Indonesia adalah negara yang menggunakan Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi yang berisi 5 prinsip yang saling meliputi satu sama lain. Salah satu bunyi dari Pancasila adalah “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang merupakan sila ke-5. Perwujudan bangsa Indonesia sebagai implementasi sila ke-5 adalah Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum artinya segala hal yang dilakukan oleh seseorang harus berlandaskan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hukum tentunya harus diterapkan dengan adil, yaitu suatu tuntutan untuk selalu berpihak pada yang benar serta antara hak dan kewajiban haruslah seimbang tanpa adanya pihak yang merasa diberatkan. Di depan hukum, kedudukan semua orang itu selalu sama, hal ini merupakan suatu asas yang dinamakan equality before the law.
Namun, pada kenyataannya asas keadilan ini belum sempurna diterapkan pada sistem hukum di Indonesia. Proses penegakan hukum di Indonesia masih saja ada unsur diskriminasi ataupun keistimewaan pada pihak tertentu dalam penanganan kasus. Kondisi hukum ini dapat dikatakan sebagai hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli oleh orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang berlimpah, dan dapat dipastikan mereka akan aman dengan menerima hukuman yang tidak setimpal dengan perilaku yang sudah diperbuat. Sebaliknya, rakyat kecil yang tidak memiliki apa-apa seringkali diperlakukan dengan tidak adil, bahkan hingga di dominasi oleh pihak yang lebih memiliki kuasa.
Kasus yang bisa dijadikan rujukan sebagai contoh ketidakadilan hukum di Indonesia yaitu kasus korupsi bansos yang menjerat eks Menteri Sosial, Juliari Batubara yang melakukan korupsi dengan menerima suap sebesar Rp 17 miliar. Uang tersebut digunakan Juliari untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Namun, vonis yang diberikan Hakim kepada Juliari hanya selama 12 tahun, hal tersebut tentunya belum mencerminkan keadilan hukum kepada khalayak umum. Pemberian vonis hakim tersebut mengundang perhatian masyarakat lantaran hal yang membuat hakim meringankan vonis adalah hal-hal yang sangat mencerminkan ketidakadilan, seperti hanya karena hinaan masyarakat yang dianggap membuat Juliari menderita, padahal yang dilakukan Juliari lebih merugikan rakyat.
Kasus lain yang bisa dijadikan acuan yaitu kasus yang akhir-akhir ini terjadi pada Komisi Penyiaran Indonesia. Kasus yang terjadi adalah perundungan dan pelecehan yang dilakukan oleh beberapa karyawan di KPI Pusat kepada salah satu karyawan selama beberapa tahun hingga korban merasa trauma dan membawa kasus ini ke jalur hukum. Namun, kenyataan yang terjadi adalah korban dipaksa dan mendapat tekanan dari pihak yang bersangkutan untuk mencabut laporannya dan menyelesaikan kasus ini secara damai, bahkan korban juga terancam akan dilaporkan balik oleh pihak pelaku dengan UU ITE karena korban menyebarkan identitas pelaku.
Dan berbicara mengenai UU ITE, undang-undang ini juga dianggap sebagai pasal karet karena beberapa pasal tidak memiliki landasan dan tolak ukur yang jelas. Pasal-pasal yang dianggap menjadi permasalahan adalah yang berkaitan dengan kebebasan dalam berdemokrasi, menyuarakan pendapat, dan kritik. Pasal-pasal ini seringkali disalahgunakan oleh pihak yang memiliki jabatan dan kekuasaan untuk menjerat masyarakat yang menyuarakan pendapat dan kritikan mereka mengenai kinerja yang telah dilakukan. Contoh kasus yang terjadi adalah mahasiwa UNS yang ditangkap polisi karena memberikan kritik melalui media poster, padahal kritikan tersebut tidak mengandung unsur-unsur kebencian dan tidak bertuliskan kata kasar.
Kasus-kasus di atas membuktikan bahwa implementasi sila ke-5 masih belum dilakukan dengan baik. Hal ini akan berpotensi untuk membawa permasalahan lainnya, seperti terjadinya perlawanan-perlawanan anarkis yang dilakukan oleh masyarakat dan pihak-pihak yang merasa dirugikan dan menerima ketidakadilan dari pihak-pihak petinggi. Selain itu, dampak dari ketidakadilan ini akan berpengaruh ke aspek-aspek sosial dan ekonomi lainnya yaitu terjadinya ketimpangan, rakyat yang sudah sulit makin kesulitan dan petinggi yang sudah kaya makin makmur dan berlimpah.
Oleh karena itu, permasalahan dalam penerapan keadilan ini harus ditangani oleh pemerintah secara serius. Harus dilakukan pembenahan terhadap regulasi dan peraturan yang dianggap memberatkan pihak tertentu. Hak warga negara juga merupakan hal yang wajib diperhatikan pemerintah dengan memberikan perlindungan dan jaminan di depan mata hukum, tidak peduli warga negara tersebut merupakan rakyat biasa maupun pejabat yang memiliki kekuasaan. Pengetahuan mengenai masalah proses hukum juga sangatlah penting, oleh karena itu pemerintah wajib memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang langkah-langkah dalam memperoleh keadilan dalam proses hukum. Lembaga hukum yang bersangkutan juga harus berpartisipasi aktif dalam memberikan layanan kepada masyarakat dalam melakukan proses hukum.
Tentunya, bukan hanya pemerintah yang harus berperan aktif dalam melakukan upaya menegakkan keadilan dan proses hukum, namun masyarakat juga harus berpatisipasi aktif dan bekerja sama dengan pemerintah. Ada 3 standar yang harus dijadikan landasan dalam kerja sama antar pemerintah dan masyarakat, yaitu equal opportunity, equal distribution, dan equal liberty. Equal opportunity merupakan standar ekualitas yang menekankan bahwa pemerintah dapat membangun skala prioritas yang dibangun dengan nalar yang baik dan mengajak masyarakat untuk merumuskan skala prioritas tersebut. Yang kedua adalah equal distribution yang merupakan suatu jaminan bahwa program yang ditawarkan oleh pemerintah mampu menjangkau ke semua masyarakat dan diberlakukan secara adil. Dan yang terakhir adalah equal liberty, yaitu prinsip bahwa pemerintah dan rakyat mempunyai kedudukan yang sama dalam memperoleh kemerdekaannya masing-masing.
Dengan menerapkan hal tersebut dan dengan adanya kesadaran pada diri masing-masing, maka upaya yang dilakukan sangat membantu dalam upaya menegakkan keadilan di Indonesia. Walaupun pemerintah memiliki peran yang dominan dalam proses hukum, namun tetap saja harus melihat batasan yang ada, dan masyarakat juga memiliki kebebasan atau liberalisme dalam memberikan kritikan kepada pemerintah.
(Mahasiswa Akuntansi FEB UPN Veteran Jakarta)
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ditargetkan Beroperasi 2027, Kapasitas Listrik PLTP Patuha Bertambah Menjadi 110 MW
-
Badan Pos Nasional Ukraina Rilis Prangko Wajah Prabowo Subianto, Apa Maknanya?
-
Pospay dan Jalin Bentuk QR- Cross Border, Transaksi Bisa di Singapura Hingga Thailand
-
Perusahaan Nikel Ini Soroti Dampak ISPA ke Karyawan
-
Konser Dua Lipa di Jakarta Batal Digelar
Kolom
-
Jejak Kolonialisme dalam Tindakan Penjarahan: Jajah Bangsa Sendiri?
-
Desakan Krisis Iklim: Pemanfaatan Energi Berkelanjutan dan Green Jobs
-
Prabowo Subianto, Sebingkai Pesan Harapan yang Hendak Rakyat Titipkan
-
Thrifting: Gaya Hidup Hemat atau Ancaman Industri Lokal?
-
Thrifting: Gaya Hidup Hemat atau Ancaman Industri Lokal?
Terkini
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Gong Yoo di Netflix, Terbaru Ada The Trunk
-
3 Rekomendasi Toner Lokal Mengandung Calendula, Ampuh Redakan Kemerahan
-
Erick Thohir Cek Kondisi Rumput GBK Jelang Laga Timnas Indonesia vs Jepang
-
Tampil Modis dengan 4 Gaya Simpel ala Kang Mi-na yang Wajib Kamu Coba!
-
Ulasan Novel Little White Lies: Kehidupan Debutante yang Penuh Rahasia