Ada film horor yang datang dengan niat menakut-nakuti, tapi ada juga yang datang membawa luka, rasa bersalah, dan bisikan masa lalu yang nggak pernah benar-benar mati. Nah, Film The Black Phone 2 termasuk jenis kedua.
Disutradarai lagi sama Scott Derrickson dan ditulis bareng C. Robert Cargill, film ini nggak sebatas jadi kelanjutan dari kisah anak yang selamat dari penculik gila, tapi juga perjalanan batin dari trauma, mimpi buruk, dan batas tipis antara dunia nyata dan kematian.
Dan ya, Ethan Hawke kembali, tapi bukan sebagai manusia biasa. Kali ini, dia berubah jadi sesuatu yang jauh lebih menyeramkan, entitas yang menyerap energi dari arwah korbannya terdahulu. Asli ngeri banget, tapi juga nggak nyangka bakal ada lanjutannya.
Yup, Ini Adalah Sekuel yang Nggak Pernah Terbayangkan

Film pertamanya di 2021 berakhir dengan tuntas. Sang pembunuh anak, The Grabber, tewas di tangan korban terakhirnya, Finney Blake (diperankan lagi sama Mason Thames).
Jadi waktu diumumkan bakal ada Film The Black Phone 2, banyak yang mikir, “Lho, apa lagi yang mau diceritain?”
Ternyata jawabannya adalah mimpi buruk yang belum selesai.
Cerita kali ini lompat ke tahun 1982, beberapa tahun setelah kejadian di film pertama. Finney kini remaja yang dipenuhi amarah dan trauma. Dia masih dihantui ‘telepon hitam’ yang dulu jadi penyelamatnya, telepon yang terus berdering dari dunia lain, seolah-olah ingin mengingatkan ‘ada masa lalu yang nggak pernah benar-benar hilang’.
Namun menariknya, fokus utama film bukan lagi di Finney. Pusat ceritanya pindah ke Gwen (diperankan Madeleine McGraw), adik Finney yang punya kemampuan melihat penglihatan gaib sejak kecil.
Gwen mulai dihantui mimpi-mimpi aneh (anak-anak yang tenggelam di bawah danau beku, wajah-wajah rusak, dan suara telepon yang terus memanggil dari balik kegelapan).
Lewat serangkaian mimpi itu, Gwen menemukan satu petunjuk besar: Alpine Lake, perkemahan tua di tengah badai salju, empat di mana ibunya dulu pernah jadi pembina di tahun 1950-an. Bersama Finney dan pacarnya yang baru, Ernesto (diperankan Miguel Mora), Gwen memutuskan mencari jawaban ke sana.
Setibanya di kamp, suasananya langsung bikin bulu kuduk berdiri. Salju yang turun deras, kabin tua yang sepi, dan cuma ada segelintir orang. Seram deh!
Di sana ada pengawas kamp (Demian Bichir) yang misterius, keponakannya Mustang (Arianna Rivas), dan dua pegawai kamp yang nyaris nggak punya ekspresi.
Di sinilah semua benang masa lalu mulai terurai. Antara trauma keluarga, roh anak-anak yang belum tenang, dan sosok Grabber yang tampaknya belum benar-benar pergi. Teror demi teror pun berdatangan. Lebih dari itu, film ini sukses menebar teror.
Sesukses Apa Sih?

Gini, kalau Sobat Yoursay penggemar ‘Nightmare on Elm Street’, kamu bakal senyum getir nonton film ini. Bukan karena lucu, tapi karena terasa seperti penghormatan yang berdarah-darah.
Derrickson dan sinematografer Par M. Ekberg memakai visual bergaya home video tahun ‘80-an untuk adegan-adegan mimpi Gwen, yang bernuansa grainy, buram, dan bikin kita serasa nonton rekaman terkutuk dari kaset VHS jadul.
Di satu sisi, ‘The Black Phone 2’ memang terasa seperti tribut buat era emas horor, tapi di sisi lain, film ini juga punya keunikan tersendiri. Terutama saat Derrickson mulai bermain dengan ‘agama dan rasa bersalah’, tentang iman, keselamatan, dan ketakutan yang lahir dari kehilangan.
Ada adegan di mana Gwen berbicara dengan arwah ibunya lewat telepon dalam mimpi, itu sih bukan cuma menakutkan, tapi juga mengharukan. Derrickson berani menempatkan elemen spiritual di tengah film berdarah dingin ini, bikin kisahnya bukan cuma soal setan atau roh jahat, tapi juga soal kepercayaan dan harapan yang rapuh.
Film ini gila! Oh, jelas! Tapi dalam arti yang bagus ya. Jarang banget studio besar ngasih ruang buat horor yang segelap dan sekejam ini. Beberapa adegan benar-benar disturbing, misalnya potongan wajah yang masih bergerak di balik pecahan kaca, atau tubuh anak-anak yang tertimbun di bawah es tapi masih hidup.
Satu adegan yang paling melekat adalah saat Finney berdiri di dalam bilik telepon di tengah hamparan salju. Saat kamera berputar pelan, di balik kabut putih mulai muncul siluet anak-anak yang hilang, satu per satu mengitari bilik itu seperti arwah penasaran. Gila banget, Derrickson tahu betul gimana cara bikin mimpi buruk jadi nyata tanpa harus teriak-teriak.
Dan menjelang akhir, dua sekuens besar benar-benar memamerkan energi ‘Nightmare on Elm Street’ dalam versi modern. Scene di dapur, nah satunya di bilik telepon berdarah. Keduanya eksplosif dan intens banget.
Kalau ada yang agak bikin pacing-nya tersendat, mungkin bagian tengah film yang terlalu banyak ‘ceramah’ soal kenapa mereka di sana dan apa yang sebenarnya terjadi. Di momen itu, film terasa kehilangan magis mimpi buruknya dan terlalu sibuk menjelaskan logika. Untungnya, semuanya ditebus di babak akhir.
Buruan Ke Bioskop Sebelum Turun Layar!

Jelas ya Sobat Yoursay, Film The Black Phone 2 bukan sekadar sekuel, tapi transformasi.
Dan bila kamu sudah nonton film pertama, seharusnya nggak melewatkan sekuelnya yang sudah rilis bioskop Indonesia sejak 15 Oktober 2025. Selamat nonton ya!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS