Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Melynda
Ilustrasi Peduli Lingkungan (pixabay)

“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Siapa yang tidak mengetahui kutipan populer dari Bung Karno tersebut? Pernyataan itu seakan-akan telah tertanam dalam sanubari para pemuda Indonesia.

Saya percaya bahwa anak muda mampu membawa perubahan kepada lingkungan di sekitarnya, termasuk alam. Sebut saja, ada Greta Thunberg sebagai salah satu tokoh pergerakan perubahan iklim (climate change). Bagaimana ia berhasil menggetarkan hati nurani dunia untuk segera sadar atas penurunan suhu global (global warming).

Serta banyak ‘aktor’ muda lainnya yang juga mampu membangkitkan gairah peduli lingkungan. Tetapi, dibalik pengaruh positif pengaruh pemuda, ada kontradiksi terkait gaya hidup yang nyatanya justru mempercepat kerusakan bumi. Mengapa bisa begitu?

Kita lihat saja, di era teknologi saat ini, gawai (gadget) sudah menjadi kebutuhan utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya membawa manfaat luar biasa akan kemudahan beraktivitas.

Sayangnya, di balik sisi kelebihan, pasti adapula kekurangan yang justru menjadi bumerang. Misalnya saja, saat melamar pekerjaan. Jika dahulu kita membutuhkan berlembar-lembar kertas folio dan map coklat.

Saat ini, kita hanya perlu mengandalkan kekuatan akses internet melalui pengiriman surel (email). Dengan dalih menghentikan laju penebangan pohon di hutan, mengirim email juga bisa merusak lingkungan.

Disadur dari Daily Mail, setiap email yang dikirim diduga bisa meningkatkan kadar CO2 di atmosfer sebesar 4 gram. Apabila dibandingkan, jika setidaknya kita mengirim 65 email, akan setara dengan karbondioksida yang dihasilkan saat mengendarai mobil sejauh satu kilometer.

Itu hanyalah satu contoh dampak buruk dari kegiatan dengan mobilitas tinggi. Lalu bagaimana agar keinginan untuk sedikit mengurangi efek peristiwa kehancuran bumi oleh perubahan iklim, dibarengi dengan tindakan terbaik?

Mengutip pernyataan Johann Wolfgang von Goethe, “Mengetahui saja tidak cukup, kita harus menerapkan. Keinginan saja tidak cukup, kita harus melakukan.” Maka, mencari dan memikirkan solusi diikuti dengan aksi adalah salah satu jawaban terbaik menghadapi krisis iklim bagi generasi muda.

Menanamkan dan Membekali Diri Akan Ilmu Terkait Krisis Iklim

Anak muda selalu berorientasi erat dengan golongan yang memiliki rasa ingin tahu tinggi dan berada dalam tahap mencari jati diri. Anak muda dapat diibaratkan sebagai tanah liat yang akan terbentuk sesuai kondisi lingkungan sekitar. Hal itu membentengi anak muda dengan ilmu pengetahuan sejak dini akan meningkatkan peranannya mengatasi ancaman perubahan iklim. Karena sesungguhnya, anak muda itu khawatir dengan krisis iklim yang secara perlahan sedang menggerogoti kehidupan.

Hal ini juga disetujui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yayasan Indonesia Cerah bersama Change.org, menyatakan bahwa sekitar 90% anak muda (usia 20-30 tahun) merasa takut akan dampak krisis iklim.

Selain itu, 97% diantaranya mengemukakan bahwa dampak krisis iklim bisa lebih parah daripada pandemi COVID-19. Kekhawatiran tertinggi oleh kaum muda ialah dampak meliputi krisis air bersih, kekurangan bahan pangan, dan penyebaran wabah penyakit. Bahkan 19 dari 20 orang responden meyakini ulah manusia sebagai pemicu utama krisis iklim.

Oleh karena itu, pendidikan dirasa mampu menjadi fundamental kekuatan para pemuda untuk lebih aktif menyuarakan isu iklim. Sasaran utama akan hal ini tentunya diawali dari lingkup keluarga. Orang tua harus mulai sadar bahwa apabila dibandingkan zaman sekarang dengan era mereka saat muda, pastinya telah berbeda.

Jika dahulu tidak ada gejala bumi yang ‘sakit’, justru saat ini dunia sedang dilanda kekacauan, sehingga memberikan pemahaman kepada anak terkait kegiatan positif yang bermanfaat bagi alam mutlak diperlukan. Diawali dengan melakukan hal-hal sepele, misalnya memilah sampah dan membuang sampah pada tempatnya.

Menumbuhkan rasa cinta terhadap alam juga dapat dimulai dari rasa keprihatinan. Tatkala melihat sampah berserakan, pesisir pantai tenggelam karena banjir rob, dan sebagainya. Anak muda akan tergerak hatinya melakukan perubahan, misalnya menjamurnya kegiatan penanaman mangrove oleh mahasiswa, aksi bersih-bersih pantai, serta masih banyak yang lainnya.

Sementara itu, penduduk Indonesia dikenal menjunjung tinggi religiusitas. Dapat memaksimalkan peran tokoh agama dalam menyebarkan ajaran peduli lingkungan. Karena tidak hanya manusia dengan jutaan pengikut di media sosial saja yang bisa bertindak. Keberadaan tokoh agama diyakini juga mampu menjadi pemacu anak muda untuk terus menggelorakan cinta lingkungan.

Di sisi Pemerintah, sudah sepatutnya jika mulai saat ini kegiatan belajar mengajar disisipi kurikulum berbasis lingkungan. Misalnya dalam kegiatan jelajah ekstrakurikuler pramuka, harus diajarkan memanfaatkan sumber daya tanpa merusak alam.

Dengan kolaborasi dan harmonisasi peran keluarga serta Pemerintah, saya percaya bahwa kita akan mampu mendorong tercapainya cita-cita anak muda melawan krisis iklim. Setelah mengetahui pentingnya pemahaman dasar terkait lingkungan.

Lantas, langkah selanjutnya ialah menjawab persoalan bagaimana cara mengoptimalkan peran generasi muda. Sebagaimana meminjam perkataan dari Gaeni Budingsih Istira, Koordinator Koprol Iklim (Komunitas Pemuda dan Pemudi Pro Keadilan Iklim), “Anak muda itu punya daya dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan krisis iklim.”

Optimalisasi Peranan Generasi Muda Atasi Krisis Iklim Melalui ‘Sadari Diri

Sadari Diri adalah sebuah konsep jangka panjang mewujudkan harapan menghadapi krisis iklim oleh kaum muda. Dasarnya ialah menggali rasa kekhawatiran dalam diri anak muda atas nasib bumi beberapa waktu ke depan, dengan cara memanfaatkan fasilitas mumpuni yang tersedia saat ini. Misalnya ialah menggunakan media sosial untuk aktif meneriakkan isu kekeringan, kenaikan suhu air laut, dan segala sesuatu yang berkorelasi dengan dampak perubahan iklim.

Saya ingat betul bahwa teman-teman sebaya begitu giat mengikuti program berbau lingkungan dan cukup aktif pula mengunggahnya di akun sosial media pribadi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari rasa candu pemuda terhadap dunia digital. Berdasarkan hasil penelitian oleh Pew Research Center Study Amerika Serikat, menunjukkan bahwa sebagian besar remaja berbagi informasi terkait dirinya di sosial media untuk mendapatkan perhatian dan membangun citra diri (branding).

Dalam hal ini, Sadari Diri yang berasal dari kalimat menyadari diri-sendiri sudah tumbuh dari benak anak muda kepada lingkungan. Banyak anak muda yang melibatkan dirinya dengan aktivitas ‘mengobati’ krisis iklim.

Selanjutnya yang perlu dilakukan ialah mengarahkan kaum muda ini agar tidak melewati batas koridor tujuan mengkampanyekan permasalahan iklim. Contohnya, tidak jarang saya menemui banyak program penanaman mangrove yang berakhir dengan kegagalan.

Sebab kurangnya pengetahuan dan kepedulian penggerak program rehabilitasi kawasan. Banyak orang yang terlibat dalam reboisasi, tetapi tidak melakukan perawatan tanaman kemudian.

Alhasil, dengan menjunjung tinggi nama ‘cinta lingkungan’, hanya berakhir kepada kesia-siaan. Yang tentunya tidak hanya rugi dari segi ekonomi, waktu, dan tenaga. Tetapi justru alam semakin mengganas, bukannya membaik.

Oleh sebab itu, Sadari Diri, bukanlah sebatas mendongkrak gairah kaum muda untuk mengikuti beragam kegiatan penanggulangan masalah iklim. Namun lebih dari itu, kaum muda harus mau merepotkan dirinya dengan tetap konsisten berjuang hingga akhir.

Sebab, saya percaya bahwa, “jika berani memulai, maka juga harus berani mengakhiri”. Karena segala sesuatu yang dilakukan dengan sunggh-sungguh, akan menyajikan hasil yang memuaskan.

Penutup

Isu persoalan iklim tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Namun ada satu tokoh menarik yang dirasa oleh banyak pihak mampu mengatasi krisis iklim, yaitu anak muda. Kesadaran diri mereka kepada alam terus meningkat seiring berjalannya waktu.

Sayangnya, banyak pula sebagian dari mereka yang berjalan terombang-ambing melewati jalur diluar yang semestinya. Sebagai upaya menghadapi kegoyahan anak muda ini, perlu adanya dukungan dari orang tua dan tindakan dari Pemerintah, khususnya institusi pendidikan.

Selain itu, peranan tokoh agama dan influencer bisa menjadi cara lain memacu kecintaan anak muda kepada lingkungan. Namun, perlu digarisbawahi jika anak muda juga perlu didampingi agar tetap konsisten. Sebab konsistensi adalah kunci utama keberhasilan menghadapi krisis iklim.

Daftar Referensi

Iqbal, J. (2015). Duh, sering kirim email ternyata hasilkan emisi beracun. Liputan 6.

Nugraha, N. (2021). Krisis iklim dan gerakan generasi muda peduli bumi. Mongabay.

Tempo.co. (2013). 4 alasan remaja gemar media sosial. Tempo.

Yayasan Indonesia Cerah. (2020). Survei: 97% anak muda yakin dampak krisis iklim lebih parah dibanding Covid-19. Kumparan.

Melynda