekomendasi untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang timbul akibat budaya ewuh pakewuh. Salah satunya adalah dengan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya komunikasi asertif.

Komunikasi asertif memungkinkan seseorang untuk mengungkapkan perasaan atau kebutuhan mereka dengan cara yang jelas, langsung, namun tetap menjaga rasa hormat terhadap orang lain.

Dalam budaya Jawa, ini bisa dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan norma budaya setempat, tetapi tetap memungkinkan individu untuk mengekspresikan dirinya secara sehat.

Selain itu, penting untuk mengajarkan kepada masyarakat bahwa menjaga keharmonisan sosial tidak harus mengorbankan kesejahteraan mental pribadi.

Sering kali, orang Jawa merasa tertekan untuk selalu menjaga kesopanan dan menghindari konflik, meskipun hal tersebut merugikan diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, program edukasi yang menekankan pentingnya keseimbangan antara menjaga hubungan sosial yang baik dan memenuhi kebutuhan emosional pribadi akan sangat membantu.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak