Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Pura menjadi penyebab Panca Gita selalu berkumandang. (DocPribadi/Supriyadi)

“Tirta telah terpercik, bija telah tersemat, kidung tengah terlantun. Di depan, pemangku usai membunyikan genta tiga kali. Pertanda persembahyangan usai. Teriring, tabuhan gamelan yang masih bergema. Beberapa hari menapakkan kaki di tanah dewata,  telinga ini ditempa atas bebunyian yang ada. Setiap waktu, setiap hari, dan akhirnya terbiasa.”

Bali adalah Manik”, begitu ungkapan yang diutarakan kebanyakan orang. Bali kiranya menjadi “surga” akan adat dan budaya. Memasuki tanah yang tersemat sebagai pulau dewata tersebut akan tersaji berbagai eksotikanya. Lazim kiranya, jika banyak wisatawan lokal atau asing yang datang untuk menengok eksotika pulau seribu pura itu.

Berbicara ihwal Bali, seringkali bertautan dengan Hindu. Kehidupan antara agama dan budaya yang beriringan; bernafas dengan irama yang sama, sehingga tautan antar keduanya menjadi erat. Seringkali kita jumpai pola ihwal tautan antar agama dan budaya masyarakat yang erat, yang kemudian melahirkan perilaku terhadap masyarakatnya.

Misalnya, adanya Santiswara. Adanya nafas agama mempengaruhi budaya masyarakatnya dalam melahirkan produk kebudayaan, dalam kasus Santiswara adalah musik. Musik ini berfungsi sebagai media dakwah. Acapkali, anggapan keidentikan antara Santiswara dan dakwah islami terdengar. Lazim kiranya, karena keberadaan kedua objek saling bertaut.

Pun, sama kasusnya dengan Bali. Tautan antara agama dan budaya kiranya melahirkan pola yang sama. Menariknya, pola semacam ini berlangsung secara parsial-menembus berbagai unsur kehidupan di sana. Syahdan, pola tersebut melahirkan dampak akan keberlangsungan kebudayaannya, dalam hal ini bebunyian. Gaung Bebunyian di Bali senantiasa menggema di setiap lini masyarakat di sana.

Tautan paling krusial yang menjadikan bebunyian di Bali terus bergema adalah adanya ajaran Panca Gita. Seringkali muncul anggapan bahwa adanya konsep panca gita ini menjadi alasan atas hadirnya taksu Bali. Secara subyektif, anggapan ini kiranya benar adanya, mengingat makna dari konsep panca gita serta nafas kehidupan yang telah tertaut dalam masyarakat Bali secara parsial.

Panca Gita

Panca gita diartikan sebagai lima unsur bebunyian yang digunakan dalam ritual keagamaan Hindu.  Sedangkan, kelima unsur ini adalah Mantra, Genta, Kidung, Gamelan, dan Kentongan. Kelima unsur ini mengampu peran dan bentuk yang berbeda, meskipun ke saling berkaitan.

  • Mantra
    Mantra menjadi bunyi yang paling krusial dalam ritual keagamaan Hindu. Pasalnya, mantra mengampu tanggungjawab fundamental atas keberlangsungan dari ritual. Lantunan mantra bersumber kepada kitab suci, sehingga tatanan-ijab-doa terwakilkan melalui mantra.
  • Genta
    Ketika seorang pemangku atau pemimpin upacara tengah melangsungkan ritual, ia senantiasa membunyikan genta. Genta yang digunakan adalah genta yang sudah dipasopati atau yang sudah disucikan. Sehingga, genta yang digunakan tidak bisa sembarangan. Secara musikal, genta (kebanyakan yang digunakan) yang dibunyikan akan melahirkan bunyi melengking. Substain dari instrumen ini juga melahirkan gelombang panjang. Pasalnya, genta dibunyikan secara terus-menerus, sehingga lengkingan dan substain dari genta menumpuk. Secara subyektif, peristiwa ini melahirkan kondisi atmosfer ruangan yang membuat khusuk.
  • Kidung
    Kidung menjadi pengiring ketika ritual tengah dilaksanakan. Kidung ini biasanya berisi syair persembahan-pujian, dan sejenisnya. Sedangkan, penggunaan kidung bergantung pada upacara yang tengah berlangsung. Misalnya, persembahyangan pitra atau leluhur, kidung yang digunakan juga akan menggunakan kidung pitra. Selain itu, terdapat kidung yang digunakan secara pasti dalam setiap upacara.
  • Gamelan
    Sama halnya dengan kidung, gamelan juga berfungsi sebagai pengiring upacara. Tabuhan gamelan ini ada yang menjadi satu kesatuan dengan kidung, ada juga yang tidak. Misalnya, saat upacara Nyepi. Terdapat gamelan yang difungsikan untuk mengiringi kidung. Ada juga gamelan yang difungsikan untuk mengiringi upacara caru (bhuta yadnya). Keduanya berlangsung dalam satu bentuk upacara. Gamelan juga didasarkan dalam jenis upacara dalam penggunaannya. Misalnya, Gamelan Angklung. Gamelan ini biasanya digunakan dalam persembahyangan pitra dan tidak digunakan ketika persembahyangan dewa yadnya.
  • Kentongan
    Di dalam kesatuan bangunan pura, terdapat bangunan yang bernama Balai Kul-kul. Biasanya, di dalam balai ini terdapat kentongannya. Atas hal tersebut, kentongan juga disebut kul-kul. Lazimnya fungsi kentongan secara parsial, kentongan atau Kul-kul dalam hal ini juga berfungsi sebagai penanda: penanda bahwa ada upacara yang tengah atau akan berlangsung.

Kultural

Panca gita memang menjadi ajaran dalam Agama Hindu. Dampak akan vibrasi panca gita tentu berlaku secara parsial di berbagai tempat (mengingat umat Hindu yang ada di luar Bali). Namun, Bali menjadi tempat yang berbeda dari tempat yang lain. Secara subyektif, sematan pulau seribu pura terhadap Bali menjadi faktor ihwal nafas bebunyian di Bali. Pasalnya, keberadaan banyaknya pura ini menjadikan panca gita senantiasa berkumandang. 

Selain itu, ajaran panca gita ini menjadi hal fundamental dalam aktivitas bebunyian (ritual) di Bali. Peristiwa ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Konsep ini menjadikan masyarakat Bali menjadi dekat dengan bebunyian. Seiring berjalannya waktu, bebunyian ini menjadi bunyi kultural terhadap masyarakat di Bali. Lazim saja jika kemudian bebunyian menjadi bagian kehidupannya.

Spiritual

Menurut Yunitha Asri dalam penelitiannya yang bertajuk “Dharmagita: Seni Budaya dalam Siar Agama Hindu”, panca gita memberikan vibrasi keheningan, kesucian spiritual. Atas fungsi serta peran dari panca gita, panca gita mengandung kesakralan tersendiri. Barangkali, keberadaan panca gita ini juga menjadi faktor ihwal taksu. 

Menurut Zoetmulder (1983:153), taksu dapat diartikan sebagai energi puncak yang berasal dari Tuhan yang diperoleh melalui ritus (ritual) dan oleh spiritual. Pengejawantahan ihwal taksu begitu rumit, bahkan taksu dalam bahasa Bali diartikan sebagai yang abstrak dan konkret (dalam Komang Indra, Taksu dalam Dramatari Calonarang: Sebuah Kajian Estetika Hindu. 2018) secara subyektif, ejawantah ihwal taksu kiranya hanya dapat tertafsirkan secara personal, karena butuh pengalaman empiric dalam memaknai hal ini.

Namun, keberadaan akan hal ini memang ada, apalagi dalam kepercayaan orang Bali. Panca gita kiranya menyuratkan taksu ini. Di samping peran dan fungsinya yang magis, panca gita menjadi sarana spiritual bagi masyarakat Hindu, ataupun masyarakat Bali secara parsial. Hal ini dibuktikan atas tautan yang sudah dipaparkan di atas.   

Panca gita yang menjadi sarana fundamental dalam memenuhi kebutuhan ritual masyarakat Bali secara parsial, pada akhirnya telah menubuh dalam masyarakatnya. Panca gita menjadi nafas bebunyian dalam kehidupan masyarakatnya. Selain menjadi bunyi kultural yang seringkali terdengar, ia juga menjadi bunyi spiritual dalam pembentukan taksu pulau dewata itu. Semoga keberadaannya tidak akan lekang oleh waktu! 

Supriyadi Bas