Pernah dengar berita soal ratusan siswa SMP di Buleleng yang belum bisa membaca, bahkan ada yang belum hafal abjad?
Data terbaru dari survei Undiksha mengungkapkan fakta yang mengejutkan: 43,1% siswa SMP masih berada di level dasar literasi—belum hafal abjad, mengeja terbata-bata, dan sulit memahami kata-kata panjang. Sementara itu, hanya 20,4% yang lancar membaca, tapi kebanyakan masih belum paham isi bacaan mereka.
Fenomena ini mencerminkan masalah besar dalam pendidikan kita. Apalagi di era digital seperti sekarang, muncul istilah brain rot, yaitu kondisi penurunan fungsi kognitif karena konsumsi konten digital cepat dan dangkal secara berlebihan. Generasi Z dan Alfa, yang tumbuh bersama gawai, menjadi kelompok paling terdampak.
Brain Rot: Ancaman Baru Literasi Digital
Menurut Harian Kompas (2025), kelebihan stimulasi konten digital dapat menyebabkan kelelahan otak, penurunan konsentrasi, dan kemampuan berpikir kritis yang melemah. Akibatnya, banyak pelajar kesulitan membedakan informasi benar dan palsu, bahkan lebih rentan terpapar hoaks.
Psikiater Lahargo Kembaren menyebut fenomena ini sebagai “kelelahan kognitif massal”. Pelajar yang seharusnya belajar mendalami konsep malah terbiasa dengan informasi instan yang hanya bersifat permukaan.
Ditambah lagi, data PISA 2022 menunjukkan skor literasi Indonesia mengalami penurunan paling signifikan dalam lima tahun terakhir. Kemampuan berhitung juga tidak kalah memprihatinkan: hanya 7% responden usia 18 tahun yang bisa menyelesaikan soal pecahan sederhana (setara kelas 4 SD) dengan benar, menurut Laporan SMERU 2022.
Pendidikan Indonesia: Kurikulum yang Selalu Berubah
Sejak 2004, kurikulum pendidikan dasar kita sudah berganti berkali-kali:
- 2004 – Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
- 2006 – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
- 2013 – Kurikulum 2013 (K-13)
- 2022 – Kurikulum Merdeka
Pergantian ini sering terjadi setiap ada pergantian menteri, membuat arah pendidikan terkesan tergantung individu, bukan rencana jangka panjang yang konsisten. Padahal, pendidikan seharusnya dibangun di atas fondasi yang stabil.
Perubahan kurikulum setiap pergantian menteri juga mengindikasikan bahwa pendidikan Indonesia masih menjadi kebijakan yang personal dan berdasarkan keputusan subjektif.
Harapan Baru Lewat RUU Sisdiknas
Saat ini, DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini membawa beberapa poin penting:
- Wajib belajar 13 tahun (1 tahun pra sekolah + 12 tahun pendidikan dasar dan menengah).
- Pembiayaan pendidikan dasar yang diwajibkan oleh pemerintah, baik untuk sekolah negeri maupun swasta.
- Aturan ulang kurikulum, tenaga pendidik, dan pembiayaan pendidikan agar lebih merata.
Pandu Ario Bismo, Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), menekankan pentingnya wajib belajar 13 tahun sebagai fondasi akses pendidikan berkualitas dan terjangkau.
Belakangan juga muncul berita bahwa sekolah negeri yang hanya mendapat murid 1 murid saja. Sekolah swasta dianggap lebih baik dan lebih terpercaya, serta memiliki sarana dan prasarana lebih baik. Bukankah ini juga sinyal penting bahwa instansi di bawah Kemendikbud harus berbenah?
Mampukah RUU Sisdiknas Mengatasi Brain Rot?
RUU ini diharapkan jadi langkah awal untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Namun, masalah literasi bukan hanya soal akses sekolah. Diperlukan juga:
- Peningkatan kualitas guru agar mampu menanamkan kemampuan berpikir kritis pada siswa.
- Pendidikan literasi digital agar Generasi Z & Alfa bisa menyaring informasi dan tidak mudah terjebak pada konsumsi konten dangkal.
- Kebijakan konsisten yang tidak berubah setiap pergantian menteri.
Ayo Waspada dan Mulai Bergerak!
Kalau dibiarkan, fenomena brain rot bisa membuat generasi muda Indonesia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif—dua kunci menghadapi era globalisasi.
RUU Sisdiknas bisa jadi momentum penting, tapi kita juga perlu mengawal agar kebijakan ini benar-benar berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan.
Menurut kamu, apa langkah paling efektif agar Generasi Z & Alfa terhindar dari brain rot? Apakah RUU Sisdiknas cukup jadi solusi?
Baca Juga
-
Mengupas Novel The Siren: Sudut Pandang Penulis dan Editor
-
Ulasan Novel Satu Ruang: Antara Cinta yang Baru dan Kenangan Lama
-
5 Alasan Kenapa Kamu Harus Nonton Drama Korea S-Line!
-
Dari Film Sore dan Pelajaran untuk Berhenti Memaksa Orang Berubah
-
Kalau Pemerintah Tegas soal Rokok, Sore Gak Perlu Balik ke Masa Lalu
Artikel Terkait
-
Citra Bad Boy Runtuh? 5 Sisi Lain DJ Bravy, Pria yang Mau Jadi Ayah Anak Erika Carlina
-
Pendidikan Akmil Dipangkas Jadi 3 Tahun, Demi Kejar Setoran Perwira?
-
Belajar dari Eropa, Indonesia Didorong Ciptakan 'Zona Aman' Lewat Kurikulum Anti-Pencabulan
-
Usai Ditertibkan Satpol PP, Perpustakaan Jalanan Ditawari 'Rumah Baru' Pemprov DKI?
-
Dulu Model Majalah Dewasa, Kini Berani Lawan Ancaman: Mengulik Perjalanan Karier Erika Carlina
Kolom
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
Chikungunya Mengintai: WHO Desak Tindakan Darurat Global
-
Sekolah Penggerak: Revolusi Senyap di Kelas atau Sekadar Ganti Kemasan?
-
Bukan Hanya Sekadar Penanda Halaman: Makna Bookmark Bagi Pencinta Buku
-
Mengapa Gen Z Rentan Burnout? Ini Realita yang Jarang Disadari
Terkini
-
Futsal: Tak Sekadar Olahraga, Tapi juga Penyambung Kenangan Gen Milenial
-
AXIS Nation Cup: Membakar Semangat Futsal, Melahirkan Bintang Masa Depan
-
Posisi di Futsal, Saat Semua Punya Peluang untuk Unjuk Gigi di Lapangan
-
Ditargetkan Rilis Tahun Depan, Syuting Film Evil Dead Burn Resmi Dimulai
-
Resmi Tayang, The Fantastic Four: First Steps Tuai Pujian Penonton Bioskop