Ketika kita berambut gondrong mungkin itu tidak heran jika sering dilabeli negatif. Kadang kala, karakter gondrong dianggap sebagai orang yang suka melawan, suka berpenampilan tidak rapi, dan perbuatannya yang ngawur. Umumnya aggapan seperti itu muncul dari golongan masyarakat primitif yang telah terpengaruh dengan dogma lama. Tapi, herannya, anggapan seperti itu bukan hanya dari kalangan masyarakat primitif, melainkan juga datang dari dunia pendidikan yang notabene sebagai pendidik. Hal itulah yang terjadi dan saya rasakan berada di Jurusan Matematika kampus Universitas Sulawesi Barat, kami dilarang gondrong.
Dalam pengalaman saya, sering saya mendengar dari staf Fakultas maupun dosen Matematika bahwa mahasiswa Matematika haruslah berpenampilan rapi. Jurusan Matematika identik dengan mahasiswanya yang setia dan patuh pada aturan, penampilan yang harus rapi termasuk juga menata gaya rambut yang tidak boleh serampangan. Pokoknya dilarang gondrong.
Kenapa dituntut dari awal harus rapi? Katanya sih jurusan Matematika nantinya akan menjadi tenaga pengajar atau akan menjadi pekerja kantoran. Itulah salah satu sebab mengapa saat saya kuliah harus membiasakan dan dituntut dari awal agar bisa tampil rapi dengan gaya yang tak ubahnya sebagai pegawai kantoran.
Saya tidak tahu pasti apakah hal seperti ini juga terjadi di kampus lain. Padahal, kalau di kampus saya, jurusan-jurusan lain tidaklah berlaku aturan demikian. Justru mereka malah bebas-bebas saja. Aturan lain yang tak kalah lucu juga dengan mewajibkan mahasiswa Matematika untuk berpakaian hitam putih pada Senin dan Kamis. Katanya itu adalah kesepakatan dari fakultas, namun mahasiswanya tidak dilibatkan saat diputuskan aturan tersebut. Makin aneh.
Makanya saya biasa dibilangi dari teman-teman yang beda jurusan, “Mahasiswa kok pakai hitam putih seperti anak sekolahan saja.” Yah, mau bagaimana lagi memang begitu faktanya, tapi saya sih slow saja dan tidak ambil pusing juga kok.
Untuk persoalan rambut, terkadang para staf atau dosen membuat persyaratan bahwa mahasiswa laki-laki harus berambut pendek agar bisa ikut mata kuliah yang diampunya. Saya heran karena jurusan lain tidaklah demikian, coba lihat mahasiswa Teknik dan Fisip, tentu tidak asing bagi mereka kalau ada mahasiswa yang berambut gondrong, bahkan itu sudah diidentikan bagi mereka. Yah, saya rasa itu memang tidak pantas untuk dipersoalkan. Mau berambut gondrong atau botak, mau miring sana miring sini terserah, mau model lama atau model baru saya rasa tidak ada yang salah.
Berpenampilan menarik tidaklah bisa menjamin bahwa mahasiswa itu cerdas. Mahasiswa yang berambut gondrong tidak selamanya malas kerja tugas atau mengabaikan kegiatan akademisnya. Mahasiswa Jurusan Matematika juga manusia kok, kenapa malah dibeda-bedakan dengan yang lain dan dilarang gondrong juga ya?
Inilah yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa dalam dunia pendidikan kampus persoalan berpakain dan berambut gondrong itu juga diatur. Saya rasa berambut gondrong adalah bentuk ekspresi dan itu sifatnya privasi. Jika ditinjau, itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seseorang. Kami yang berambut gondrong bukan berarti tidak patuh aturan, tapi kita lebih banyak mempertimbangkan mana aturan yang rasional.
Dengan kondisi demikian, saya mendapatkan nasib buruk di fakultas yang dipandang hanya sebelah mata oleh staf dan juga dosen-dosen. Saya pernah tidak diperbolehkan untuk ikut final hanya gara-gara waktu itu saya tidak mencukur alias berambut gondrong. Alasanya simpel saja “Kalau tidak cukur rambut sesuai dengan panjang maksimal yang telah ditentukan, tidak boleh ikut final, tidak menerima alasan apapun, titik.” Alhasil, nilai saya pun eror meskipun sudah berkoar-koar dengan alasan yang begitu banyak.
Bagi saya, itu jelas-jelas merusak pendidikan kita, dengan tindakan diskriminasi dan juga pembodohan. Menilai orang hanya dari latar belakang atau penampilan, saya rasa itu kesalahan fatal. Penampilan tidak bisa menjamin apakah orang itu baik atau tidak, yang menentukan adalah tindakannya bukan penampilannya. Atau mungkin masih terbawa pengaruh Orde Baru, saat suara-suara orang gondrong sering dibungkam?
Kampanye zaman Orde Baru mengenai orang-orang gondrong itu berjalan secara terstruktur. Bukan hanya dalam dunia pendidikan, bahkan menjadi konsumsi publik bahwa orang gondrong adalah orang-orang pemberontak. Makanya tidak heran, jika sistem pendidikan kita hari ini masih ada rasa-rasa Orde Barunya, kadang kala pihak kampus bersikap otoriter dengan cara mainnya yang halus. Contoh kecilnya yang lain, biasa terjadi dosen dengan semaunya memberikan nilai bukan berdasarkan pada kemampuannya, tetapi karena faktor kedekatan dan kepatuhan pada dosen.
Padahal, para Matematikawan justru mereka rata-rata gondrong. Bayangkan, bagaimana gaya rambut Bapak Aljabar, gaya rambut Bapak Phytagoras, atau coba search di Google tokoh filsuf Matematika pasti banyak muncul foto filsuf Matematika yang gondrong.
Nah, herannya saya kenapa di era modern sekarang ini, justru Jurusan Matematika diidentikan harus rapi dan rambut dilarang gondrong untuk laki-laki. Padahal, mata kuliah yang diajarkan dosen itu adalah pemikiran atau teori dari orang-orang gondrong tersebut. Heran saya, makin aneh saja.
Baca Juga
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Estafet Jokowi ke Prabowo, Bisakah Menciptakan Rekrutmen Kerja yang Adil?
-
6 Alasan Kenapa Banyak Orang Lebih Memilih WhatsApp Dibanding yang Lain
-
6 Pengaturan di Windows yang Dapat Memaksimalkan Masa Pakai Baterai Laptop
-
7 Fitur Keamanan Android yang Bisa Lindungi Data Pribadi Kamu
Artikel Terkait
-
BI Bekali 500 Mahasiswa Jabar Sertifikasi BNSP, Siap Bersaing di Dunia Kerja
-
Apakah Matematika Sebuah Penemuan atau Ciptaan?
-
Profil Melan Ahmad, Mbah Guru yang Viral di TikTok Kini Dapat Penghargaan dari Prabowo Subianto
-
Peduli Lingkungan: Tanggung Jawab Bersama Melalui Gotong Royong
-
Lawan atau Kawan? Cara Menjinakkan Skripsi Tanpa Terlalu Banyak Berpikir
Kolom
-
Sentuhan Guru Tak Tergantikan, Mengapa Literasi Penting di Era AI?
-
Sistem Zonasi Sekolah: Antara Pemerataan dan Tantangan yang Ada
-
Quick Count vs Hasil Resmi Pemilu: Akurasi atau Sekadar Kontroversi?
-
Politik Uang di Pilkada: Mengapa Masyarakat Terus Terpengaruh?
-
Membangun Sikap Kritis dalam Menangkal Ulasan Palsu di Google Maps
Terkini
-
4 Faktor Kerajinan Bambu Masih Eksis
-
Menguak Sisi Gelap Cinta Seorang Ibu, Ulasan Novel Holly Mother
-
3 Rekomendasi Oil Serum yang Mengandung Retinol, Ampuh Atasi Tanda Penuaan
-
Realita yang Menyebalkan dalam Perhaps Mine: Kamu Kerja Apa Dikerjain Sih?
-
Tantangan UMKM Prinxmas, Menyongsong Persaingan di Era Digital