Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Potret Main Olahraga Padel (Instagram/ padelfellas.id)
Athar Farha

Tren olahraga selalu datang silih berganti, tapi nggak semuanya mampu menembus lintas generasi dan budaya. Di Indonesia, belakangan ini muncul satu nama yang semakin sering terdengar, yakni Padel. 

Bagi sebagian orang, padel mungkin masih terdengar asing. Namun bagi generasi Z, olahraga ini perlahan berubah jadi gaya hidup baru. Bukan sekadar raket dan bola, melainkan sebuah statement sosial yang membungkus olahraga dengan estetika, kebersamaan, dan identitas.

Padel sendiri lahir pada tahun 1969 di Puerto de Acapulco, Meksiko, ketika Enrique Corcuera memodifikasi halaman rumahnya menjadi lapangan olahraga dengan dinding dan raket khusus. Konsep sederhana ini kemudian dibawa ke Spanyol oleh temannya, Alfonso de Hohenlohe, yang mendirikan lapangan pertama di Marbella pada 1974. Dari sana, padel menyebar ke kalangan bangsawan Spanyol dan kemudian meluas ke Argentina pada 1980–1990an, di mana olahraga ini benar-benar meledak popularitasnya.

Pada awal 2000-an, padel berkembang pesat di Eropa, terutama di Spanyol yang kini jadi negara dengan jumlah pemain padel terbanyak di dunia. Menurut laporan Padel FIP, padel kini menjadi cabang olahraga dengan pertumbuhan tercepat secara global. Di Spanyol bahkan sudah melampaui tenis dalam jumlah pemain aktif.

Fenomena global itu akhirnya masuk ke Asia, termasuk Indonesia. Di Bali, lapangan padel bermunculan sejak beberapa tahun lalu. Jungle Padel berkembang menjadi jaringan besar dengan lima lokasi. Jakarta nggak ketinggalan, dengan puluhan lapangan baru hasil investasi swasta. Kini jumlah lapangan padel di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 130 unit, sebagian besar terkonsentrasi di Jakarta dan Bali. 

Memang olahraga padel sejak awal dirancang untuk bersosialisasi. Nggak seperti tenis yang bisa dimainkan tunggal, padel hampir selalu dimainkan berpasangan. Hal ini menciptakan interaksi langsung antar pemain, baik dalam satu tim maupun lawan. Dengan lapangan yang relatif kecil, komunikasi verbal dan nonverbal menjadi kunci. Inilah yang membuat padel terasa akrab, hangat, dan lebih menyenangkan.

Bagi Gen Z, aspek sosial ini menjadi daya tarik utama. Generasi yang tumbuh dengan smartphone dan media sosial seringkali stereotipnya sebagai ‘generasi kesepian’ karena interaksi lebih banyak terjadi di layar. Nah, padel menawarkan kebalikannya, yakini ruang nyata untuk tertawa bersama, bersorak, bahkan bercanda saat bola gagal dipukul. Ada kedekatan emosional yang nggak bisa digantikan chat group atau video call.

Selain faktor sosial, padel juga unggul di sisi estetika. Lapangan yang modern, pencahayaan yang rapi, serta raket dengan desain unik menjadikan olahraga ini sangat ‘Instagrammable’. Hampir setiap kali seseorang mencoba padel, konten akan muncul di media sosial. Mulai dari video slow motion bola memantul di kaca, pose bersama tim di tengah lapangan, atau sekadar boomerang saat servis.

Di sini, gen Z, generasi yang hidup dalam dunia visual, menemukan padel sebagai wadah ekspresi. Menjadikannya aktivitas olahraga yang nggak cuma tentang keringat, tapi juga tentang shareability. Bermain padel menjadi cara menunjukkan diri, membangun personal branding, dan tentu saja, menghindari FOMO (fear of missing out).

Fenomena padel di Indonesia nggak mungkin berkembang tanpa komunitas. Klub-klub padel seperti Rich Padel di Jakarta atau Graha Padel Club di Surabaya jadi titik temu generasi muda yang haus interaksi. Banyak klub mengadakan open play, di mana siapa pun bisa mendaftar tanpa harus membawa tim sendiri. Pemain pemula bisa langsung bertemu dengan yang lebih mahir, menciptakan dinamika cair yang sangat sesuai dengan nilai-nilai Gen Z, yakni inklusif, kolaboratif, dan anti-hierarki.

Di sisi lain, komunitas padel juga membuka peluang baru bagi ekonomi kreatif. Sesi latihan bisa dikemas menjadi event, turnamen mini, atau bahkan festival dengan musik dan makanan. Merchandise padel mulai bermunculan, dari apparel, raket custom, hingga aksesori. Bagi Gen Z yang punya jiwa entrepreneur, padel jelas jadi pasar yang menjanjikan.

Meski demikian, nggak bisa diabaikan padel masih berstatus sebagai olahraga urban dengan biaya relatif tinggi. Sewa lapangan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per jam, belum termasuk raket dan bola yang mayoritas masih impor. Hal ini menimbulkan kesan eksklusif, seolah-olah padel hanya untuk kalangan menengah ke atas di kota besar.

Pertanyaannya, apakah padel akan benar-benar menjadi olahraga massal untuk Gen Z Indonesia, atau hanya berhenti sebagai tren gaya hidup segelintir kelompok? Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana komunitas dan investor membuka akses ke kota-kota lain, menekan biaya, serta menjaga agar inklusivitas tetap terjaga.

Terlepas dari itu, padel sedang membentuk tatanan sosial baru untuk Gen Z dan sepertinya akan semakin menjamur di kemudian hari. Apakah Sobat Yoursay suka olahraga padel juga? Share pengalamanmu, yuk!