Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Mohammad
Ilustrasi Media Sosial. (Pexels.com/Tracy Le Blanc)

Kuliah Kerja Nyata alias KKN adalah salah satu mata kuliah yang harus dituntaskan oleh setiap mahasiswa sebelum menginjak ke tugas akhir. Selain itu, KKN juga merupakan salah satu bagian dari implementasi tri dharma perguruan tinggi.

Ditempatkan hampir di penghujung masa perkuliahan, KKN memiliki definisi yang berbeda bagi tiap mahasiswa. Ada yang menganggap KKN itu ladang kebermanfaatan diri bagi masyarakat. Ada yang menganggap KKN itu liburan atau refreshing, dan masih banyak definisi lainnya.

Menurut saya, di antara sekian banyak definisi KKN, yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah anggapan bahwa KKN itu tempat untuk cari jodoh. “Bentar-bentar! Jangan keburu suuzan dulu sama pendapat saya ini!”.

Maksud saya gini lho, anggapan bahwa KKN itu tempat cari jodoh mengarah pada perbuatan menjadikan KKN sebagai ladang kesempatan untuk bermesra-mesraan. Ya kalo nggak sering-sering amat sih nggak masalah. Tapi kalau tiap hari, tiap proker, tiap jam dibuat untuk nempel dan manja-manjaan bisa-bisa malah mengundang baku hantam.

Terus, kalau anggapan bahwa KKN itu sering meruntuhkan hubungan (lelaki-perempuan) yang telah dibangun fondasinya cukup lama itu gimana? Lho, itu bukan KKN-nya yang salah, jelas yang salah itu pelakunya. Udah tahu tengah menjalin hubungan, eh...malah suap-suapan sama lelaki atau perempuan lain di tempat KKN.

Mau gimana lagi, emang karakter dasarnya ‘garangan atau garanganwati’; ada kesempatan, ya terobos aja lah. Jadi, mulai sekarang berhenti mengambinghitamkan KKN sebagai penyebab luluh lantaknya sebuah hubungan, baik itu hubungan LDR maupun bukan, oke?

Terlepas dari semua perbedaan definisi KKN tersebut, faktanya KKN memang menyimpan banyak hal. Misalnya KKN bisa mengungkap jati diri seseorang, atau justru sebaliknya, KKN membuat perubahan pada diri seseorang.

Nah, perubahan yang paling umum saya temui adalah perubahan terhadap intensitas membuat story di media sosial, khususnya WhatsApp. Berdasarkan pengamatan saya, terdapat beberapa alasan mengapa mahasiswa tiba-tiba rajin bikin story padahal sebelumnya nggak serajin itu. Berikut beberapa di antaranya:

1. Digunakan untuk laporan

Mungkin terkesan sedikit aneh, tapi memang begitulah adanya. Ketika PPKM diberlakukan, banyak kampus mengubah konsep KKN offline menjadi KKN online. Praktiknya bagaimana? Setiap kampus punya cara yang berbeda-beda.

Disebabkan sistem KKN online ini, DPL alias Dosen Pembimbing Lapangan tidak bisa memantau secara langsung aktivitas mahasiswa yang sedang KKN. Oleh sebab itu, beberapa dari mereka mewajibkan mahasiswanya untuk membuat story ketika sedang menjalankan proker atau melakukan sesuatu yang berbau pengabdian pada masyarakat.

Beberapa DPL bahkan meminta untuk meng-upload aktivitas tersebut di feed media sosial, bukan hanya di story. Semua itu dilakukan sebagai bentuk laporan pada DPL supaya beliau-beliau percaya bahwa mahasiswanya beneran menjalankan KKN. “Hadeehh! Ada-ada saja permintaan DPL yang kadang bikin repot”.

2.  Nggak pernah ngerasain suasana KKN Sebelumnya

Bagi beberapa mahasiswa, KKN bagaikan oase di tengah kebosanan belajar di kelas. Suasana yang mereka rasakan saat KKN, belum pernah mereka dapat di kelas bahkan di kehidupan keseharian mereka.

Hal inilah yang lantas mendorong mereka untuk mengabadikan apa yang terjadi saat KKN ke dalam status WhatsApp. Ciri khas story dari mahasiswa tipikal ini biasanya berupa video ketika bersantai, kumpul-kumpul sambil berbincang bersama teman sekelompok.

Atau kalau nggak gitu berupa foto aktivitas hiburan seperti main UNO, makan-makan, nonton film bersama, dan sebagainya. Teman kalian ada yang seperti ini? Pasti ada! Bila nggak ada mungkin kalian kurang cermat. “Aihhh! Sok tahu banget”.

3. Pencitraan

Percaya atau nggak ini memang benar adanya. Tak sedikit mahasiswa yang bikin story WA kegiatan KKN untuk menunjukkan kepada publik bahwa, “Ini lho saya sekarang sedang melakukan perbuatan mulia, mengabdi pada masyarakat”.

Tipikal yang seperti ini biasanya nggak mau ketinggalan foto bareng perangkat desa, atau foto saat terjun lapangan. Pokoknya dia jadi semangat banget kerja bila ada kamera menghadap dirinya.

Terus, apakah ini sebuah masalah? Ya nggak juga sih. Itu kan hak dia, asalkan pemenuhan hak tersebut juga diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban yang nyata, bukan untuk dibikin bahan story semata.

4. Ikut-ikutan

Kalau yang ini biasanya orangnya agak males bikin story. Dia bikin story karena temen sekelompoknya sepakat untuk bikin semua. Jadi, daripada nanti ada fitnah nggak sedap yang bikin kesolidan kelompok runtuh, dia memilih jalan aman dengan cara ikut-ikutan juga bikin story. Melalui cara tersebut diharapkan kekompakan tetap terjaga dan proker tetap jalan sebagaimana mestinya.

5. Pengen aja

Nah...yang kalau alasannya seperti itu, ada dua kemungkinan. Pertama, karena memang murni dirinya cuma pengen. Kedua, alasan pengen tersebut merupakan kedok untuk menutupi niatnya yang sebenarnya.

Bila disurvei, maka persentase terbesar antara dua kemungkinan tersebut adalah yang kedua. Kendati demikian, bila ada yang beralasan seperti itu, udah mending biarin aja dan nggak usah ditanyain lagi perihal alasan dirinya tiba-tiba rajin bikin story waktu KKN. Yakin! Dia nggak akan mengakui alasannya yang sebenarnya.

Mohammad