Menjelang akhir tahun 2019, virus Covid-19 atau corona acapkali dipandang sebelah mata. Namun, seiring berjalannya waktu ia mulai mengepakkan sayap. Bahkan kini, memasuki pertengahan tahun 2021, covid-19 masih menjadi topik paling banyak disorot di media massa.
Pandemi Covid-19 yang menyerang dunia saat ini, mengharuskan warga dunia untuk saling menjaga jarak, melakukan lebih banyak hal dari rumah, dan lebih memperhatikan kesehatannya.
Jika dideskripsikan dengan kalimat semacam itu, virus ini terdengar layaknya malaikat. Namun, semua memiliki sisi gelapnya masing-masing. Untuk bisa bertahan dan tetap sehat, hal yang paling utama dibutuhkan makhluk hidup terutama manusia tentu adalah makanan.
Di kampungku, sebagian kecil warganya memiliki kebun di halaman belakang rumah. Tetapi, sebagian besar lebih suka membeli lauk pauk untuk sehari-hari di pasar tradisional yang terletak di jantung kota.
Pasar ini adalah pasar terbesar di kotaku. Namanya Pasar Kidul Bangli. Sebelum Covid-19 merajalela, ratusan masyarakat di kotaku bersosialisasi dan beraktivitas di pasar ini. Bisa dibilang, hampir semua masyarakat di kampungku bergantung dengan Pasar Kidul. Entah untuk membeli kebutuhan ataupun mencari mata pencaharian.
Namun di saat pandemi, masyarakat dilarang berkerumun, terutama di Pasar Kidul. Sulit untuk mendapatkan lauk pauk karena kampungku cukup jauh dari jantung kota. Tetapi kami memiliki seorang pahlawan, sehingga masih bisa bertahan hingga saat ini, bahkan di tengah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang terus diperpanjang.
Ia adalah pedagang asongan. Seorang ibu dengan 3 anak yang setiap jam 6 pagi selalu membunyikan klakson motornya sepanjang jalan di kampungku, sebagai tanda bahwa ia telah kembali dari pasar dengan barang dagangannya.
Tentu dengan adanya pedagang asongan dapat mengurangi kerumunan di pasar dan sangat membantu masyarakat di kampungku, untuk mendapat bahan-bahan makanan ataupun sarana sembahyang.
Ia tetap semangat bolak-balik kampung-kota setiap harinya tanpa mengenal hari libur ataupun tanggal merah. Berburu bahan dagangan bahkan di saat orang-orang masih menikmati mimpi mereka. Menjualnya dengan harga terjangkau, bahkan tidak sungkan untuk berbagi lauk pauk pada nenek yang sering datang terlambat karena kesulitan berjalan.
Walau tidak berpitakan merah-putih dan membawa tombak, tetapi keikhlasan dan pengorbanannya untuk warga di kampung sudah menjadikannya sebagai pahlawan bagi semua warga. Ya, Pahlawan untuk Sekampung.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Tragedi Sunyi Pendidikan Indonesia: Saat Nikel Lebih Viral dari Siswa SMP Tak Bisa Baca
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
Terkini
-
Ulasan Lagu Answer oleh ATEEZ: Pesan Kuat dari Perjalanan Mencari Jati Diri
-
Tragisnya Pemain Keturunan Malaysia, Dinaturalisasi Hanya untuk Bermain di JDT!
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
-
Debut 23 Juni, THEBLACKLABEL Perkenalkan Member Grup Co-ed ALLDAY PROJECT
-
Review Film Love and Leashes, Eksperimen Cinta yang Unik di Dunia Kerja