Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Foto Skor Film Final Destination – Bloodlines (Rotten Tomatoes)

Ada yang menarik dari bagaimana ‘kematian’ diperlakukan dalam waralaba ‘Final Destination’. Kematian nggak cuma akhir, tapi ritus yang nggak bisa ditunda, nggak bisa dilawan. Selalu datang, nggak peduli seberapa keras kita berlari atau sembunyi. Dan ‘Bloodlines’, film keenam yang muncul setelah 14 tahun senyap, berhasil membawa kembali mimpi buruk itu dan membuatnya lebih menyenangkan sekaligus menegangkan dari sebelumnya.

Bukan hal mudah menghidupkan kembali franchise lawas, apalagi yang sudah punya ciri khas kuat. Namun, ‘Bloodlines’ melakukan hal itu dengan sangat baik. 

Skor 92 persen di Rotten Tomatoes dari para kritikus adalah bukti nyata. Nggak cuma berlandaskan nostalgia yang bekerja di sini, tapi juga kualitas narasi dan penyutradaraan yang solid. Ada sesuatu yang terasa segar dan detail yang diperhatikan dalam cara film ini dibentuk, sekaligus cukup familier membuat penggemar lama kembali ke bioskop. 

Buat penonton yang tumbuh bersama waralaba ini, tentunya nggak bisa nggak terkejut sekaligus lega. Ada kekhawatiran yang mungkin menganggap ‘Bloodlines’ cuma jadi upaya mengejar pasar, menambal kerinduan fans dengan formula usang. Eh, ternyata film ini justru bermain cerdas. Yap, memanfaatkan jeda waktu panjang sebagai ruang berproses, yang nggak cuma untuk pengembangan karakter, tapi juga pengembangan konsep kematian itu sendiri dalam sinema horor.

Film ini nggak hanya menyuguhkan adegan kematian yang spektakuler, tapi juga membangun ketegangan secara psikologis. Ada waktu untuk takut, menebak, bahkan menyesal, sebelum akhirnya kita menyaksikan tubuh yang terserang tanpa ampun. Dan ketegangan dalam film ini merupakan buah dengan rasa yang langka.

Dan satu di antara aspek yang mengejutkan tuh, ada pada fokus ceritanya yang tertuju pada satu keluarga besar. Sebenarnya ini jadi titik belah: Sebagian kritikus melihatnya sebagai kelemahan, yang lain, menganggapnya pengembangan plot yang bagus. 

Alih-alih menyuguhkan karakter-karakter random yang mati satu per satu, ‘Bloodlines’ ngasih kita keterikatan emosional. Kita mengenal mereka sedikit lebih dalam, dan itu membuat setiap kematian terasa lebih berat atau bahkan lebih kejam.

Ada pula penampilan terakhir dari Tony Todd sebagai William Bludworth, ikon waralaba yang kembali hadir untuk menutup lingkaran kematian ini. Kehadirannya nggak cuma simbolik, tapi juga emosional. Dia nggak lagi sebagai pembawa pesan maut, tapi menjadi lambang dari keabadian franchise ini sendiri, (sesuatu yang nggak pernah benar-benar mati). 

‘Bloodlines’ juga menandai kemenangan dua sutradara: Zach Lipovsky dan Adam B. Stein. Keduanya mampu menyeimbangkan dua sisi dunia horor modern, yakni perihal sensasi dan substansi. Mereka tahu cara menghibur, tapi juga tahu, bahwa horor akan bekerja lebih baik ketika ada logika dan jiwa di baliknya. Setiap jebakan maut yang mereka suguhkan terasa seperti koreografi sang maut yang indah dan menakutkan sekaligus.

Yang menarik, skor penonton di Rotten Tomatoes pun tinggi—89 persen. Ini bukan cuma validasi film ini diterima baik, tapi juga bukti kalau gaya horor khas Final Destination masih punya tempat di hati penonton.

Akhirnya, ‘Bloodlines’ nggak cuma jadi film keenam dalam deretan Film Final Destination, tapi juga semacam manifesto baru, bahwa horor nggak perlu berubah total untuk jadi relevan. Kadang, cukup dengan mengenali akarnya, lalu menyuntikkan ide baru tanpa kehilangan esensi sebenarnya. 

Sudahkan Sobat Yoursay nonton Film Final Destination – Bloodlines? Tontonlah sebelum turun layar. Filmnya masih tayang di bioskop dan seru banget lho!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Athar Farha