Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Melynda Dwi Puspita
Ilustrasi Mengantuk Saat Webinar (Pexels.com/melyndadwipuspi)

“Kapan sertifikatnya dibagikan?”

“Apa peserta webinar mendapatkan sertifikat?”

Dua kalimat tersebut sangat sering saya jumpai ketika mengikuti sebuah webinar. Webinar yang merupakan akronim dari web seminar memang begitu giat dilaksanakan ketika pandemi Covid-19 berlangsung. Tak perlu menggelontorkan dana untuk menyewa gedung maupun membayar catering. Banyak instansi yang hanya bermodalkan Zoom atau Google Meet, bisa melaksanakan seminar secara daring (online) dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa perlu takut terpapar penyakit.

Ibarat sebuah virus, webinar telah menjangkit banyak orang. Begitu pula dengan saya yang sudah menganggap webinar sebagai sebuah hobi baru di era new normal. Tak perlu keluar rumah, bahkan para introver seperti saya dibuat gembira sebab bisa merasakan jalan-jalan online melalui sebuah smatphone (virtual tour).

Webinar itu ada banyak jenis dan macamnya. Ada webinar yang sebatas ‘ceramah’ mendengarkan para narasumber berorasi. Ada juga yang selayaknya training dan meminta peserta untuk mempraktikkan langsung informasi yang disampaikan. Dan ada pula webinar dengan berbagai macam topik, mulai dari kepenulisan, teknologi, konten digital, hingga lingkungan. Semua ilmu yang tak didapatkan semasa duduk di bangku sekolah dan kuliah, begitu muda diraih hanya melalui sebuah webinar cuma-cuma.

Kalau ditanya, sudah berapa kali mengikuti webinar? Entahlah, saya tidak mengetahui secara pasti berapa tepatnya. Mungkin puluhan, mungkin juga bisa sampai ratusan. Apakah telah merasakan manfaat ilmu dari sebuah webinar? Memang ada webinar yang begitu membosankan sehingga saya tak mengingatnya sama sekali. Namun ada pula webinar berkesan, baik karena penyampaian materi ataupun alasan pengetahuan baru yang menarik di hati.

Sayangnya, seperti sebuah tumpukan baju kotor belum dicuci, saya menganggap webinar mulai tak bernilai lagi. Seakan berlomba-lomba, banyak pihak yang menjadikan webinar sebagai program kerja ‘asal jadi’. Seringkali saya tidak menemukan di mana letak keunikan sebuah webinar apabila informasi yang dipaparkan bisa ditemukan di kolom pencarian Google. Tak ada presentasi asik seperti Steve Jobs, yang ada hanyalah orang membaca PPT dengan nada datar seperti jalan tol. 

Tak kehilangan akal, banyak pihak yang kerap menarik perhatian dengan doorprize bagi penanya terbaik agar mau mengikuti sebuah webinar. Namun ada satu hal yang sangat ingin saya tonjolkan, yakni para pengejar sertifikat yang saya sebut sebagai Sertifikat Hunter. Saya mengamati para peminta-minta sertifikat yang hanya sekadar hadir mengikuti webinar tetapi tak tahu apakah ia mendengarkan ataukah tidur. 

Mengapa begitu banyak sertifikat hunter bermunculan mempermasalahkan sertifikat yang terlambat dikirim? Saya tidak mengetahui, apakah sertifikat webinar merupakan salah syarat kelulusan sekolah/perkuliahan ataukah mungkin bisa diuangkan? Bahkan yang paling menjengkelkan ialah ketika kolom chat aplikasi webinar penuh dengan permintaan ‘link absensi’.

Akhir kata, saya begitu ragu apakah webinar yang menjamur di era pandemi begitu efektif mencetak masyarakat berilmu? Ataukah hanya sekadar menciptakan orang-orang dengan hobi baru sebagai pengumpul sertifikat?

Melynda Dwi Puspita