Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Zahrul
Ilustrasi PNS bekerja. (Antara)

Setelah sempat absen pada tahun 2020 kemarin, penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dilaksanakan pada tahun 2021. Berdasarkan data yang dihimpun dari laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementrian PAN-RB), per tanggal 7 April 2021, terdapat 56 kementerian dan lembaga yang terdiri dari 69,684 dengan rincian 61.129 formasi kementerian dan lembaga.

Pada level pemerintah daerah terdapat 34 pemerintah provinsi dan 504 pemerintah kabupaten dan kota dengan formasi CPNS ditetapkan sebanyak 84.282 formasi. Diadakannya kembali penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun ini tentunya menjadi kesempatan yang baik bagi masyarakat khususnya generasi milenial untuk berknotribusi kepada negara dan mengabdi memberikan pelayanan masyarakat.

Penerimaan pada tahun ini bisa dikatakan sebagai bagian dari rangkaian estafet dari generasi X kepada generasi Y atau generasi milenial. Mengapa demikian? Jika dilihat dari salah satu syarat umum CPNS 2021 adalah setiap Warga Negara Indonesia (WNI) bisa melakukan pendaftaran dengan batas usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun ketika melamar, serta batas usia tertinggi 40 tahun untuk beberapa formasi tertentu.

Jika kita berangkat dari pengkategorian generasi menurut Badan Pusat Statistik (BPS), maka generasi Y atau milenial adalah mereka yang lahir pada tahun 1981-1996 atau perkiraan rentang usia pada tahun 2021 ini adalah mereka yang berusia 25-40 tahun. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pendaftar CPNS 2021 akan didominasi oleh generasi milenial. Namun, apakah Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan kedatangan generasi milenial di dalam formasi PNS? Apakah pemerintah sudah menyadari bahwa berbeda generasi, maka berbeda pula perlakuannya? 

Saat ini, generasi Y atau yang selanjutnya akan disebut dengan generasi milenial, sering dijuluki sebagai “kutu loncat”. Mengapa demikian? Julukan tersebut diberikan karena mereka dianggap tidak setia dengan satu pekerjaan dan cenderung untuk berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Anggapan tersebut bukan hanya istilah belaka, tetapi merupakan sebuah fakta yang memang terjadi di lapangan.

Pada tahun 2017, sebuah platform komunitas seputar karir, Jobplanet Indonesia, melaksanakan survey mengenai tingkat kesetiaan karyawan dari generasi X, Y, dan Z di dunia kerja. Berdasarkan hasil survei tersebut didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara generasi Y dengan generasi X.

Terdapat hampir satu pertiga atau 30,2 persen responden Generasi Y bekerja di tempat yang sama selama satu tahun dan hampir setengah atau 46,5 persen dari mereka bekerja dua tahun di sebuah tempat. (Rentjoko, 2017). Sebelum kita terlalu berburuk sangka melihat hasil survei tersebut, mari kita membahas fenomena tersebut berdasarkan kriteria dari generasi milenial.

Menurut PricewaterhouseCoopers sebagaimana dikutip dalam Mayangdarastri & Khusna (2020) dalam jurnalnya yang berjudul “Retaining Millennials Engagement and Wellbeing Through Career Path and Development”, loyalitas pekerja milenial mengartikan bahwa organisasi memberikan pekerjanya dengan peluang, pengembangan professional, serta memberikan pelatihan disertai pembinaan dan pendampingan.

Generasi milenial menghargai loyalitas dalam sebuah perspektif yang lebih luas. Selain itu, generasi milenial lebih mengutamakan keseimbangan kerja dengan tujuan dan minat pribadi. Para milenial berkeinginan akan lingkungan yang fleksibel dengan banyak pengembangan karir yang lebih baik dan lebih cepat.

Generasi milenial percaya pada hubungan timbal balik. Mereka tidak memiliki komitmen untuk apapun, kecuali mereka menemukan minat pribadi dalam suatu organisasi. Generasi milenial memiliki harapan kepada atasannya untuk memberikan bantuan dalam rangka mencapai tujuan pribadinya sebagai bentuk imbalan atas komitmen dan perilaku emosional terhadap organisasi (Jha et al., 2019 dalam Mayangdarastri & Khusna, 2020).

Kaum milenial berpendapat jadwal kerja yang fleksibel mengartikan bahwa pekerjaan tidak diukur dari waktu yang mereka habiskan untuk bekerja. Hal terpenting adalah perihal apakah pekerjaan sudah selesai dan yang diminta dari tujuan pimpinan tercapai. (Putriastuti & Aless, 2019 dalam Mayangdarastri & Khusna, 2020).

Lalu, bagaimana kesiapan instansi pemerintahan dalam menyambut generasi milenial? Saat ini berbagai instansi pemerintahan di Indonesia telah menerapkan peraturan-peraturan untuk meminimalisir loncatan-loncatan dari si “kutu loncat”.

Secara nasional, pemerintah melalui Kementerian PAN-RB menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2019.

Peraturan tersebut mengatur bahwa pelamar diwajibkan untuk mengabdi dan tidak mengajukan pindah dari instansi yang mereka pilih pada saat pendaftaran dengan alasan apapun paling singkat selama 10 tahun sejak Terhitung Mulai Tanggal (TMT) PNS. Selain itu, ketika peserta sudah dinyatakan lulus dan tetap mengajukan pindah, maka mereka dianggap mengundurkan diri.

Sanksi berbeda diberikan ketika peserta sudah dinyatakan lulus seleksi tahap akhir dan mendapat persetujuan Nomor Induk Pegawai (NIP) lalu mengundurkan diri, maka peserta tersebut dilarang mendaftar pada penerimaan Pegawai Negeri Sipil berikutnya.

Pada level kementerian salah satu contohnya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri bagi para CPNSnya melalui Pengumuman/00008/KP/11/2019/24/03 tentang Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Luar Negeri Tahun Anggaran 2019, poin X nomor 10 yang mengatur bahwa setiap peserta yang telah dinyatakan lulus hingga tahapan seleksi akhir, tetapi mengundurkan diri dijatuhi sanksi berupa mengganti biaya yang telah dikeluarkan panitia sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk disetorkan kepada Kas Negara sesuai dengan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Pejabat Dinas Luar Negeri Diplomatik dan Konsuler, serta ketika mereka sudah mendapatkan persetujuan Nomor Induk Pegawai, mereka tidak diperbolehkan mendaftar penerimaan PNS pada periode berikutnya.  

Tidak hanya itu, pada instansi pemerintahan daerah juga menerapkan sanksi bagi para CPNS yang mengundurkan diri. Salah satu contohnya adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Pemprov Kalimantan Selatan membuat peraturan bagi peserta yang sudah dinyatakan lulus tahap akhir seleksi pada instansi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan sudah mendapat NIP kemudian mengundurkan diri, maka wajib membayar ganti rugi sebesar Rp100 juta ke kas daerah. (Aria, 2019).

Melihat berbagai peraturan di atas agaknya sudah cukup dalam mengimbangi karakter generasi milenial yang sering berpindah-pindah tempat pekerjaan. Pada satu sisi peraturan tersebut memang mengandung harapan untuk mempersempit kemungkinan para milenial untuk berpindah-pindah pekerjaan, tetapi bagaimana ketika kita berbicara dari sudut pandang karakter milenial itu sendiri apakah peraturan tersebut tidak berpotensi berdampak negatif?

Jika kita kilas balik mengenai karakteristik milenial yang telah dibahas sebelumnya, instansi pemerintahan sudah seharusnya mempertimbangkan karakteristik dari seorang milenial. Contohnya adalah instansi pemerintahan diharapkan mengubah budaya kerja menjadi lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku.

Instansi pemerintahan juga harus menyadari, meskipun generasi milenial mementingkan penyelesaian pekerjaan yang diberikan atasan, hal itu bukan berarti mereka bisa semata-mata hanya bekerja dengan menerima perintah. Namun, generasi milenial membutuhkan pendampingan, pelatihan, dan pengembangan di pekerjaan mereka.

Minat pribadi dari PNS milenial juga harus diperhitungkan, karena ketika mereka sudah menemukan minat mereka di instansi tempat mereka bekerja, bukan tidak mungkin loyalitas mereka akan meningkat begitupun dengan kinerja mereka. Perlu diingat juga, generasi milenial haus akan umpan balik. Oleh karena itu, diharapkan instansi senantiasa memberikan umpan balik secara berkala agar mereka tau apa yang masih kurang dari diri mereka. 

Jika kita melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur seorang PNS, rasanya memang peraturan yang ada telah mengarah pada tujuan untuk mengakomodasi milenial. Sebut saja pengembangan karier dan pengembangan kompetensi yang telah diatur secara lengkap di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang bisa dimaknai sebagai sebuah umpan balik yang didapatkan pegawai atas kinerja yang telah diberikan. Namun, apakah pelaksanaannya dalam memperlakukan generasi milenial kelak akan seapik rangkaian kata di dalam sebuah peraturan? hanya waktu dan pengalaman yang akan bisa menjawabnya.

Sepuluh tahun bukan merupakan waktu yang singkat bagi seseorang untuk berada di lingkungan yang sama. Meskipun terdapat kemungkinan PNS untuk berpindah departemen di dalam sebuah instansi, apakah hal tersebut dapat menyelesaikan permasalahan akarnya adalah instansi itu sendiri. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, instansi harus melakukan perubahan untuk membuat pegawainya nyaman dan tidak menurunkan loyalitas.

Menjadi sebuah catatan penting, perbedaan generasi membutuhkan perbedaan perlakuan juga. Hal tersebut sejalan dengan penelitian seorang ahli saraf dari Universitas California, Los Angeles, Henry Small, bahwa terdapat perubahan signifikan pada fungsi otak antar generasi atau biasa disebut “celah otak”. (Mayangdarastri & Khusna, 2020).

Perlakuan dan peraturan yang selama ini diterapkan kepada generasi X yang ada di dalam instansi bisa saja tidak lagi relevan bagi para milenial. Instansi pemerintah harus memikirkan terobosan-terobosan baru untuk memperlakukan generasi milenial.

Akhir kata, sudah sepatutnya instansi pemerintahan tidak hanya sebatas membuat peraturan yang begitu ketat untuk membatasi pergerakan milenial, tetapi juga memikirkan kehidupan milenial di dalam instansi sesuai dengan karakteristik para milenial.

Hal tersebut nantinya akan menguntungkan kedua belah pihak baik instansi maupun pegawai milenial. Pada satu sisi milenial akan merasa nyaman bekerja di sebuah instansi dan dapat memaksimalkan kinerjanya serta meningkatkan loyalitas mereka. Pada sisi lain, kinerja yang maksimal dari pegawai milenial akan menguntungkan dan memudahkan instansi dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.

Referensi

  • Aria, P. (2019, November 25). Ada Denda bagi CPNS yang Mengundurkan Diri, Begini Ketentuannya. Katadata.Co.Id. https://katadata.co.id/pingitaria/berita/5e9a4c54a1cf0/ada-denda-bagi-cpns-yang-mengundurkan-diri-begini-ketentuannya
  • Mayangdarastri, S., & Khusna, K. (2020). Retaining Millennials Engagement and Wellbeing Through Career Path and Development. Journal of Leadership in Organizations, 2(1), 42–48. https://doi.org/10.22146/jlo.46767
  • Rentjoko, A. (2017). Sebagai kutu loncat, karyawan Gen X disalip Gen Z. Lokadata.Id. https://lokadata.id/artikel/sebagai-kutu-loncat-karyawan-gen-x-disalip-gen-z

Zahrul

Baca Juga