M. Reza Sulaiman
Ilustrasi gangguan kecemasan karena media sosial. (Freepik.com/Drazen Zigic)

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital, ada satu penyakit baru yang diam-diam menyebar, terutama di kalangan anak muda: gaangguan kecemasan. Kenapa sih ini penting banget dibahas?

Topik ini menjadi sorotan utama dalam Kongres Nasional XI Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di Makassar, di mana para ahli membedah bagaimana teknologi dan media sosial telah mengubah lanskap kesehatan jiwa kita.

Teknologi: Jembatan atau Justru Penjara?

Dr. Andri, Sp.KJ, FAPM, Kepala Klinik Psikosomatik RS EMC Alam Sutera, membuka sesi dengan fakta yang mengejutkan. Ia menyebut kurang dari 20 persen penderita kecemasan di dunia mendapatkan terapi yang memadai. Di sinilah, menurutnya, teknologi bisa menjadi jembatan, bukan pengganti.

Telepsikiatri dan terapi berbasis internet kini terbukti sama efektifnya dengan sesi tatap muka. Aplikasi berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT) seperti Wysa dan SilverCloud bisa memberikan akses bagi mereka yang kesulitan menjangkau layanan kesehatan mental.

Bahkan, terapi berbasis Virtual Reality (VR) kini memungkinkan pasien dengan fobia atau kecemasan sosial untuk berlatih menghadapi situasi yang menakutkan dalam ruang yang aman.

Namun, dr. Andri mengingatkan, “Teknologi adalah alat bantu, bukan pengganti relasi manusiawi antara dokter dan pasien.”

Otak 'Korslet' Gara-gara Komentar Negatif

Pembicara berikutnya, Prof. Dr. dr. Mustafa M. Amin, Sp.KJ(K) dari Universitas Sumatera Utara, menyoroti fenomena baru yang muncul dari penggunaan media sosial: perbandingan sosial ke atas, fear of missing out (FOMO), dan kecemasan pasca-posting.

“Media sosial bukan hanya pemicu, tetapi juga memodifikasi perjalanan gangguan kecemasan sosial,” jelas dr. Mustafa.

Temuan dari pemindaian otak mendukung pernyataan ini. Aktivitas amigdala (bagian otak yang merespons ancaman) akan meningkat ketika seseorang menerima komentar negatif di dunia maya, sementara korteks prefrontal (bagian otak yang mengatur kontrol emosi) justru aktivitasnya menurun.

Sederhananya, otak kita bisa "korslet" hanya karena sebuah komentar julid.

Kongres Nasional XI Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di Makassar. (Dok. Pribadi/dr Andri)

Remaja Paling Rentan: Saat Dunia Maya Jadi Cermin Diri

Presentasi ketiga datang dari Dr. dr. Veranita Pandia, Sp.KJ(K) dari RSHS/FK Unpad, yang mengangkat tema Media Sosial dan Kecemasan pada Remaja. Ia memaparkan bahwa lebih dari sepertiga remaja pengguna media sosial mengalami gejala kecemasan, terutama pada perempuan.

“Remaja hidup di dua dunia: nyata dan maya. Ketika validasi diri bergantung pada ‘likes’ dan komentar, mereka sangat rentan terhadap social appearance anxiety (kecemasan penampilan sosial),” jelas dr. Veranita.

Namun, ia juga menyoroti solusi yang menjanjikan: detoks digital, mindfulness, dan edukasi orang tua. Menurutnya, terapi digital berbasis CBT jauh lebih efektif (83%) dibandingkan sekadar membatasi penggunaan media sosial.

“Sebelum anak memiliki akun media sosial, pastikan mereka sudah memiliki literasi emosional,” pesannya.

Jiwa Juga Butuh Jeda

Ketiga presentasi ini menggambarkan bahwa dunia digital telah menjadi bagian dari ekosistem psikologis manusia modern.

“Kita tidak sedang berperang dengan teknologi. Kita sedang belajar menjadi manusia di tengah banjir informasi dan notifikasi. Kecemasan di era digital bukan tanda kelemahan—ia adalah panggilan untuk kembali menyadari bahwa jiwa pun butuh jeda,” tutup dr. Andri.