Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad
Ilustrasi Uang (Pexels.com/Steve Johnson)

Beberapa hari yang lalu, bapak menyuruh saya untuk membeli paku sebanyak setengah kilogram. Sebelum saya berangkat, bapak berkata bahwa harganya nanti tak akan sampai Rp 10.000. Saat sampai di toko, saya bertanya kepada salah satu pegawai terkait harga paku sejumlah tadi. Pegawai tadi menjawab bahwa harganya Rp 9.000. Dia lantas mengambilkan pesanan saya tersebut, kemudian memberikannya pada saya. Saya kemudian menyodorkan uang Rp10.000 pada pegawai tersebut lalu ia mengantarkannya pada si kasir (yang juga pemilik toko).

Saya yang masih berdiri menunggu kembalian dibuat bingung oleh kalimat si pemilik toko. Tanpa kesepakatan apa-apa dia tiba-tiba berucap, “Paku setengah kilo, ya? Pas ini uangnya”.

Sang pegawai yang juga menunggu kembalian untuk diberikan pada saya terlihat agak salah tingkah. Mungkin ia merasa sungkan karena informasi yang diberikannya pada saya (pembeli) tak sama dengan informasi dari si pemilik toko. Saya yang tak suka keributan, sekaligus tak suka dengan pemandangan wajah si pemilik toko yang menyiratkan keserakahan hanya menjawab singkat lantas keluar dari toko.

Kisah di atas mungkin sepele, tapi ada hikmah yang bisa diambil darinya. Uang kembalian, bagaimanapun dan berapapun tetap merupakan hak pembeli. Juga merupakan kewajiban bagi penjual untuk memberikannya pada pembeli. Beda lagi ceritanya apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak terkait uang kembalian. Misal, penjual telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari uang kembalian tapi belum juga dapat, kemudian pembeli mengikhlaskan uang kembalian tersebut. Dalam kasus ini, hak pembeli dan kewajiban penjual telah sama-sama gugur.

Namun, jika tidak terjadi kesepakatan seperti termaktub, tentunya hak pembeli dan kewajiban penjual tak bisa disebut gugur begitu saja. Apalagi jika kasusnya seperti yang saya alami di atas, itu merupakan satu bentuk penindasan.

Menurut saya, apa yang dilakukan si pemilik toko tadi sama dengan perbuatan merampok. Penyebabnya jelas, dia mengambil hak orang lain secara paksa. Bila satu orang yang menjadi korban memang jumlah uang yang dirampas sedikit, tapi tentu berbeda lagi jika jumlah korbannya mencapai 100 orang. Jika mau sedikit lebih tidak sopan, si pemilik toko tersebut tak ada bedanya dengan koruptor.

Menyadur dari laman bpkn.go.id, Rizal E. Halim selaku ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan bahwa mengganti uang kembalian dengan permen itu tidak diperbolehkan. Pun demikian dengan kasus uang kembalian disarankan untuk disumbangkan. Dalam hal ini, pihak toko harus menunjukkan legalitas lembaga sosial yang menerima dana sumbangan tersebut. Bila kedua hal itu saja dilarang, lalu bagaimana dengan kasus si pemilik toko yang enggan memberikan uang kembalian tadi?

Sudah pasti hal tersebut lebih dilarang dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran. Bukan semata melanggar hukum tapi juga melanggar etika sosial. Perilaku si pemilik toko tadi tentu akan berpengaruh pada perspektif masyarakat terhadap dirinya. Cepat atau lambat masyarakat akan memandang bahwa dia sering melalukan monopoli perdagangan. Akibatnya masyarakat pun akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan transaksi jual-beli dengannya. “Mending beli di toko lain yang pemiliknya lebih bisa dipercaya," begitu kiranya pikir masyarakat.

Uang kembalian yang jumlahnya sedikit mungkin adalah hal yang remeh bagi kita. Namun, hal tersebut belum tentu berlaku bagi orang lain. Bisa jadi uang kembalian yang jumlahnya sedikit tersebut hendak mereka gunakan untuk menggenapi uang yang mereka pegang guna membeli beras.

Jadi, lebih baik kita belajar untuk tidak memandang hal kecil dengan sebelah mata, karena kita tak tahu maknanya bagi orang lain. Oleh sebab itu, tetap (berusahalah) untuk memberikan uang kembalian meski jumlahnya sangat sedikit. Namun, bila berniat untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak benar, ya udah ambil aja secara paksa!.

Mohammad