Review Alice in Borderland Season 3: Kembali Bermain antara Hidup dan Mati

Hayuning Ratri Hapsari | Nurkalina Pratiwi Suganda
Review Alice in Borderland Season 3: Kembali Bermain antara Hidup dan Mati
Banner serial Alice in Borderland Season 3 (Netflix)

Babak akhir pada Alice in Borderland Season 2 menimbulkan pertanyaan serupa: "Siapa pemilik kartu Joker?"

Tayang secara resmi dalam platform Netflix mulai Kamis (25/9/2025), Alice in Borderland Season 3 sukses membuat hati penonton dan penggemar yang menunggu selama hampir tiga tahun ini gonjang-ganjing tak karuan.

Bukan sekadar alur cerita yang sepenuhnya orisinal saja—mengingat plot berdasarkan adaptasi manga selesai seperti pada Season 2, dengan sedikit penekanan terhadap kartu Joker—melainkan cara sutradara dan penulis naskah membawakannya secara masuk akal.

Meskipun Season 3 ini mengembangkan plot baru, eksekusinya masih bisa diterima dan tidak terkesan "memaksa", bahkan ada permainan yang baru diadaptasi dari manga.

Di samping itu, serial Jepang ini juga menghadirkan banyak tokoh baru dengan latar belakang berbeda, yang tentunya menggaet hati penggemar untuk lanjut menonton sampai selesai.

Tokoh-tokoh pendukung sebelumnya pun menunjukkan wajah sebagai kameo. Walaupun singkat, kemunculan tokoh favorit, seperti Chisiya dan Ann, membuat penonton berjingkrak kegirangan.

Sinopsis Alice in Borderland Season 3

Kartu joker dalam Alice in Borderland Season 3 (credits: Netflix)
Kartu joker dalam Alice in Borderland Season 3 (credits: Netflix)

Cerita dimulai dengan time skip 4 tahun pasca-Season 2.

Setelah bertemu di rumah sakit, bagaikan love at first sight, Arisu dan Usagi mulai mengenal satu sama lain dari awal. Pendekatan tersebut membawa keduanya ke jenjang pernikahan, kemudian membuat mereka tinggal di bawah atap yang sama.

Sebuah pembukaan manis juga menampilkan Usagi yang sedang mengisi lembar pergantian nama keluarga, sebuah budaya Jepang terkait nama keluarga istri yang mengikuti nama keluarga suami.

Mereka pun bersenda gurau soal membeli rumah, dibandingkan menyewa rumah, karena lebih hemat. Namun, uang yang Arisu dan Usagi kumpulkan sudah lebih dahulu terpakai untuk membeli cincin pernikahan.

Opening manis perlahan berubah masam setelah sesi wawancara pascakejadian jatuhnya meteorit di distrik Shibuya, Tokyo.

Arisu bertemu seorang asisten profesor bernama Ryuji, yang ternyata mewawancarainya dan memiliki ketertarikan terhadap Borderland, sebuah perbatasan antara hidup dan mati. Ketika melewati lorong, Ryuji berpesan agar Arisu menghubunginya, jikalau dia mengingat kejadian-kejadian di Borderland, seaneh apa pun itu.

Oleh karena itu, Usagi yang juga telah diwawancara dan sedang menunggu Arisu pun mau tidak mau bertemu dengan Ryuji. Di sinilah Ryuji menunjukkan keganjilan, semacam ketertarikan kuat pada Usagi.

Konflik dimulai secara kronologis saat Ryuji "menghadiri seminar" terkait Borderland, serta Usagi yang tiba-tiba menghilang setelah meminta maaf kepada Arisu melalui telepon.

Menghilangnya Usagi lekas terjawab. Dia pergi ke Borderland dengan alasan yang tidak diketahui oleh Arisu. Tak sanggup berdiam diri saja, Arisu lekas menyusul dengan bantuan Ann, seorang kawan lama yang berjuang bersama kelompok Arisu pada Season 1 dan Season 2. Arisu pergi berbekal ingatan yang samar mengenai Borderland dan insiden jatuhnya meteorit di distrik Shibuya.

Pada Season 3 ini, Arisu kembali bermain di Borderland dengan tujuan menemukan Usagi dan membawanya kembali pulang ke "dunia".

Seperti pada dua seasons sebelumnya, serial ini berpusat pada permainan unik antara hidup dan mati. Pemain harus patuh mengikuti aturan dan menyelesaikan permainan. Jika melanggar ataupun kalah, tentu ada konsekuensi dan penalti yang harus ditanggung.

Hal-Hal Menarik dalam Alice in Borderland Season 3

Salah satu scene dalam Alice in Borderland Season 3 (credits: Netflix)
Salah satu scene dalam Alice in Borderland Season 3 (credits: Netflix)

Perbedaan dalam Permainan

Bentuk permainan tidak lagi bergantung pada kategori ataupun nomor kartu, berhubung seluruh kartu telah terkumpul pada akhir Season 2, menyisakan Joker saja.

Akibatnya? Pemain tidak punya gambaran mengenai tingkat kesulitan (number card dan face card) serta jenis permainan, seperti fisik (Spades), kelompok (Clubs), psikologis (Hearts), ataupun kecerdasan (Diamonds).

Jenis permainan dalam Season 3 tidak begitu banyak, tetapi tetap sama menegangkannya. Ini disebabkan oleh jumlah episode yang lebih sedikit dibanding seasons sebelumnya, membuat beberapa permainan terasa melaju agak cepat.

Tokoh Pendukung Baru dan Ikatan Kelompok

Pada Season 3, mayoritas pemain game di Borderland merupakan tokoh baru. Mereka berasal dari latar belakang sosial yang lebih eksploratif.

Meskipun demikian, tokoh-tokoh pendukung ini berhasil meninggalkan kesan pada benak penonton. Contohnya, ada tokoh Rei, seorang perempuan cerdik dengan gaya eksentrik. Kemunculannya lekas menarik perhatian, membuatnya jadi salah satu tokoh pendukung favorit.

Sayangnya, latar belakang beberapa tokoh pendukung tidak digali lebih dalam, seperti pada seasons sebelumnya. Mayoritas hanya muncul, mengikat empati dalam kelompok, untuk kemudian menerima penalti tanpa pembahasan lanjut.

Adapun ikatan antarkelompok yang terbentuk. Dalam enam episode, chemistry yang dibangun terasa akrab dan hangat. Berlandaskan kepercayaan dalam permainan, mereka bergantung satu sama lain dan membuktikan kerja sama tim yang kuat.

Representasi Kematian, Borderland, dan Joker

Seperti sudah terungkap sebelumnya, Borderland merujuk pada area perbatasan, yang dalam hal ini berarti batas antara kehidupan dan kematian.

Di sini, seseorang yang mengalami henti jantung memiliki waktu 2 menit saja sebelum benar-benar pergi ke alam baka. Pada rentang 2 menit itulah dia "berjuang" di Borderland. Apakah semangat hidupnya besar untuk kembali? Atau padam dan memilih untuk menyerah pada kematian?

Dalam Alice in Borderland Season 3, konsep Borderland digambarkan lebih jelas dan mulai terarah. Dua menit di dunia setara dengan berhari-hari di Borderland, dan ini menjadi aspek penting penunjang jalannya cerita.

Selain itu, ada pula Joker yang diduga-duga penonton merepresentasikan "Tuhan". Nyatanya, Joker hanyalah kartu yang diibaratkan sebagai penjaga antara kehidupan dan kematian, semacam ferryman atau Charon dalam mitologi Yunani. Dia tidak punya kuasa setinggi itu, kok.

Kemudian, jika ditelisik lebih lanjut, serial asal Jepang ini pun sangat kuat dan konsisten dalam menggambarkan "pengalaman hampir mati".

Hal tersebut tampak jelas pada Season 3, yakni tidak ada plot hole apabila dilihat melalui aspek world building. Pengembangannya sangat apik nan rapi. Belum lagi efek CGI yang realistis, ajek seperti dua seasons sebelumnya sehingga penonton berdebar tak karuan.

Secara keseluruhan, Alice in Borderland Season 3 cukup memuaskan pada beberapa aspek permukaan. Beberapa lagi masih bisa diperdalam jika serialnya lebih banyak dari 6 episode. Dengan demikian, penonton pun bisa lebih dekat dengan tokoh pendukung yang mengesankan, meskipun hanya muncul sebagai kameo.

Selebihnya, perjalanan Arisu dan Usagi di sini sangat layak dilanjutkan supaya kita tidak penasaran, "Joker itu sebetulnya siapa, sih?"

Gimana menurutmu? Yuk, berbagi!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak