Ulasan Novel CADL: Lipogram tanpa Huruf E dengan Keunikannya

Hayuning Ratri Hapsari | Nurkalina Pratiwi Suganda
Ulasan Novel CADL: Lipogram tanpa Huruf E dengan Keunikannya
CADL: Sebuah Novel tanpa Huruf E (goodreads.com)

CADL adalah sebuah novel eksperimental yang ditulis oleh Triskaidekaman dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2020. Dengan total 282 halaman, novel ini menantang konvensi literatur Indonesia melalui bentuknya yang tidak biasa, yaitu sebuah lipogram.

Lipogram adalah karya tulis yang dengan sengaja menghilangkan huruf atau kelompok huruf tertentu. Huruf yang dihilangkan dalam novel CADL adalah huruf E, huruf vokal yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia.

Seperti dijelaskan pada halaman pengantar, CADL lahir dari sebuah tantangan yang muncul dalam platform Quora. Triskaidekaman menjawab tantangan ini dengan serius, kemudian mengimplementasikannya pada CADL.

Bukan sekadar permainan bahasa, tantangan novel lipogram ini Triskaidekaman jadikan sebagai ruang eksplorasi naratif yang penuh ironi dan kritik.

Latar plot novel diambil di Wiranacita, sebuah negara distopia otoriter di bawah kepemimpinan seorang diktator eksentrik bernama Zaliman Yang Mulia.

Dalam narasi yang "unik" sekaligus menyindir, diceritakan bahwa Zaliman memusnahkan "Huruf Itu" (huruf E yang tidak boleh disebut secara gamblang). Pemusnahan "Huruf Itu" dari rakyat Wiranacita disebabkan oleh alasan pribadi Zaliman.

Bagaimana dampaknya? Tentu saja sangat luar biasa. Rakyat dilarang menggunakan kata-kata yang mengandung "Huruf Itu", banyak nama rakyat yang harus diubah, buku-buku miring disortir dan disita, kritik dan ujaran kasar pun tidak diperbolehkan. Tidak sampai di situ saja, kamus bahasa juga harus disusun ulang karena penghapusan "Huruf Itu".

Narasi disampaikan melalui tokoh utama bernama Lamin, yang namanya merupakan hasil pemangkasan dari nama asli Kelamin.

Nama-nama dalam novel CADL memang erat kaitannya dengan humor satire, seperti Hanam dari Jahanam, Zaliman dari Zalim, Satriana yang bernama panjang Bang Sat Bolotwati, Jingan, Gundulmu, bahkan Baby yang kemudian harus mengganti namanya jadi simbol piktograf babi ().

Sekilas, nama-nama tersebut memang terdengar kasar dan tidak lazim. Namun, ada cerminan realitas di baliknya, bagaimana nama, identitas, serta bahasa bisa menjadi senjata politik dan kontrol.

Alur cerita dalam CADL memang cukup sulit diikuti sebab narasi yang dibawakan terasa berat, penuh metafora, terkadang tidak masuk akal, tetapi ada balutan humor komikal yang menguatkan muatan kritik sosial.

Novel ini seolah mengajak pembaca untuk masuk ke dalam dunia yang kacau, dunia yang mengendalikan bahasa sebagai bentuk kekuasaan. CADL (atau kita membaca judulnya sebagai cadel) bisa dianggap sebagai alegori atas banyak hal, mulai dari pembungkaman, represi, sampai ke manipulasi makna oleh rezim.

Sebagai novel lipogram tanpa huruf E, Triskaidekaman harus menyiasatinya dengan pemanfaatan kata-kata arkais, serapan asing, serta neologisme atau kata ciptaan baru.

Beberapa contohnya adalah "sekolah" yang menjadi "maktab" (serapan bahasa Arab), "meja" yang menjadi "tabula" (neologisme table 'meja'), "surel" yang menjadi "ratron" (singkatan dari surat elektronik), "SMS" yang menjadi "sansing" (singkatan dari pesan singkat), dan "ponsel" yang menjadi "pongam" (singkatan dari telepon genggam).

Kosakata seperti itu memang membuat pembaca harus menyesuaikan diri. Beberapa istilah asing mungkin tidak familier dan membuat pembaca bolak-balik menebak makna. Namun, di sinilah kekuatan CADL. Tidak hanya menghibur, tetapi juga memancing pembaca untuk jadi lebih aktif, kritis, dan sadar terhadap fungsi bahasa dalam membentuk realitas.

Kemudian, hal tersebut juga menunjukkan bahwa Triskaidekaman tidak main-main dalam menanggapi tantangan di Quora. Gores-gores kalimatnya ditulis dengan penuh konsistensi, kreativitas, dan totalitas.

Secara keseluruhan, CADL bukanlah novel untuk dibaca sekali duduk (tetapi alasan ini tentatif untuk beberapa orang). Dengan beragam keunikannya, CADL menantang pembaca dalam berbagai aspek, seperti gaya bahasa, struktur kalimat, sampai narasi yang penuh sindiran.

Oleh karena itu, membaca CADL jadi sebuah pengalaman yang unik dan menyenangkan, terutama di tengah arus literasi populer saat ini yang cenderung mengikuti pola plot aman.

CADL bukanlah suguhan bacaan yang biasa. Novel ini cocok untuk pembaca yang menyukai eksperimen dalam sastra. Pembaca dapat mempertanyakan ulang bagaimana bahasa bekerja, seberapa besar kekuasaan yang tersimpan dalam huruf-huruf, dan bagaimana absennya satu huruf saja bisa mengubah segalanya: makna, identitas, bahkan keberadaan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak