Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Agung
Ilustrasi kelapa sawit. (Antara)

Pertanian dapat Kita artikan sebagai suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam serta pembesaran hewan ternak. Sebagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian. Namun, pertanian hanya menyumbang 4 persen dari PDB dunia.

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan. Pasalnya, sektor-sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia.

Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3 persen penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3 persen dari total pendapatan domestik bruto.

Pada tahun 2020, usia 15 tahun ke atas lapangan kerja yang terbanyak adalah sektor pertanian dan perkebunan (Badan pusat statistik). Ini menjadi bukti bahwa sektor pertanian menjadi penyokong masyarakat untuk memwnuhi kebutuhan hidupnya.

Petani sebagai pelaku utama dalam hal pertanian, yang melakukan budidaya tanaman, mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, sampai dengan memanen hasilnya. Hasil panen bisa digunakan untuk keperluan pribadi maupun dipasarkan. Petani merupakan pelaku utama dalam pembangunan pertanian Indonesia. Petani memiliki peran penting untuk menghasilkan produk pertanian, baik untuk keperluan bahan pangan maupun industri.

Program dan kebijakan pembangunan pertanian yang dijalankan pemerintah saat ini mampu mendongkrak dan berkontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Terbukti dalam kurun waktu empat tahun terakhir, Produk Domestik Bruto (PDB) pada sektor pertanian memang terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.

Selama periode 2013-2017, akumulasi tambahan nilai PDB Sektor pertanian yang mampu dihasilkan mencapai Rp 1.375 Triliun atau naik 47 persen. Bahkan tercatat pada tahun 2018, nilai PDB meningkat tajam mencapai Rp 395,7 triliun dibandingkan Triwulan III tahun lalu yang hanya Rp 375,8 triliun (Badan pusat statistik).

Selain tumbuh positif, peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional juga semakin penting dan strategis. Hal ini terlihat dari kontribusinya yang semakin meningkat. Pada tahun 2014, sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) berkontribusi sekitar 13,14 persen terhadap ekonomi nasional dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 13,53 persen.

Namun, masih banyak masalah yang terdapat dalam pertanian khususnya pada permasalahkan petani dan halangan dalam mengembangkan komoditas yang ada. Serta muncul pula masalah pemanfaatan lahan pertanian yang kadang kala terjadi.  Masalah yang dihadapi petani ini juga merupakan masalah dasar yang harus dievaluasi untuk melakukan pembangunan pertanian.

Berikut adalah berbagai masalah petani Indonesia yang perlu diperhatikan. Pertama adalah masalah permodalan yang seringkali kerap membuat petani putus asa dalam mengelola lahan pertanian mereka. Biaya pupuk dan saprodi yang begitu besar membuat sebagian petani seakan pasrah akan perawatan yang tidak maksimal, belum lagi ketika hasil pertanian yang sedikit akibat perubahan iklim dan serangan organisme penganggu tanaman (OPT) yang menyerang tanaman petani.

Kemudian masalah harga. Masalah harga sering membuat petani merasa rugi dalam membudidayakan tanaman pertanian mereka karena modal yang digunakan dalam perawatan budidaya sampai masa panen sangatlah besar. Dilihat dari penggunaan saprodi dan pembelian pupuk yang begitu besar, ketika harga tidak dapat melampaui dari harapan, maka petani akan rugi dalam proses budidaya. Oleh sebab itu, faktor harga sangat menjadi masalah dalam pertanian, ditambah lagi permainan tengkulak yang memanfaatkan harga murah demi kepentintan profit mereka.

Masalah selanjutnya adalah masalah lahan yang kurang subur sehingga proses budidaya tidak berjalan dengan baik dan berdampak pada hasil panen petani. Lahan yang kurang subur juga mebutuhkan pupuk yang lebih besar karena jika kita mengharapkan unsur hara tanah, maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.

Begitu banyak masalah dalam pertanian. Hal ini mebutuhkan perhatikan khusus dari pemerintah atau pihak yang terkait, karena pertanian sebagai penyokong berdirinya suatu negara dalam kebutuhan ekonomi. Belum lagi masalah politik global pertanian dewasa ini yang semakin membuat negara resah dengan komoditas yang di komersilkan. Bagaimana tidak, perang dagang sudah terjadi saat ini dan negara-negara besar telah melihat bagaimana memanfaatkan negara-negara kecil dalam kebutuhan industri dan ladang korporasi. Kapitalis meraut keuntungan yang besar.

Masalah yang sering muncul di media dan kerap dibahas oleh kelompok akademisi adalah penolakan uni eropa terhadap komoditi sawit Indonesia. Hal itu terjadi secara tiba-tiba dan perlu kita ketahui bahwa komoditi sawit adalah komoditi ekspor yang menyumbang devisa terbesar bagi negara Indonesia.

Lantas bagaimana nasib petani sawit jika komoditas yang dibudidayakannya mengalami masalah antara negara, apakah ada maksud yang lain menganai rencana penolakan ini?

Bukan hanya Indonesia saja yang merasakan dampak ini, namun negara tetangga Indonesia seperti Malaysia ikut merasakan dampak penolakan ekspor sawit ke Uni Eropa. Alasan uni eropa berkedok di bawah isu perubahan iklim dan isu lingkungan.

Namun, Indonesia membuat suatu perencanaan yang sangat seksi dengan melirik biji nikel sebagai kebutuhan industri Eropa. Pemerintah melakukan stop ekspor biji nikel. Bisa dikatakan perang dagang telah terjadi antara Indonesia dan Uni Eropa

Efisiensi penggunaan lahan pada Produksi kelapa sawit dibuktikan Indonesia dengan 9 kali lebih efisien di banding komoditas lain. Penghasil minyak nabati ini membuktikan bahwa komoditi kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati yang paling efisien. Walaupun begitu, salah satu alasan Uni Eropa menolak kelapa sawit Indonesia adalah alasan lingkungan, yaitu deforestasi atau pembukaan lahan baru yang dapat mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati dan satwa.

Namun, ketika kita menganalisis bahwa kebutuhan minyak nabati besar, maka kelapa sawit yang paling membutuhkan lahan sedikit, dibanding bunga matahari. Luas areal 4 lahan penghasil minyak nabati utama dunia (kelapa sawit, kedelai, bunga matahari, dan rapeseed) pada tahun 2016 adalah sekitar 200,5 juta hektare. dari luasan tersebut, 61 persen (212 Hektar) adalah areal kebun kedelai. Sedangkan luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 10 persen

Usai cerita mengenai masalah kelapa sawit, Indonesia mengeluarkan aturan pelarangan ekspor biji nikel dan mineral ke luar negeri. Pelarangan ekspor mineral mentah ini mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Seakan ini adalah balasan atas kebijakan Uni Eropa terhadap komoditas sawit. Oleh sebab itu, Uni Eropa bereaksi dan ingin menggugat Indonesia ke Badan perdagangan dunia atau World Trade Organizazion (WTO).

Industri Eropa merasakan dampak pelarangan ekspor biji nikel. Sebab Eropa mempunyai industri baja yang cukup besar dan nikel sebagai bahan campuran utama karena ketika mengkombinasikan nikel besi dan krom, maka akan menghasilkan besi anti-karat (stenless stell). Biasanya dibuat untuk alat-alat dapur dan peralatan penting lainnya.

Ini menjadi masalah dagang antara Indonesia dan Uni Eropa karena masing-masing negara telah membuat kebijakan mengenai perdagangan Internasional yang dalam peraturannya negara membuktikan keagungan dan ambisinya dalam melawan negara tandingannya maupun sumber masalah dalam kontrak komoditas pertaniannya.

Agung