"Life is an adventure in forgiveness", adalah quote dari Norman Cousins, seorang jurnalis politik Amerika, penulis, profesor, dan penasihat perdamaian dunia.
Dalam hidup, banyak orang menilai bahwa meminta maaf lebih sulit dari pada memaafkan. Kita melihat mereka yang bersalah atas perbuatannya sangat sulit untuk meminta maaf kepada mereka yang dirugikan. Padahal, sejatinya memaafkanlah yang paling sulit untuk dilakukan.
Hal itu terjadi karena, rasa sakit dan kehilangan yang kita alami tidak dapat digantikan oleh pernyataan maaf ataupun diberi bentuk tanggung jawab berupa materi yang diberikan orang yang berbuat salah kepada kita.
Beberapa orang kesulitan untuk memaafkan karena mereka sadar atas haknya untuk merasa marah dan pihak yang bersalah tidak layak mendapatkan kebaikan. Membuat keputusan untuk memaafkan berarti kita melepaskan kebencian, yang mana kita memiliki semua hak untuk memilikinya, namun kita putuskan untuk melepaskannya supaya rasa damai itu muncul.
Oleh karena itu, terkadang kita seolah-olah telah memaafkan kesalahan mereka dengan tegar, walaupun acap kali masih memendam rasa sakit dan dendam.
Martin Luther King Jr mengingatkan kita tentang ini dengan mengatakan “Forgiveness is not an occasional act, it is a constant attitude,” yang diterjemahkan menjadi "Memaafkan bukan tentang menyetujui tindakan, melegalkan, menyangkal, atau mengabaikan sebuah tindakan".
Bukan hanya soal sekadar moving on, melupakan, atau menganggap tidak pernah terjadi sesuatu, menenangkan diri untuk kemudian membalas dendam, membenarkan atau melepaskan keadilan yang mungkin dibutuhkan, dan juga bukan soal upaya tawar-menawar atau negosiasi.
Menurut seorang pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, memaafkan lebih dari sekadar berhenti merasa marah, merasa netral terhadap situasi atau keadaan yang terjadi, membuat diri merasa senang dalam satu episode proses memaafkan, dan lebih dari sekadar restorasi rasa percaya terhadap orang yang bersalah. Lantas, apa itu memaafkan?
Memaafkan adalah proses. Dalam proses tersebut, kita berupaya untuk menerima emosi negatif terhadap peristiwa yang terjadi, benar-benar menempatkan yang salah dalam kata kata dengan cara yang jujur dan otentik. Kemudian, kita dengan kemauan sendiri bertekad untuk melepaskan seluruh emosi negatif tersebut dengan cara memberikannya pada kekuatan yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, proses ini akan mengantarkan kita pada perubahan emosi negatif menjadi rasa damai, empati, dan compassion. Ketika seseorang memberikan rasa ampunnya, mereka tidak lagi dikuasai oleh emosi negative terhadap orang atau situasi tertentu.
Memaafkan terbagi dalam tiga hal. Pertama, keputusan untuk mengatasi rasa sakit yang ditimbulkan oleh orang lain atau suatu peristiwa. Kedua, melepaskan kemarahan, dendam, rasa malu, dan emosi negatif lain yang terkait dengan ketidakadilan, meskipun itu adalah perasaan yang masuk akal. Ketiga, memperlakukan si pelaku dengan belas kasih, meskipun mereka tidak berhak untuk itu.
Muncul pertanyaan di benak kita, untuk apa kita perlu memaafkan sesuatu yang tidak mungkin akan menggantikan rasa sakit dan kehilangan yang kita rasakan? jawabannya adalah :
- Memaafkan membantu untuk melepaskan diri dari rasa marah.
- Memaafkan membantu kita mengubah pikiran destruktif menjadi pikiran yang lebih sehat.
- Memaafkan membantu kita mengarahkan perilaku menjadi lebih santun terhadap orang yang pernah menyakiti kita.
- Memaafkan akan membantu kita membangun interaksi yang lebih baik dengan orang lain.
- Memaafkan dapat meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang yang pernah menyakiti kita.
- Memaafkan bisa membuat orang yang menyakiti kita melihat lebih jelas sikap tidak adil yang pernah mereka lakukan, sehingga mereka dapat berupaya berhenti atau tidak mengulanginya lagi.
Oleh karena itu, dapat kita tarik kesimpulan bahwa memaafkan adalah sebuah proses. Setiap orang memiliki prosesnya masing-masing sehingga tidak bisa disamakan. Selama proses berlangsung, akan banyak rasa tidak nyaman yang dirasakan.
Rasa ini perlu dihadapi dan dikelola, sehingga proses dapat terus bergerak maju. Ingatlah pada akhir perjalanan nanti, Anda akan mencapai rasa damai dan mengenal diri Anda semakin dalam, sehingga rasa cinta terhadap diri sendiri pun semakin meningkat.
Sumber : Hanum, Lathifah. 2020. Forgiveness & Mental Health. Depok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Oleh : Affan Syafiq/ Mahasiswa Universitas Indonesia
Email : affansyafiq5@gmail.com
Baca Juga
-
Pentingnya Edukasi Anti Kekerasan Seksual di Lingkungan Organisasi
-
Tips Manajemen Waktu ala Teknik Eisenhower Decision Matrix
-
Kasus Corona Tembus 200 Ribu, Indonesia 'Di-lockdown' Negara Lain
-
Ini Alasan Kenapa Pembahasan RUU Cipta Kerja Harus Dihentikan
-
Tagar #UIBergerak Trending, Mahasiswa UI Tuntut Keringanan UKT
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Berani Bahagia, Raih Kebahagiaan Lewat Nalar Psikologi Sosial
-
Jalin Kerjasama Internasional, Psikologi UNJA MoA dengan Kampus Malaysia
-
Reza Indragiri Adukan Akun Fufufafa ke Layanan Lapor Mas Wapres, Responsnya Gitu Doang: Kayak Bisnis!
-
Ngadu ke 'Lapor Mas Wapres', Ingat Lagi Reza Indragiri Pernah Kuliti Dalang Fufufafa: Makhluk Problematik
-
Isi Lengkap Chat Reza Indragiri ke Lapor Mas Wapres: Seret Nama Roy Suryo saat Tanya Siapa Fufufafa
Health
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Suka Konsumsi Kulit Buah Kopi? Ini 3 Manfaat yang Terkandung di Dalamnya
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
4 Minuman Pengahangat Tubuh di Musim Hujan, Ada yang Jadi Warisan Budaya!
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans