Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Tradisi Wiwit (DocPribad/Arya Padhana)

Adalah sebuah keriangan mampu melestarikan tradisi yang ada. Tradisi-tradisi menjadi sebuah produk budaya yang sarat jika diuraikan dan dicerap dengan dalam. Suratan serta siratan mampu dijadikan pijakan berkehidupan ketika mampu menangkap maksud tradisi yang ada. Agaknya, sikap ini yang patut untuk disadari secara kolektif.

Kemajuan zaman kiranya menjadi pengaruh besar atas uzurnya berbagai tradisi kiwari. Tentu tidak dapat dihindari, tetapi agaknya perlu menumbuhkan benteng diri untuk mampu menjaga tradisi di tengah gempuran zaman yang menghadang. Sikap handarbeni dan adaptif barangkali menjadi sikap krusial yang ideal serta diperlukan kiwari. Selain itu, boleh diduga bahwa terputusnya pengetahuan tetua  terhadap generasi mutakhir juga menjadi penyokong kegagapan generasi milenial melestarikan tradisinya.

Para tetua menunaikan tradisi yang diwariskan dengan khusuk. Iktibar kecilnya ketika melakukan kenduri atau kenduren waktu membeli sebuah kendaraan: motor atau mobil. Selain sebagai rupa syukur, kenduri juga dijadikan wahana untuk berbagi. Menyedekahkan keberkahan yang didapatkan. Melaluinya, pembeli motor dituntun untuk menenggelamkan kesombongan dan menunaikan ibadah sedekah terhadap sesama melalui makanan juga rasa yang tengah disandung.

Syahdan, ketika generasi menanyai tetua ihwal maksud ritus tersebut, jawaban yang seringkali terlontar ialah "sudah adatnya seperti ini" ataupun "dilakukan saja". Sejak dahulu leluhur kita seperti ini". Peristiwa ini kiranya tidak hanya berlaku pada kenduri saja, melainkan di berbagai tradisi yang ada.

Tentu peristiwa tersebut tidak boleh diabaikan. Di tengah generasi milenial yang kini dicekokki untuk berfikir kritis serta rasional, jawaban terpapar kiranya kurang ideal untuk dilontarkan. Penjelasan ihwal siratan dan suratan yang dikandung dalam ritus tertaut menjadi secerca harapan untuk menawar dahaga pengetahuan generasi Z.

Pemakluman kiranya patut untuk disematkan terhadap jawaban tertaut. Sebab, pendekatan yang dahulu diberikan terhadap para tetua agaknya memang demikian. Tiba-tiba teringat pada mitos di Klaten ihwal tidak boleh makan di tengah pintu sebab akan dimakan oleh Buto.

Mitos ini sering saya jumpai waktu kecil. Kini ketika sudah mampu menguraikan, mitos ini saya anggap menjadi sebuah metode pengajaran. Maksud dari mitos ini ialah tidak boleh makan di tengah pintu, sebab akan mengganggu orang lain ketika menggunakan pintu. Syahdan, pendekatan yang digunakan bukan dengan transparansi, melainkan menggunakan sebuah cerita atau simbol.

Kiwari, pendekatan semacam itu barangkali kian rapuh. Sebab, junjungan terhadap kerasionalitasan begitu tinggi. Bagi generasi milenial, dilema antara melestarikan dan ketidaktahuan untuk menunaikan tradisi menjadi sebuah  pertigaan jalan yang harus dihadapi. Atas itu, pendekatan yang selaras dengan zaman kiranya layak untuk dipikirkan.

Setiap simbol, cerita mitos, atau apapun yang terkandung dalam sebuah tradisi sepertinya dapat diejawantahkan secara runut. Iktibar selanjutnya ketika para tetua melakukan ngguwakki atau kini seringkali disebut ngejot. Sehabis memasak di dapur, para tetua di daerah saya seringkali menyisihkan hasil masakan ke dalam sebuah daun pisang. Seusainya, daun pisang ini di taruh ke beberapa tempat: keren atau kompor, sumur, di pekarangan rumah, atau tempat-tempat yang di anggap sakral di area rumah.

Selain kepercayaan terhadap danyang serta leluhur, aktivitas ini ditujukan untuk berbagi dalam balutan kebersyukuran atas berkah yang didapatkan. Berkah masih diberikan makanan, berkah masih diberikan lauk-pauk dan sayur mayur yang layak dimakan. Nilai inilah yang menjadi esensi ritus dinunaikan.

Kemudian, aktivitas menabuh bebunyian ketika terjadi fenomena gerhana bulan. Mitos yang berkembang ialah bulannya dimakan Buto, sehingga bunyi-bunyian dikumandangkan untuk menawar dimakannya bulan tersebut. Kini, ketika sains berkembang; dapat diketahui bahwa gerhana bulan terjadi karena matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.

Syahdan, maksud dari aktivitas bebunyian ini ialah untuk berkumpul dan sesrawungan di luar rumah. Menghormati bulan atas fenomena yang dihadirkan. Kiranya, syair lagu padhang bulan menjadi terpaut atas peristiwa ini. "Yo pro konco dolanan neng njobo, padhang mbulan; lintange koyo rino, rembulane sing ngawe-awe, ngelingakke ojo podho turu sore". Begitulah kiranya uraian syair padhang bulan.

Juga, kepercayaan dalam kultur Jawa bahwa dilarang untuk tidak tidur sore hari atau surup. Pergantian sore dan malam dianggap menjadi sebuah aktivitas pergantian energi. Selain itu, ketika tidur pada waktu itu secara subyektif akan mengalami pusing. Juga terdapat tafsir lain yakni waktu tersebut digunakan untuk bersembahyang, sehingga keluar dan berkumpulah sehingga bisa bersembahyang bersama.

Di sisi lain, pemakluman terhadap generasi milenial kiranya juga patut untuk disemati. Alih-alih menunaikan kenduri atau kenduren sewaktu membeli kendaraan, mereka justru memilih untuk melakukan ritus goyang jari yang kemudian menguploadnya di media sosialnya. Barangkali, ketika generasi milenial mampu menangkap suratan dan siratan ritus kenduri atau kenduren, aktivitas tersebut lekas terbentengi.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali agaknya menjadi kalimat yang patut untuk dinunaikan. Sudah berbagai peristiwa serupa menjangkit para pemuda generasi mutakhir. Berbenah layak untuk dilakukan secara kolektif. Tidak saja orang tua, bagi pemuda juga diperlukan.

Orang tua kiranya dapat mengejawantahkan suratan dan siratan berbagai unsur dalam tradisi sesuai dengan pengetahuannya. Juga, bagi para pemuda harus menjemput bola untuk menguraikan suratan dan siratan tersebut. Selain itu, terdapat beberapa tradisi yang belum atau tidak bisa diterima secara rasional. Sikap meluruhkan kerasionalan kiranya juga diperlukan bagi para pemuda. Sebab, terdapat nilai yang hanya mampu diuraikan secara emperik setiap personal. Misalnya tradisi tapa bisu. Boleh diduga, ketika upaya ini dinunaikan; pengetahuan yang sebelumnya berkelindan bahkan terputus dapat tersambung kembali.

Supriyadi Bas