Review Film The Phoenician Scheme: Rekonsiliasi Ayah dan Anak di Tengah Proyek Ambisius

Hayuning Ratri Hapsari | Rosetiara Sahara
Review Film The Phoenician Scheme: Rekonsiliasi Ayah dan Anak di Tengah Proyek Ambisius
The Phoenician Scheme (IMDb)

The Phoenician Scheme merupakan film terbaru garapan sutradara Wes Anderson dengan naskah yang ditulis bersama Roman Coppola.

Film ini tayang perdana pada 18 Mei 2025 di Cannes Film Festival dan langsung mendapat sambutan hangat, lengkap dengan standing ovation selama 6,5 menit.

Setelah debutnya di Cannes, film ini mulai dirilis secara terbatas di beberapa negara sejak akhir Mei. Di Indonesia sendiri, The Phoenician Scheme mulai tayang di bioskop pada 6 Juni 2025.

Dibintangi oleh jajaran aktor ternama seperti Benicio Del Toro, Mia Threapleton, Scarlett Johansson, Tom Hanks, Benedict Cumberbatch, Riz Ahmed, Willem Dafoe, Bill Murray, Bryan Cranston, hingga Jeffrey Wright, film ini menyuguhkan kisah eksentrik khas Wes Anderson—namun kali ini dengan sentuhan emosional yang lebih mendalam.

Sinopsis

Mengambil latar era 1950-an, film ini mengisahkan tentang Anatole "Zsa-Zsa" Korda (Benicio Del Toro), seorang taipan industri senjata dan penerbangan yang telah berulang kali selamat dari percobaan pembunuhan.

Merasa umurnya tak lagi panjang dan ancaman terus menghantui, Zsa-Zsa mulai menentukan siapa yang layak untuk melanjutkan proyek infrastruktur ambisiusnya bernama Korda Land and Sea Phoenician Infrastructure Scheme.

Alih-alih menunjuk salah satu dari sembilan anak laki-lakinya, Zsa-Zsa justru memanggil pulang putri sulungnya, Liesl (Mia Threapleton), seorang biarawati yang selama bertahun-tahun hidup terasing dari sang ayah.

Didampingi oleh asisten pribadi bernama Bjorn (Michael Cera), Zsa-Zsa dan Liesl melakukan perjalanan melintasi Eropa dan Afrika Utara. Misi mereka adalah meyakinkan deretan investor eksentrik agar mau mendanai proyek ambisius tersebut.

Dalam perjalanan yang absurd namun menyentuh ini, mereka menghadapi berbagai rintangan, mulai dari harga material yang melonjak secara tiba-tiba, ancaman pembunuhan, hingga tekanan dari pemerintah internasional yang menolak proyek tersebut.

Namun, di tengah kekacauan ini, hubungan Liesl dan Zsa-Zsa yang sebelumnya penuh jarak perlahan mulai terbangun kembali, dan menjadi poros emosional dari film ini.

Liesl yang tumbuh dalam nilai-nilai religius menjadi pengingat bagi Zsa-Zsa yang selama hidupnya terus berkutat pada kepentingan bisnis.

Review Film The Phoenician Scheme

Wes Anderson memang tak pernah gagal menghadirkan dunia sinematik yang unik—dan The Phoenician Scheme menjadi bukti terbaru dari konsistensi sekaligus evolusi gaya khasnya.

Sang sutradara kembali dengan segala ciri khas yang selama ini melekat erat: mulai dari visual simetris, palet warna pastel, humor deadpan, lengkap dengan ensemble cast yang bejibun.

Namun, berbeda dari karya-karya terdahulu, The Phoenician Scheme tampil lebih reflektif dan menyentuh sisi emosional hingga spiritual yang sebelumnya jarang dieksplorasi secara mendalam oleh Wes Anderson.

Refleksi ini hadir lewat kisah Zsa-Zsa Korda yang sejatinya hanya ingin merajut kembali hubungan dengan putrinya, Liesl—meski ia sendiri tampak lebih nyaman menyebutnya sekadar urusan bisnis.

Hubungan mereka yang kaku dan penuh sejarah kelam inilah yang menjadi landasan untuk menggali tema besar seperti pencarian jati diri, makna hidup, hingga pertanggungjawaban atas dosa-dosa masa lalu.

Dengan narasi yang kuat secara emosional tersebut, Wes Anderson tak lupa mendukungnya lewat aspek teknis yang ciamik. Seperti biasa, ia tahu betul cara menciptakan visual yang unik dan imersif.

Tata produksi yang digarap dengan detail tinggi, ditambah sinematografi dari Bruno Delbonnel yang menggunakan format 35 mm, membuat atmosfer tahun 1950-an terasa autentik.

Namun, di titik tertentu, justru visual yang terlampau indah ini bisa menjadi distraksi. Ada saat-saat ketika saya terlalu sibuk mengagumi tampilan film, sampai lupa meresapi emosi yang semestinya muncul dari adegan yang sedang berlangsung.

Selain itu, dari segi ritme, film ini tidak selalu stabil. Beberapa transisi dari adegan intens ke percakapan filosofis terasa terlalu mendadak, sementara di bagian lain, film tampak terlalu betah berkutat di satu dialog panjang yang tak kunjung menuju resolusi.

Ditambah dengan latar kompleks seputar bisnis yang tidak seluruhnya dijelaskan secara gamblang, ada momen ketika saya sempat merasa kewalahan mengikuti jalannya cerita.

Satu lagi kekurangan yang cukup kentara adalah bagaimana film ini, seperti banyak film Wes Anderson sebelumnya, terlalu padat dengan aktor-aktor besar yang sayangnya tidak diberi ruang cukup untuk bersinar.

Rasanya seperti kita disuguhi buffet mewah yang menggiurkan, namun hanya sempat mencicipi satu atau dua hidangan. Di tengah deretan ensemble cast yang mengesankan, hanya sedikit karakter yang benar-benar mendapat pengembangan berarti.

Meski tidak lepas dari beberapa kekurangan, The Phoenician Scheme tetap menjadi sajian sinematik yang berkesan. Film ini juga layak diapresiasi sebagai upaya Wes Anderson menjelajah ranah emosional dan spiritual tanpa kehilangan sentuhan khasnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak