Belakangan ini fenomena paham childfree mulai banyak dicari tahu di masyarakat usai influencer seperti Gita Savitri dan Cinta Laura (Clara Kiehl) mengungkapkan keputusannya untuk mengambil langkah tersebut. Tentunya bukan hal spontan, keduanya mengaku telah memutuskannya matang-matang hingga akhirnya muncul gagasan yang mereka pilih tersebut. Bahkan Cinta Laura sendiri mengungkapkan bahwa dirinya lebih memilih untuk mengadopsi anak, dibandingkan harus melahirkan anaknya sendiri, mengingat telah menumpuknya jumlah populasi manusia di bumi.
Beragam reaksi pro kontra pun tidak dapat diabaikan. Generasi muda seperti gen z cenderung lebih mengarah pada pro dengan alasan bumi semakin tidak baik bagi manusia dan apa yang terjadi jika kita terus menumpuk populasinya. Keadaan pandemi seperti sekarang ini menjadi alasan kuat bagi para kaum muda untuk cenderung pro pada fenomena childfree.
Berbeda dengan generasi tua, yang cenderung menyayangkan keputusan tersebut karena beranggapan bahwa hakikatnya sebuah hubungan adalah hadirnya buah hati. Namun tak jarang juga yang kurang menanggapi fenomena ini, "itu keputusan masing-masing", salah satu komentar dari sisi netral yang paling banyak diungkapkan.
Dalam sebuah pernikahan urutan hal-hal yang biasa terjadi adalah bahwa orang bertemu satu sama lain, jatuh cinta, bertunangan lalu menikah. Upacara-upacara atau ritual-ritual adat saat usia kehamilan seperti mitoni dalam adat Jawa, Mangirdak (Batak), dan masih banyak lagi upacara sejenis, menjadi bukti yang jelas bahwa masyarakat sangat mengharapkan pasangan tersebut memiliki anak dan tetap sehat hingga hari kelahiran.
Setelah pernikahan, pasangan biasanya akan menghadapi tekanan untuk berkembang biak dalam beberapa cara. Orang tua dan mertua memperjelas bahwa mereka menginginkan kehadiran seorang cucu. Cara ini dikomunikasikan mungkin langsung atau tidak langsung.
Secara langsung, ada anggota keluarga yang langsung bertanya kepada pasangan tersebut kapan mereka berencana memiliki anak dan yang lain membuat petunjuk yang lebih halus, seperti menanyakan kapan pasangan itu berencana membeli rumah dengan lebih banyak ruang daripada yang mereka miliki sekarang.
Teman-teman sepantaran yang sudah menikah dan hamil atau yang sudah punya anak mungkin juga akan menanyakan pertanyaan serupa tentang punya anak. Intinya adalah bahwa tekanan yang sangat kuat akan diberikan pada pasangan untuk segera memiliki anggota keluarga baru.
Tetapi bagaimana jika pasangan itu memilih untuk tidak memiliki anak? Bukan karena mereka tidak subur. Bukan karena salah satu atau keduanya memiliki beberapa jenis masalah fisiologis yang membuat mereka tidak dapat memiliki anak. Namun faktanya adalah bahwa mereka sepenuhnya mampu menghasilkan tetapi memilih untuk tidak melakukannya.
Saat ini, ada lebih banyak pasangan daripada sebelumnya yang membuat pilihan seperti ini. Bahkan, beberapa dari mereka melakukan operasi untuk membuat diri mereka menjadi tidak subur. Untuk pria, ini hal ini biasa dijalani melalui vasektomi dan untuk wanita, ligasi tuba.
Apakah pasangan ini berarti egois dengan tidak memiliki anak? Mengapa mereka membuat pilihan seperti itu? Apa yang memotivasi mereka? Bukankah menikah berarti ingin punya anak? Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti banyak sekali bermunculan, mengingat fenomena childfree yang masih sering dianggap tabu di masyarakat.
Dilansir dari Mental Help, salah satu alasan yang paling rentan adalah percaya bahwa hidup tanpa anak dipilih karena pasangan tersebut menganggap diri mereka tidak layak menjadi orang tua. Misalnya, mereka mungkin mengalami terlalu banyak depresi atau penyakit mental untuk membesarkan keluarga dengan aman. Atau, mereka mungkin memiliki masalah kecanduan yang serius, temperamen yang mudah marah, dll.
Sementara beberapa orang mungkin membuat pilihan ini karena mereka tahu bahwa mereka tidak layak untuk membesarkan anak-anak, bagi sebagian besar orang keputusan ini sering juga disalah tangkap. Alih-alih menyebut tidak layak, mereka justru mampu menjadi orang tua yang luar biasa. Mereka memiliki banyak uang, kesabaran, kepercayaan diri, kehangatan, dan cinta untuk membesarkan anak-anak yang bahagia. Namun mereka memilih untuk tidak melakukannya. Hal ini disebut egois atau tidak, lagi-lagi semua kembali kepada masing-masing pasangan.
Ada banyak faktor pendorong yang dipilih pasangan untuk tidak memiliki anak. Orang-orang ini membuat keputusan dengan sadar karena mereka sangat merasakannya. Bahkan, banyak dari mereka menolak penggunaan istilah “childless” dan lebih memilih “childfree” karena memiliki nada menghakimi yang lebih sedikit dan mengekspresikan perasaan mereka dengan lebih baik.
Di antara pasangan yang memilih cara hidup bebas anak, ada yang mengungkapkan fakta bahwa mereka tidak ingin terikat dengan tugas dan tanggung jawab membesarkan keluarga. Mereka tahu, dari pengalaman masa kecil mereka sendiri, bahwa memiliki anak berarti menunda karier, perjalanan, hobi, eksplorasi, dan pengalaman hidup lainnya yang ingin dicari.
“Saya hanya tidak ingin repot. Mengganti popok dan mengantar anak.” Banyak pasangan tanpa anak menjelaskan keputusan mereka seperti ini. Mereka tidak ingin kelelahan yang datang dengan memiliki anak. Mereka tidak ingin bangun di tengah malam untuk memberi makan dan merawat bayi. Mereka tidak mau harus tinggal di rumah ketika anak mereka sakit pilek atau sakit tenggorokan. Mereka tidak ingin menghabiskan uang untuk perawatan anak dan pra sekolah ketika mereka bekerja. Bahkan, mereka berpendapat bahwa tidak ada gunanya memiliki anak jika Anda tidak akan berada di rumah untuk membesarkan mereka.
Sebagian dari mereka juga menunjukkan fakta bahwa saudara perempuan atau laki-laki mereka yang memiliki anak berada di bawah tekanan sepanjang waktu karena tuntutan menjadi orang tua tanpa henti. Sebaliknya, mereka lebih suka memiliki stabilitas dan kedamaian yang datang dengan menjadi bebas anak.
Adapun pasangan lainnya lebih dimotivasi oleh faktor politik dan lingkungan. Misalnya, mereka mengutip masalah peningkatan populasi di seluruh dunia dan tidak ingin menambah masalah tersebut dengan memiliki anak. Mereka juga mengutip meningkatnya jumlah anak-anak muda yang dilanda kemiskinan dan kelaparan di seluruh dunia. Mereka hanya tidak ingin menambah masalah, setidaknya, seperti yang mereka lihat.
Salah satu katalis terbesar untuk tidak memiliki anak adalah gerakan pembebasan perempuan. Meskipun tidak banyak yang terdengar lagi tentang hal ini, hal ini terus memberikan pengaruh terhadap bagaimana wanita melihat peran mereka dalam kehidupan. Dalam kasus ini, laki-laki dan perempuan menolak apa yang mereka lihat sebagai stereotip di masyarakat tentang bagaimana gender seharusnya hidup. Wanita dipersiapkan untuk hamil dan melahirkan. Laki-laki diharapkan menjadi ayah dan membesarkan anak-anak dengan istri mereka.
Tentu saja ada yang bertanya kepada orang yang memilih childfree mengapa mereka menikah jika mereka tidak berniat memiliki anak? Tanggapan atas pertanyaan ini beragam, tetapi salah satunya adalah bahwa mereka mencintai pasangannya dan ingin menghabiskan hidup mereka bersama.
Adapun argumen lain yang sering disuarakan, seperti “suatu hari nanti Anda akan menyesali keputusan ini,” namun mereka menjawab bahwa mereka tidak menyesal. Hal ini ditegaskan bahkan oleh mereka yang telah mencapai usia lanjut. Mereka menunjukkan bahwa mereka telah menjalani kehidupan yang bahagia dan produktif dan juga bebas untuk menikmati semua hal yang ditawarkan kehidupan.
Lalu apa pendapat Anda tentang memilih untuk tidak memiliki anak? Apakah orang-orang ini egois? Bukankah orang yang memiliki sarana dan temperamen untuk membesarkan keluarga seharusnya memiliki anak? Apakah tidak ada keharusan agama untuk menikah untuk memiliki anak, apakah Anda Kristen, Yahudi, Katolik atau Muslim?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti hanya akan berujung pada pro dan kontra, terkait egois atau tidak semua akan kembali ke keputusan masing-masing pasangan.
Sumber:
Allan Schwartz, LCSW, Ph.D. "Choosing to be Childless, Is It Selfish?". Diakses pada 30 Agustus 2021 melalui Mental Help. https://www.mentalhelp.net/blogs/choosing-to-be-childless-is-it-selfish/
Baca Juga
-
Ramai Dibicarakan, Apa Sebenarnya Intrusive Thoughts?
-
Menjamurnya Bahasa 'Gado-Gado' Sama dengan Memudarnya Jati Diri Bangsa?
-
7 Tips Efektif Menjaga Hubungan agar Tetap Harmonis saat Pacar PMS, Cowok Wajib Tahu!
-
Sering Merasa Lelah Akhir-akhir Ini? 5 Hal ini Bisa Jadi Penyebabnya
-
Kuliah sambil Healing, 2 Universitas Negeri Terbaik di Malang Versi THE WUR 2023
Artikel Terkait
-
Tren Childfree di Indonesia Melonjak, Sejauh Mana Negara Hadir?
-
Pilihan Hidup Childfree: Dampak Positif, Negatif, dan Psikologis bagi Kesehatan Perempuan
-
Putin Perangi "Ideologi Barat", Larang Propaganda Childfree, Adopsi, dan LGBT
-
Latar Pendidikan Ariel Tatum, Ungkapkan Ingin Childfree saat Sudah Menikah
-
Sumber Kekayaan Ariel Tatum, Putuskan Childfree karena Tak Siap Punya Anak
Kolom
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kenali Pengaruh Marketing Automation Terhadap Peningkatan Efisiensi Bisnis
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
Terkini
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik
-
Ulasan Buku Bertajuk Selamat Datang Bulan, Kumpulan Puisi Ringan dengan Makna Mendalam