Depresi umumnya cukup identik dengan sifat keputusasahan, kesedihan, kelesuhan, kecewa atau beberapa sikap yang membuat penderitanya merasa bahwa dunianya telah hancur. Namun, dalam kasus depresi tersenyum/kegembiraan atau smiling depression, penderitanua justru akan menunjukkan sifat gembira seperti tidak ada dalam tekanan. Padahal, sejatinya dia hidup dalam depresi dan rasa stres dalam dirinya.
Salah satu contoh kasus yang sempat mengangkat tema smiling depression adalah dalam film Joker di tahun 2019 silam. Karakter Arthur atau Joker yang diperankan oleh Joaquin Phoenix tersebut memberikan gambaran konkrit mengenai kasus smiling depression yang kerap kali dialami orang-orang, namun tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Berbahagia Sembari Menyembunyikan Kondisi Psikisnya
Orang-orang yang cenderung mengalami smiling depression terkadang tidak mengetahui bahwa dia mengidapnya. Bahkan, lebih buruk lagi dia akan merasa dan menekankan bahwa dirinya baik-baik saja. Hal ini pada akhirnya membuat orang-orang di sekitarnya juga beranggapan demikian. Mereka akan senantiasa menggunakan ‘topeng’ yang menyembunyikan kondisi sebenarnya di dalam dirinya.
Uniknya, smiling depression masih belum dikategorikan sebagai gangguan mental. Melansir dari situs halodoc.com, smiling depression masih dikategorikan sebagai gangguan depresi mayor atau atipikal. Meskipun belum dikategorikan sebagai gangguan mental, akan tetapi penderita smiling depression tetap dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
Orang-orang dengan kasus smiling depression umumnya mengalami sebuah peristiwa hidup yang membuatnya mengalami perubahan secara psikis. Beberapa contohnya adalah mengalami putus pekerjaan atau mengalami ketidakberuntungan dalam hal asmara. Penyebab tersebut umumnya berlangsung dalam waktu yang panjang atau secara berkelanjutan. Hal inilah yang membuat kondisi mental orang tersebut mengalami naik-turun.
Smiling Depression Merupakan Bentuk Pelarian?
Penderita smiling depression pada dasarnya tidak mengetahui bahwa dia mengidap kelainan mental tersebut. Namun, ada beberapa kasus yang memungkinkan penderitanya mengetahui bahwa dirinya mengidap kelainan ini. Akan tetapi, dia juga bisa saja tetap menunjukkan sisi bahagianya sembari tenggelam dalam rasa depresinya. Beberapa faktor umumnya dapat membuat orang-orang ini tetap menujukkan sisi bahagianya. Salah satunya merupakan budaya dalam lingkungan sekitar.
Dalam beberapa kasus, dimungkinkan seseorang harus tetap menujukkan sisi positif atau bahagianya kepada khalayak ramai. Hal ini umumnnya untuk menghindari dirinya dicap sebagai seorang individu yang lemah. Dalam beberapa kasus lain, adapula yang tetap menujukkan sisi bahagianya agar tidak membuat orang lain merasa khawatir atau meras iba dengan masalah atau peristiwa buruk yang dialaminya. Hal inilah yang tidak jarang membuat adanya pergolakan batin dalam dirinya.
Budaya dalam masyarakat terkadang juga mendorong terjadinya smiling depression dalam diri seseorang. Salah satu contohnya adalah di masyarakat bahwa seorang pria atau lelaki tidak boleh menujukkan sisi lemah atau perasaan depresi dan sejenisnya di muka umum. Hal ini memiliki keterkaitan dengan konsep maskulinitas yang melekat pada seorang pria.
Dalam masyarakat secara umum, seorang pria digambarkan harus memiliki mental dan perilaku yang tangguh sehingga tidak boleh menujukkan sisi lemahnya. Padahal, sejatinya setiap orang baik tua, muda, lelaki ataupun perempuan dapat dimungkinkan terkena smiling depression. Belum lagi susahnya kondisi mental ini untuk terdeteksi dan keengganan seseorang yang dianggap menderita kelainan ini untuk berobat membuat smiling depression dianggap sebagai ‘pembunuh mental yang senyap'.
Smiling depression menurut beberapa orang memang tidak terlalu dianggap sebuah kondisi gangguan mental yang berbahaya. Namun, dengan catatan penderita smiling depression ini tidak melakukan sebuah tindakan yang membahayakan dirinya ataupun orang lain. Orang-orang yang menderita smiling depression umumnya dapat ditangani dengan melakukan konsultasi kepada psikolog guna menemukan penyebab serta jalan keluar dan menemukan terapi yang sesuai untuknya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Maarten Paes Sebut Laga Kontra China dan Bahrain Sangat Penting, Mengapa?
-
Ole Romeny Gabung ke Timnas, Ini Ungkapan Kegembiraan Ragnar Oratmangoen
-
Rencana Gila STY: Duetkan 2 Pemain dengan Keahlian Lemparan Jauh di Timnas
-
Tanpa Ragnar, STY Masih Bisa Turunkan Trio Keturunan Belanda di Lini Depan Timnas?
Artikel Terkait
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Ulasan Novel Logika Asa, Perjuangan Diri di Tengah Tuntutan Keluarga
-
Menemukan Kebahagiaan Sejati dari Buku Bahagia Itu Sederhana Karya Sir John
-
Alasan Mengapa Kamu Memandang Buruk Orang Lain
-
Aroma Menenangkan dan Efek Relaksasi, Bantu Gen Z Jadi Lebih Percaya Diri
Health
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Suka Konsumsi Kulit Buah Kopi? Ini 3 Manfaat yang Terkandung di Dalamnya
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
4 Minuman Pengahangat Tubuh di Musim Hujan, Ada yang Jadi Warisan Budaya!
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
Terkini
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg
-
Hazelight Studios Umumkan Game Baru, Siap Hadirkan Inovasi Co-Op Unik!