Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | M. Fuad S. T.
Pertandingan antara Thailand melawan Jepang di Piala Asia U-20 (the-afc.com)

Dua wakil Asia Tenggara di pentas Piala Asia U-20, yakni Indonesia dan Thailand menuai hasil identik di laga pembuka masing-masing. Menyadur laman AFC, baik Indonesia maupun Thailand, keduanya harus terpuruk ketika mencoba menahan superioritas para lawannya.

Indonesia yang bersua dengan Iran di pertandingan pertama grup C, dibabat habis oleh sang lawan dengan gelontoran tiga gol tanpa balas. Pun demikian dengan Thailand yang tergabung di grup D.

Melawan Samurai Blue Jepang U-20, Pasukan Gajah Perang Muda dihantam oleh sang lawan dengan skor yang sama persis dengan apa yang dialami oleh Indonesia di laga sehari sebelumnya.

Bukan hanya berakhir dengan kehilangan poin di laga perdana masing-masing, kekalahan dua wakil Asia Tenggara di ajang berlevel benua ini juga seolah semakin menegaskan gap level persepakbolaan yang dimiliki oleh tim-tim ASEAN ini dengan kawasan lain yang ada di benua Asia.

Kekalahan telak yang dialami oleh Indonesia maupun Thailand, menandakan bahwa hingga saat ini level persepakbolaan di Asia Tenggara ternyata masih kalah jauh dengan wilayah lain, khususnya Asia Timur maupun Asia Barat yang selama ini memang dikenal sebagai dua kutub kekuatan sepak bola benua Kuning.

Hal ini cukup ironis memang, mengingat baik Indonesia maupun Thailand adalah kekuatan utama persepakbolaan di kawasan ASEAN. Kedua negara ini, bersama dengan Vietnam dan Malaysia yang tak lolos ke putaran final helatan, silih berganti untuk menjadi yang terbaik di kawasan.

Namun sayangnya, superioritas Indonesia dan Thailand tersebut seolah langsung hilang saat bertarung di level yang lebih tinggi. Ketika dihadapkan dengan negara-negara dari kawasan benua Asia lainnya, mereka kerap tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan.

Padahal seharusnya, ajang kelompok umur seperti ini bisa dijadikan sebuah momen pembuktian untuk mengukur level kualitas sepak bola dari kawasan Asia Tenggara. Program-program grassroot yang menyasar bibit-bibit muda di ASEAN, seharusnya dimuarakan di ajang kelompok umur seperti ini, dengan tujuan untuk memangkas gap kualitas sedikit demi sedikit.

Adapun jika hasilnya minor dan tak signifikan seperti ini, tentunya negara-negara ASEAN harus mulai memikirkan cara lain agar kualitas persepakbolaan mereka bisa sejajar atau setara dengan negara lain di benua Asia. Bukankah seharusnya demikian?

Karena jika begini terus menerus, tentunya kualitas sepak bola negara-negara Asia Tenggara akan terus saja tertinggal dari kawasan lainnya. 

M. Fuad S. T.