Pasukan Muda Indonesia, harus mengakhiri kampanye mereka di gelaran Piala Asia edisi tahun 2023 di babak 16 besar. Berjumpa dengan Australia sang langganan Piala Dunia, Marselino Ferdinan dan kolega dibabat habis dengan margin empat gol tanpa balas.
Menyadur laman pssi.org pada 28 Januari 2024, empat gol yang bersarang ke gawang Ernando Ari Sutaryadi diciptakan oleh Empat gol Australia dicetak oleh Elkan Baggott (12' OG), Martin Boyle (45'), Craig Goodwin (89'), dan Harry Souttar (90+1').
Jika melihat perjalanan Pasukan Garuda di turnamen Piala Asia kali ini, gelontoran empat gol yang diderita oleh Timnas Indonesia merupakan yang terbesar. Pasalnya, di tiga laga sebelumnya, anak asuh Shin Tae Yong tersebut paling banter hanya kebobolan tiga gol, yakni kala bersua dengan Irak di partai pembuka, dan saat bertarung melawan Jepang di pertandingan terakhir babak penyisihan grup.
Namun, meskipun harus terbantai di pertandingan terakhir melawan Australia, tak lantas membuat para pasukan Garuda hilang kebanggaan. Meskipun harus tersingkir dan pulang ke tanah air, skuat Garuda haruslah pulang dengan kepala tegak, bukan menunduk seperti halnya mereka yang menjalani turnamen dengan buruk.
Torehan sejarah untuk kali pertama lolos ke babak 16 besar gelaran, akan selalu membawa kebanggaan bagi para pencinta sepak bola nasional, dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Tak ada alasan bagi para pemain Timnas Indonesia untuk pulang menunduk, karena apa yang telah mereka capai, sudah sangat lebih dari cukup untuk sekadar dibanggakan.
Tak hanya pulang membawa kebanggaan lolos ke fase gugur, Pasukan Merah Putih juga harus pulang dengan tegap karena sukses menampilkan permainan terbaik. Melawan tim-tim yang relatif mapan di persepakbolaan benua Asia, Timnas Indonesia sama sekali tidak minder, dan cukup bisa memberikan perlawanan kepada mereka.
Jadi, mengapa harus pulang dengan menunduk? Toh, apa yang telah ditunjukkan oleh mereka, apa yang telah dicapai oleh mereka, nilainya jauh lebih besar daripada hasil pertandingan kontra Australia di babak 16 besar lalu.
Lagian, meskipun di pertarungan melawan Australia Timnas Indonesia kena bantai empat gol, namun permainan yang ditampilkan oleh Asnawi Mangkualam Bahar dan kolega benar-benar berkelas, dan sama sekali tak menunjukkan tim dengan peringkat dunia 140an FIFA.
Jadi, tetap tegakkan kepala kalian wahai para penggawa Garuda! Karena pendukung sejati kalian telah berbangga hati dengan apa yang kalian perjuangkan!
Baca Juga
-
Sudah Bisa Ditebak! Ini Daftar Pemain Naturalisasi Malaysia yang Mulai Eksodus ke JDT
-
Tak Dipungkiri, Asnawi Mangkualam adalah Bek Kanan Terbaik Indonesia Namun Muncul di Waktu Salah
-
Piala Presiden 2025 dan Gambaran Kualitas Timnas Indonesia jika Menuruti Kata Warganet
-
Penambahan Kuota Pemain Asing, dan Makin Terpinggirkannya Talenta Indonesia di Rumah Sendiri
-
Soroti Kebijakan Baru PSSI, Media Vietnam: Mengejutkan dan Mencekik Pemain Lokal!
Artikel Terkait
-
Dapat Tawaran untuk Latih Negara Lain, Shin Tae-yong Pastikan Satu Hal Ini!
-
Link Live Streaming Timnas Indonesia U-20 vs Uzbekistan U-20, Segera Berlangsung
-
Loyal dengan Timnas Indonesia, Shin Tae-yong Yakin Bisa Penuhi Target PSSI
-
Alasan Shin Tae-yong Pilih Loyal dengan Timnas Indonesia daripada Cabut Latih Negara Lain
-
Thailand Jadi Satu-satunya Tim yang Belum Kebobolan di Piala Asia 2023
Hobi
-
Erick Thohir Sebut Sinergi PSSI dan PT LIB Bukan Hanya Formalitas, Mengapa?
-
Stereotip Gender: Futsal Perempuan di Kalangan Gen Z
-
Sudah Bisa Ditebak! Ini Daftar Pemain Naturalisasi Malaysia yang Mulai Eksodus ke JDT
-
Ikhwan Ali Tanamal Ingin Jadi Mesin Gol Persis Solo di Super League 2025/2026
-
Tak Dipungkiri, Asnawi Mangkualam adalah Bek Kanan Terbaik Indonesia Namun Muncul di Waktu Salah
Terkini
-
5 OOTD Boyish Style ala Natty Nantanat, Bisa Buat Hangout Hingga Ngonser!
-
Ulasan Novel Evermore: Kisah Rumit yang Bikin Nyesek Sekaligus Gregetan!
-
Teaser Rilis, Arisu Bertekad Selamatkan Usagi di Alice in Borderland 3
-
Ulasan Novel Matahari Terbenam, Potret Sunyi dari Dunia Pasca Perang
-
Mengajak Kemball Membaca Diri, Kawruh Jadi Payung untuk Tubuh Biennale Jogja 18