Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Melynda
Ilustrasi Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) jelang Tahun Baru 2021 (Foto: Beritajatim.com)

Orang Madura dikenal sebagai kelompok suku yang suka melakukan kegiatan perantauan untuk mengadu nasib. Hal itu membuat banyak yang berpikiran bahwa Orang Madura memiliki kemampuan hidup beradaptasi tinggi di lingkungan baru. Sayangnya, kerap kali Etnis Madura mendapatkan pandangan negatif dan dianggap golongan manusia penuh kekerasan. Stigma tersebut terbentuk karena peristiwa di masa silam terkait ‘ketidakakuran’ Suku Madura dengan suku lainnya, misalnya Perang Sampit.

Sebelum peristiwa kelam itu, terdapat sejarah penentu stigma yang diterima Orang Madura. Yakni kisah perjuangan Pak Sakera yang mampu melawan penjajahan Belanda. Tanpa rasa takut, Pak Sakera menantang ketidakadilan yang dilakukan penjajah hingga ia disebut sebagai pahlawan. Seperti apakah kisah perjuangan Pak Sakera?

Pak Sadiman yang Dijuluki Sakera

Pak Sakera memiliki nama asli Sadiman. Beliau berasal dari keluarga Madura yang mengadu nasib ke Kelurahan Raci, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berani melawan penindasan Belanda terhadap para petani tebu dengan semangat pantang menyerah. Karena hal itulah, beliau disebut sebagai Sakera. Selain itu, konon beliau juga mempunyai kesaktian hingga Belanda ketar-ketir dan kesulitan untuk menangkapnya.

Namun naas, Pak Sakera harus meregang nyama karena penghianatan yang dilakukan oleh teman baiknya sendiri. Dari beberapa sumber menyatakan bahwa sekitar tahun 1900-an, Belanda melakukan sayembara untuk menangkap Pak Sakera dengan imbalan sangat besar yakni hasil penarikan pajak dari seluruh wilayah Pasuruan.

Dari teman baiknya itu, diketahui bahwa kelemahan Pak Sakera adalah darah sapi. Hingga akhirnya Pak Sakera harus terjatuh dalam lubang berisi darah sapi akibat perbuatan teman karibnya. Kemudian Pak Sakera diarak keliling kota dan di hukum gantung di depan umum.

Celurit Senjata Andalan Pak Sakera

Walaupun penuh keterbatasan, Pak Sakera mampu membangunkan semangat perjuangan masyarakat kelas bawah untuk bergerak melawan penindasan penjajahan. Beliau selalu menggunakan celurit sebagai senjata dalam menumpas kediktatoran Belanda. Terlihat sederhana, tetapi nyatanya mampu membuat Belanda kewalahan.

Penggunaan celurit yang digunakan Pak Sakera inilah yang membentuk stigma carok (kekerasan) pada Orang Madura. Stereotip ini terbentuk karena pengaruh Belanda yang mencoba menjatuhkan nama baik Pak Sakera. Padahal sesungguhnya, Pak Sakera hanya ‘garang’ menghadapi Belanda, tetapi dianggap berwibawa oleh rakyat. Dan diketahui bahwa Pak Sakera juga orang yang taat beragama. Bahkan dikatakan bahwa beliau meminta izin untuk melaksanakan sholat Subuh sebelum meregang nyawa di tangan Belanda.

Pahlawan yang Jarang Dikenal

Tidak seperti pahlawan nasional lainnya, nama Pak Sakera cukup asing di telinga terkecuali bagi penduduk kawasan Jawa Timur dan Pulau Madura. Semasa hidupnya, beliau selalu menggunakan pakaian bergaris merah putih, dengan celana berwarna hitam. Beliau direpresentasikan sebagai tokoh pahlawan yang tangguh tak gentar melawan penjajah.

Selain dianggap pahlawan yang mampu membantu rakyat jelata menuntut haknya, Pak Sakera juga disebut sebagai simbol keberagaman. Walaupun mayoritas berisi Suku Jawa, rakyat Pasuruan juga sangat terbuka dengan kedatangan suku lain seperti Pak Sakera. Hingga muncullah Budaya Pendalungan khas masyarakat Tapal Kuda, Jawa Timur yang didominasi perpaduan budaya Jawa dan Madura.

Itulah kisah Pak Sakera, pejuang dari Pasuruan yang menjadi korban adu domba dan iming-iming harta oleh Belanda. Walaupun namanya tidak familiar bagi beberapa orang, semangat juangnya patut diapresiasi dan harus diketahui oleh khalayak umum lebih luas lagi. Serta supaya stereotip yang kerap diterima Orang Madura tidak diperlakukan secara merata.

Referensi

Abdullah. (2016). Pendidikan akhlak sebagai media menghilangkan budaya carok; perspektif pendidikan karakter. Al-Ibrah, 1 (2): 51-75.

Wartabromo.

Melynda