Helen Oyeyemi dikenal sebagai salah satu penulis kontemporer dengan gaya penulisan yang eksperimental, liris, dan penuh lapisan simbolik. Dalam novel "White is for Witching", Oyeyemi menghadirkan sebuah kisah horor gotik yang tidak hanya menakutkan secara atmosferik, tetapi juga menggugah secara psikologis dan sosiopolitik. Ini adalah novel yang tidak mudah dicerna, namun menawarkan pengalaman membaca yang unik dan menggugah.
Novel ini berpusat pada Miranda Silver, seorang gadis muda yang tinggal bersama ayah dan saudara kembarnya di sebuah rumah tua di Dover, Inggris, yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga mereka. Setelah kematian ibunya, Miranda semakin terjebak dalam dunianya sendiri. Ia menderita gangguan makan yang membuatnya tergoda untuk mengonsumsi benda-benda tak lazim seperti kapur, plastik, bahkan tanah. Namun, itu hanya salah satu dari banyak hal aneh dalam hidup Miranda.
Rumah tempat tinggal mereka tampaknya hidup dan memiliki kesadaran, keinginan, dan mungkin dendam. Rumah itu menjadi narator tersendiri dalam novel ini, bersama dengan karakter-karakter lain yang memiliki suara dan perspektif unik, termasuk sahabat sekaligus kekasih Miranda, Ore.
Salah satu hal paling menonjol dari novel ini adalah struktur narasinya yang tidak konvensional. Oyeyemi menggunakan banyak sudut pandang, ada Miranda, ayahnya Luc, kekasihnya Ore, dan bahkan rumah itu sendiri. Perpindahan perspektif ini sering kali terjadi secara tiba-tiba dan tidak diberi penanda yang jelas, sehingga menuntut perhatian penuh dari pembaca.
Bukan hanya pergantian sudut pandang yang membuat novel ini unik, tetapi juga perpaduan antara realisme magis, horor gotik, dan alegori politik. Oyeyemi menulis dengan gaya yang puitis, penuh simbol, dan terkadang samar, membuat "White is for Witching" terasa seperti mimpi buruk yang indah dan menyesakkan.
Tema utama novel ini adalah warisan, baik dalam arti literal maupun metaforis. Miranda mewarisi rumah keluarga, tetapi juga mewarisi trauma dan obsesi generasi sebelumnya. Rumah itu sendiri merupakan simbol dari sejarah kolonialisme Inggris.
Rasisme dan xenofobia menjadi benang merah yang kuat dalam novel ini. Rumah Silver tampaknya menolak semua yang bukan "asli Inggris," dan pengaruh jahat rumah itu perlahan menguasai Miranda. Melalui karakter Ore, seorang perempuan kulit hitam, Oyeyemi mengeksplorasi bagaimana identitas rasial menjadi sasaran ketidakramahan bukan hanya dari manusia, tetapi dari tempat itu sendiri.
Gangguan makan yang diderita Miranda juga penuh simbol. Hasrat untuk mengonsumsi benda-benda tak layak makan bisa dibaca sebagai metafora untuk keinginan akan keterikatan, untuk mengisi kekosongan emosional, atau bahkan untuk menelan sejarah keluarga yang kelam. Tubuh Miranda menjadi arena tempat konflik psikologis, budaya, dan spiritual yang saling bersaing.
Kekuatan utama novel ini adalah atmosfernya yang padat dan menakutkan. Oyeyemi tidak menakut-nakuti lewat adegan-adegan mengerikan secara eksplisit, tetapi menciptakan rasa genting yang perlahan membekap. Prosa Oyeyemi indah dan memikat, tetapi juga bisa menjadi tantangan bagi pembaca yang lebih menyukai plot yang linier dan narasi yang mudah diikuti.
Banyak hal dalam "White is for Witching" yang dibiarkan begitu saja, bahkan setelah novel selesai dibaca. Beberapa pertanyaan tetap tidak terjawab, dan pembaca dituntut untuk merenung dan menafsirkan sendiri maknanya. Bagi sebagian pembaca, ini akan terasa membingungkan. Namun bagi mereka yang menikmati cerita dengan banyak lapisan dan simbolisme, ini adalah harta karun.
"White is for Witching" adalah novel yang memukau secara atmosfer dan menantang secara intelektual. Ia memadukan elemen supernatural dengan isu-isu sosial kontemporer, menjelajahi trauma keluarga, rasisme, dan identitas dengan cara yang tidak biasa namun menggugah.
Identitas Buku
Judul: White is for Witching
Penulis: Helen Oyeyemi
Penerbit: Picador
Tanggal Terbit: 1 Mei 2009
Tebal: 256 Halaman
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE