Review Film Avatar: Fire and Ash, Spektakel Visual Apik di Pandora

Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Review Film Avatar: Fire and Ash, Spektakel Visual Apik di Pandora
Poster film Avatar: Fire and Ash (IMDb)

Avatar: Fire and Ash, instalmen ketiga dari saga epik James Cameron, akhirnya hadir di layar lebar. Film ini melanjutkan petualangan keluarga Sully di Pandora, dunia alien yang memukau dengan keindahan dan bahayanya.

Dirilis pada 17 Desember 2025 di bioskop Indonesia—lebih awal dua hari dibandingkan Amerika Serikat (19 Desember)—film berdurasi 197 menit ini menjadi salah satu tayangan paling dinanti tahun ini. Dengan budget mencapai ratusan juta dolar, Cameron kembali membuktikan dirinya sebagai maestro visual effects, meski tidak lepas dari kritik atas formula cerita yang mulai terasa repetitif.

Sinopsis: Keluarga Sully Hadapi Api dan Abu di Pandora

Salah satu adegan di film Avatar: Fire and Ash (IMDb)
Salah satu adegan di film Avatar: Fire and Ash (IMDb)

Sinopsisnya tanpa spoiler berat. Beberapa waktu setelah peristiwa Avatar: The Way of Water, Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldaña) beserta anak-anak mereka masih berduka atas kehilangan tragis Neteyam.

Mereka meninggalkan klan Metkayina dan menjelajahi wilayah baru Pandora, termasuk bertemu dengan suku Na'vi yang lebih agresif, Mangkwan atau Ash People, dipimpin oleh Varang (Oona Chaplin) yang karismatik sekaligus kejam.

Konflik lama dengan manusia, dipimpin Colonel Miles Quaritch (Stephen Lang) yang kembali, semakin memanas ketika aliansi tak terduga terbentuk. Tema utama film ini adalah duka, balas dendam, dan konsekuensi kekerasan, dengan eksplorasi sisi lebih gelap Pandora yang melibatkan elemen api dan abu.

Secara visual, Avatar: Fire and Ash tetap tak tertandingi. Cameron dan timnya menghadirkan dunia Pandora yang semakin kaya detail. Pengenalan Wind Traders—suku nomaden yang hidup di armada kapal terbang ditarik oleh makhluk mirip ubur-ubur raksasa—menjadi sorotan utama.

Adegan-adegan ini, terutama dalam format 3D, memberikan sensasi imersif luar biasa, seolah penonton benar-benar melayang di angkasa Pandora. Efek api, abu vulkanik, dan pertempuran udara terasa hidup, dengan penggunaan spektrum warna penuh yang menyegarkan mata.

Teknologi motion capture semakin halus, membuat ekspresi Na'vi terasa lebih manusiawi. Bagi yang menonton di IMAX atau 3D, ini adalah pengalaman sinematik sejati yang sulit dilupakan. Skor musik Simon Franglen juga mendukung atmosfer epik, meski tidak seikonik karya mendiang James Horner.

Review Film Avatar: Fire and Ash

Salah satu adegan di film Avatar: Fire and Ash (IMDb)
Salah satu adegan di film Avatar: Fire and Ash (IMDb)

Akan tetapi, di balik kehebatan visual, cerita menjadi titik lemah terbesar. Bisa dibilang film ini repetitif. Narasi mengulang beat dari dua film sebelumnya: manusia invasif vs Na'vi harmonis, pertempuran besar, dan pelajaran tentang alam.

Meski efek visual tetap cutting-edge, pengulangan naratif ini frustrating, meskipun spektakelnya masih memberikan thrills unik. Film terasa seperti ekstensi langsung dari The Way of Water, dengan lore yang ditumpuk tapi kurang inovatif.

Runtime panjang membuat beberapa bagian terasa melelahkan, terutama di babak tengah yang penuh dialog militer dan mitologi berlebih. Tema duka dan kekerasan dieksplorasi dengan baik, tapi terasa kurang mendalam dibandingkan potensinya.

Jujur sih, performa aktornya menjadi penyelamat. Zoe Saldaña kembali mencuri perhatian sebagai Neytiri yang penuh amarah dan duka, dengan sequence aksi yang menempatkannya sejajar dengan ikon seperti Ellen Ripley.

Stephen Lang semakin menikmati peran Quaritch, membuat villain ini lebih kompleks dan menghibur. Sorotan terbesar jatuh pada Oona Chaplin sebagai Varang—pemimpin Ash People yang ruthless dan witchy, memberikan energi segar sebagai antagonis.

Jack Champion sebagai Spider juga berkembang, dari karakter mengganggu menjadi lebih relatable. Sam Worthington tetap solid sebagai Jake, meski karakternya kurang berkembang.

Secara keseluruhan, Avatar: Fire and Ash adalah blockbuster yang memuaskan bagi penggemar saga ini, terutama yang haus akan visual spektakuler dan aksi nonstop.

Mulai dari finale yang gratifying dan skala operatiknya. Beberapa adegan memang agak stuck on repeat, dengan fatigue yang mulai terasa. Bagi penonton baru, ini mungkin terasa overwhelming; bagi fans, ini lanjutan layak yang membangun menuju Avatar 4. Rating pribadi dariku 7.5/10—luar biasa secara teknis, tapi cerita perlu lebih berani.

Film ini tayang mulai 17 Desember 2025, di seluruh jaringan bioskop Indonesia seperti Cinema XXI, CGV, Cinepolis, dan lainnya. Advance ticket sudah tersedia sejak 12 Desember. Saranku tonton di format 3D atau IMAX untuk pengalaman maksimal. Pandora kembali membara—jangan lewatkan ya, Sobat Yoursay!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak