Kata gapura kiranya sudah melekat di telinga masyarakat kita. Bangunan ini secara parsial berfungsi sebagai pembatas teritori suatu wilayah dan monumen identitas daerah. Dalam tiga tahun terakhir, pembangunan gapura desa di derah Klaten begitu massif. Entah karena mendapat sokongan dana melalui dana desa atau apapun. Satu hal yang dapat dimaknai dari peristiwa ini adalah gapura menduduki posisi penting dalam kehidupan masyarakat kita.
Keberadaan gapura secara historis sudah ada sejak zaman dahulu, mulai dari keberadaan gapura di candi-candi, di keraton, dan di petilasan-petilasan. Salah satu buktinya adalah Gapura Wringin Lawang (gapura abad ke-14 yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit). Keberadaan gapura yang sudah melekat juga melahirkan sebuah perilaku kultural yang hingga kini masih bertahan. Perilaku ini tentu tidak akan bertahan jika gapura tidak dianggap penting oleh masyarakat kita.
Nasionalisme
Menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia, akan kita jumpai pelbagai aktifitas kultural masyarakat, yang barangkali sudah menjadi tradisi bagi republik ini: memasang bendera, umbul-umbul, juga mendekorasi gapura. Sepanjang jalan akan dihiasi Bendera Merah Putih, umbul-umbul Garuda Pancasila. Tak dilewatkan juga, kebanyakan akan dijumpai adanya tulisan 17 Agustus 1945 di gapura-gapura: yang menunjukan kelahiran Negara Indonesia.
Perilaku semacam ini sudah dilakukan sejak dahulu, terlebih di masa orde baru. Pada masa itu, pembangunan sebuah gapura wajib dilakukan. Menyadur dari Historia, menurut Teruo Sekimoto (professor antropologi Institute of Oriental Culture University of Tokyo), “aktivitas ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan persiapan kemerdekaan Indonesia yang melibatkan banyak orang untuk mencapai tujuan nasional: stabilitas negara dan pembangunan“.
"Di antara usaha mobilisasi paling menonjol adalah menghias tiap-tiap desa dengan membangun pagar beton, membentuk gapura penuh hiasan, dan merancang beragam seragam," tambahnya. Peristiwa sejarah masa itu, barangkali sudah merasuki sanubari masyarakat. Pasalnya, peristiwa menghias gapura masih aktual dilakukan oleh masyarakat. Hingga kini, keberadaan gapura tetap menduduki posisi yang penting bagi masyarakat: sebagai wujud ekspresi nasionalisme serta kecintaannya terhadap negeri ini.
Harapan
Banyaknya gapura yang ada, juga menunjukan banyaknya ragam bentuk gapura: joglo, gunungan wayang, dan sebagainya. Tidak hanya bentuknya saja, tetapi juga terdapat berbagai macam unsur pendukung yang membuat gapura begitu ciamik: ornamen, patung, dan lain sebagainya. Dalam pembangunannya, gapura tidak semata-mata dibangun. Terdapat surat harapan yang dititipkan dalam pembangunan gapura. Mungkin, kita sering menemui gapura dengan ornamen ular naga di sisi kanan dan kiri, burung garuda di tengah atas gapura, ataupun adanya mahkota di tengah gapura. Hal ini tidak hanya dapat kita jumpai dalam gapura, tetapi juga dalam rumah adat jawa.
Barangkali, terdapat benang merah serta harapan yang sama atas digunakannya ornamen tersebut: dalam rumah jawa dan gapura. Melalui simbol-simbol tersebut, manusia Jawa selalu menyelipkan doa dan harapannya. Simbol mengenai ular naga, mahkota, dan juga burung garuda lazim kita lihat di pelbagai daerah di Jawa. Dalam kosmologi Jawa, ular naga mempunyai simbol air dan kesuburan. Menurut Santiko (1971) dan Suprapto (1998), beberapa peneliti mengajukan pendapat keterkaitan motif ular ini dengan ritus/kultus kesuburan.
Kemudian, simbol burung garuda dalam kosmologi Jawa adalah simbol kekuatan. Simbol ini juga digunakan sebagai lambang negara. Begitupun, simbol-simbol lain yang digunakan.Dalam hal ini, simbol yang digunakan pada ornamen gapura memiliki surat harapan. Dua contoh tersebut misalnya. Desa yang membangun gapura menggunakan ornamen ular naga dan burung garuda, terselip harapan agar desa atau wilayah tersebut mendapati kesuburan dan kekuatan. Adanya harapan yang terselip ini, melahirkan sikap handarbeni. Gapura tidak hanya menjadi sebuah pembatas, tetapi juga menjadi sarana.
Ampunan
Secara emperik, di berbagai daerah di Klaten ketika sedang menunaikan hajatan akan melakukan aktifitas ngguwakki: menyedekahkan makanan, minuman, rokok, dan lainnya di gapura desa. Selain itu, juga di tempat yang dianggap sakral. Hal ini ditujukan agar dalam pelaksanaan hajatan diberikan kelancaran dan tidak ada halangan. Alasan dipilihnya gapura karena merupakan pembatas wewengkon atau wilayah. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap Mbah Patno (sesepuh desa saya), “ngguwakki nang gapuro kui supoyo acarane lancar. Uwong sek mlebu nang ndeso, resik lahir batine. Banjur, ndek uwes resik ameho nyumbang utowo rewang iso semeleh, ora nggowo reregetan nang panggonan sek ewuh”. (wawancara Mbah Patno, 14 Juli 2021)
Dalam ungkapnya, ngguwakki di gapura itu agar acaranya lancar. Orang yang masuk ke desa, bersih lahir batinnya. Kemudian, jika sudah bersih, hendak datang untuk bertamu atau membantu memasak bisa lega, tidak membawa “kotoran” di tempat yang tengah hajatan.
Seusai wawancara dengan Mbah Patno, saya melanjutkan wawancara dengan sesepuh di desa lain, Mbah Warto namanya. Tandasnya,“gapuro kui dinggo lawangan, ndek meh mlebu kulonuwun ndek meh lungo maturnuwun. Perkoro ngguwakki kui dinggo tetembungan marang danyang, supoyo lancar ewuhane. Kulonuwun dinggo njaluk izin mlebu, supoyo diapurani reregete. Maturnuwun dingge apurani pamitane. Seko apuro kui mau banjur diarani gapuro.” (wawancara Mbah Warto, 14 Juli 2021).
Gapura itu digunakan sebagai pintu. Jika hendak masuk ya permisi, jika hendak pergi ya terima kasih. Masalah ngguwakki itu untuk “permohonan” kepada danyang (penunggu desa/leluhur), agar lancar acaranya. Permisi untuk meminta izin masuk, supaya dimaafkan “kotorannya”, terimakasih untuk memaafkan perginya (karena sudah masuk, jika ada salah ketika di desa). Dari apuro (maaf) kemudian disebut gapura. Secara etimologis, dalam islam gapura berasal dari istilah “ghafura” yang memiliki arti ampunan. Dari peristiwa yang saya dapati di atas, barangkali makna kata gapura tersebut selaras. Secara emperik, ketika saya melakukan aktifitas nyekar ke makam, sebelum dan sesudah masuk dari makan terdapat norma bahwa harus melakukan permisi ketika masuk dan mohon maaf ketika pergi. Terlepas dari hal ini, kultur Jawa yang saya temui menandai bahwa gapura memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Gapura tidak hanya berwujud bangunan saja, tetapi juga menunjukan sebagai monumen kultural yang melekat terhadap masyarakat. Adanya gapura melahirkan perilaku kultural, ataupun sebaliknya: masyarakat menggunakan gapura sebagai simbol atas pemahaman kultural yang didapati.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Lucky Hakim Sebut Indramayu Daerah Termiskin & Bupatinya Terkaya di Jabar, Cek Faktanya
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Siapa Taufik Suparno? Namanya Jawa Banget Tapi Malah Bela Timnas Singapura
-
Borobudur Writers and Cultural Festival 2024 Bakal Digelar 19 - 23 November di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi
-
Undecided Voters Pilkada Jateng Masih Tinggi, Bertemu Jokowi jadi Pilihan Realistis Cagub Ahmad Luthfi
Kolom
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
Menghargai Pekerjaannya, Menghargai Kebutuhannya: Realitas Gaji Guru
-
Indonesia dan Lunturnya Budaya Malu, dari "Jam Karet" hingga Korupsi
-
Simak! Ini Pentingnya Penguasaan Calistung dalam Pendidikan Dini
Terkini
-
Sinopsis Citadel: Honey Bunny, Series Terbaru Varun Dhawan di Prime Video
-
4 Rekomendasi Film yang Dibintangi Dakota Fanning, Terbaru Ada The Watchers
-
Sukses! Mahasiswa Amikom Yogyakarta Adakan Sosialisasi Pelatihan Desain Grafis
-
EXO 'Monster': Pemberontakan dari Psikis Babak Belur yang Diselamatkan Cinta
-
Tayang 22 November, Ini 4 Pemain Utama Drama Korea When The Phone Rings