The Mortician seketika mencengkeram penonton dengan dialognya yang penuh implementasi, “Aku nggak menganggap tubuh orang mati punya nilai apa pun. Harusnya orang juga begitu kalau aku sudah mati.”
Ucapan David Sconce itu muncul dalam series dokumenter HBO Max berjudul: The Mortician yang tayang sejak 1 Juni 2025. Dan bila dialog tersebut Sobat Yoursay resapi, maka pastinya paham, kalau ini tuh bukan dokumenter true crime biasa.
Disutradarai Joshua Rofé, yang sebelumnya menggarap Series Sasquatch (tayang di Hulu) dan ‘Lorena’.
‘The Mortician’ muncul dengan menggali sisi terdalam seorang pria yang memperlakukan mayat seperti barang rongsokan. Ngeri deh!
Series sepanjang 3 episode ini diproduksi Campfire Studios dan HBO Documentary Films, dan meskipun nggak banyak wajah tenar tampil di depan kamera karena bentuknya memang dokumenter, kehadiran David Sconce sendiri sebagai narasumber utama sudah lebih dari cukup buat Sobat Yoursay terpaku menontonnya.
Yuk, kepoin detail kisahnya!
Sekilas tentang Series The Mortician
Series ini berpusat pada kisah nyata David Sconce, pria yang menjalankan Lamb Funeral Home di Pasadena pada era 1980-an.
Pada permukaannya, dia tampak seperti pengusaha rumah duka biasa. Namun, pertanyaan mulai muncul ketika jumlah jenazah yang dikremasi di Lamb Funeral Home Lamb nggak masuk akal jika dibandingkan dengan fasilitas dan kapasitasnya.
Yang kemudian terbongkar adalah praktik kremasi massal, di mana tubuh-tubuh dimasukkan bersama-sama ke dalam satu tungku, abu mereka tercampur, dan diberikan secara sembarangan kepada keluarga korban. Semua ini dilakukan demi efisiensi waktu dan. uang. Tarifnya? Cuma $55 per jenazah. Bikin ngelus dada sih!
Namun, ceritanya nggak berhenti di situ. Joshua Rofé kemudian mengungkap: David Sconce dan timnya juga mencabut gigi emas dari jenazah, lalu menjual organ tubuh di pasar gelap, bahkan diduga terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan.
Dalam dokumenter ini, Sobat Yoursay bakal diajak menyusuri jejak gelap sosok David Sconce yang nggak hanya hilang rasa hormat pada kematian, tapi juga kehilangan kompas moral sebagai manusia.
Biadab banget sih!
Impresi Selepas Nonton Series The Mortician
Biarpun aku cuma kadang-kadang nonton film atau series true crime, tapi kali ini aku menontonnya dengan rasa penasaran yang tinggi. Sayangnya memang, setelah tiga jam yang terasa seperti berjalan dalam lorong panjang dan lembap, aku menyadari kalau Series The Mortician merupakan dokumenter yang lebih banyak menjebak dalam repetisi, bukan penemuan.
Struktur series ini dibangun dari wawancara dengan David Sconce yang kini sudah tua, serta kesaksian dari jurnalis, penegak hukum, dan keluarga korban. Awalnya menarik, karena aku kayak diajak mencoba memahami bagaimana seseorang bisa sampai pada titik nggak menganggap tubuh manusia sebagai sesuatu yang sakral. Sayangnya, wawancara itu berulang-ulang tanpa progres signifikan. Ya, Davis Sconce nggak pernah berubah. Dia tetap nggak merasa bersalah, tetap rasional dalam pemikirannya, dan tetap menjengkelkan dalam ketidaksadarannya.
Secara visual, dokumenter ini biasa sih. Nggak ada pendekatan sinematik yang menonjol seperti dokumenter true crime kekinian. Tone warnanya suram, banyak arsip hitam-putih, dan suasananya dibuat seakan-akan kita berada di kamar mayat sepanjang waktu. Ini sebenarnya cocok dengan temanya, tapi setelah dua jam, nuansa itu justru jadi hambar.
Satu-satunya momen yang terasa agak emosional tuh, ketika salah satu keluarga korban menceritakan bagaimana mereka menyimpan abu ‘ayah mereka’ selama bertahun-tahun, hanya untuk kemudian tahu kalau abu itu mungkin berasal dari lima atau enam orang yang berbeda. Rasanya seperti ditikam dua kali: kehilangan, lalu dihina.
Pada akhirnya, ‘The Mortician’ tuh dokumenter yang datang dengan materi yang mengerikan, tapi nggak berhasil mengolahnya jadi sesuatu yang reflektif. Alih-alih mendalami sisi kemanusiaan atau menciptakan ruang empati, series ini justru terjebak dalam pengulangan yang terus-menerus. Jujurly, ini lebih cocok dijadikan podcast berdurasi satu jam ketimbang tontonan sepanjang tiga jam.
Skor: 1,5/5