Belakangan ini, beredar video orang-orang yang tengah menyerbu tumpukan susu beruang atau Bear Brand di suatu pusat perbelanjaan. Alasan maraknya individu yang membeli susu itu karena dipercaya dapat menjaga kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit.
Namun, para ahli mematahkan klaim tersebut, dan menyebutkan bahwa produk susu lain yang dijual di pasaran juga sama sehatnya dengan susu beruang Bear Brand. Lalu, mengapa banyak orang menganggap susu beruang satu ini yang paling sehat?
Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat melalui teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Peter L. Berger. Dalam teorinya, Berger menyebutkan bahwa tindakan dan interaksi yang dialami bersama oleh individu secara terus-menerus akan menciptakan realitas sosial.
Hal ini berarti bahwa kebenaran dan realitas yang kita lihat setiap hari adalah sebuah pondasi bangunan yang dibangun secara bersama. Dengan pandangan Berger, kita juga dapat melihat bagaimana label sehat di susu Bear Brand ini dibangun. Untuk menggali lebih dalam, proses konstruksi sosial terbagi atas 3 elemen, yaitu: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Pernahkah Anda dijejalkan suatu produk oleh kerabat terdekat Anda karena klaimnya yang menyehatkan? Jika pernah, ini adalah komponen pertama yang membentuknya, yaitu eksternalisasi.
Eksternalisasi adalah sebuah proses individu dalam melihat realitas sosial yang sesuai dengan subjektif dirinya. Pembawaan dan pengiklanan dari susu Bear Brand menjadi sebuah gambaran awal yang dilihat dan dimaknai oleh setiap orang secara subjektif. Artinya, penggambaran susu Bear Brand dimaknai dengan cara yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Realitas subjektif yang terdapat di benak individu pun ikut terbentuk. Akibatnya individu mengonsumsi produk dengan sebuah penanaman ide bahwa produk susu ini benar-benar menyehatkan bagi mereka.
Pada saat sekelompok orang merasa lebih sehat dengan meminum susu ini, makna realitas pada kelompok masyarakat pun terbentuk, ini juga disebut dengan makna kolektif. Orang-orang yang sehat karena susu ini pun akhirnya menganggap benar bahwa susu beruang dapat menyehatkan.
Dalam situasi krisis naiknya kasus positif Covid-19 di Indonesia pada saat ini, masyarakat dengan mudah mempercayai informasi-informasi yang disebarkan oleh orang lain. Dengan sosialisasi, banyak orang yang akhirnya juga mengamini ide bahwa susu beruang itu menyehatkan.
Ketika semakin banyak orang yang mempercayainya, terbentuklah elemen kedua dari teori ini, yaitu objektivasi. Objektivasi adalah proses ketika realitas sosial lepas dari diri individu dan menjadi kenyataan sosial itu sendiri.
Dalam proses objektivasi ini, klaim produk Bear Brand sebagai susu sehat dianggap benar dan realitas ini menjadi kebenaran bersama di masyarakat. Ketika suatu hal sudah dianggap sebagai kebenaran bersama, maka hal itu disebut pula sebagai realitas objektif.
Kebenaran bersama yang ada di masyarakat akan ditafsirkan juga oleh individu-individu dalam ruang lingkup sosial, pada akhirnya proses objektivasi juga akan mempengaruhi individu. Proses ini termasuk ke dalam elemen ketiga, internalisasi.
Proses ini juga disebut sebagai cara bagaimana seseorang menginterpretasikan realitas di masyarakat dengan pandangan subjektifnya tersendiri. Ketika produk susu keluaran Nestle ini dipercayai secara kolektif sebagai kebenaran bersama, maka individu-individu lain juga mengadopsi realitas ini karena adanya proses sosialisasi satu sama lain.
Pada akhirnya, dengan teori konstruksi sosial milik Berger, kita dapat memahami lebih dalam kebenaran bersama yang ada dalam fenomena ini.
Susu beruang Bear Brand yang dianggap sebagai susu yang sehat, merupakan sebuah konstruksi sosial bersama yang diyakini sebagai realitas yang objektif. Namun, kebenaran itu pun sekarang digoyahkan dengan fakta bahwa susu Bear Brand tidak berbeda dengan varian produk susu lainnya.
Oleh sebab itu, ketika semakin banyak orang yang memberikan pembenaran terhadap fenomena ini, mungkin saja masyarakat akan mengubah kebenaran bersama bahwa susu Bear Brand tidak se-istimewa yang masyarakat pikirkan sebelumnya.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Sebut LGBTQ jadi Ancaman Negara, Ucapan Sekjen Wantannas Dikecam Koalisi Sipil: Langgar Prinsip HAM!
-
Buntut 'Jalan-Jalan ke Bali', Pengamat Sarankan Pj Bupati Ganti Kadinsos Jika Tak Ingin Kepercayaan Masyarakat Hilang
-
Gibran Tak Lagi Bagi-bagi Susu karena Ditegur? Netizen Timpali Cuitan Hensat: Lagi Sibuk Hapus Postingan Fufufafa
-
Menkop Budi Arie Sebut Koperasi Siap Serap Susu Produksi Lokal Untuk Makan Bergizi Gratis
-
Viral Minimarket Pakai 'Cara Unik' Untuk Hindari Pencurian Susu
Kolom
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
-
Indonesia vs Arab Saudi: Mencoba Memahami Makna di Balik Selebrasi Seorang Marselino Ferdinan
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg