Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | KELVIN SABASTIAN
Arsitektur Hijau (unsplash/Danist Soh)

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, green architecture atau arsitektur hijau seolah-olah menjadi jawaban atas isu tersebut. Dewasa ini, tren arsitektur hijau mulai marak khususnya di Indonesia, dengan adanya semangat untuk meminimalisasi dampak buruk dari perubahan iklim bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Tren pembangunan ini dapat membantu kita untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meminimalkan penggunaan energi dan sumber daya alam yang tak terbaharui. Tren arsitektur hijau diklaim dapat menghasilkan bangunan yang ramah lingkungan. Kata-kata “ramah lingkungan” ini memiliki maksud yaitu dapat mengurangi jejak karbon. Jejak karbon yang dimaksudkan adalah gas-gas sisa hasil aktivitas manusia (karbon dioksida). 

Setiap produk tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Arsitektur hijau memang memiliki tujuan yang baik bagi lingkungan. Akan tetapi, apabila kita amati, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mengaplikasikan arsitektur hijau pada bangunan. Kita seolah-olah dibutakan dengan gambar gedung yang “dihiaskan” dengan berbagai vegetasi hijau bila kita membuka mesin pencarian melalui internet.

Gambar-gambar tersebut seolah-olah memengaruhi cara pandang kita mengenai arsitektur hijau yang diyakini merupakan solusi untuk menekankan dampak negatif dari perubahan iklim, akibat dari pencemaran lingkungan. Perlu diketahui bahwa bangunan hijau tidak selamanya sempurna, terdapat kelemahan yang jarang diperhatikan orang-orang. Titik lemah ini yang membuat sebagian pengembang atau pemilik enggan untuk menerapkan konsep arsitektur hijau pada bangungan. Berikut ini adalah beberapa alasannya.

Modal Besar

Merancang bangunan dengan konsep arsitektur hijau tidaklah murah. Tingginya biaya ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti konsultasi dengan tenaga ahli dan material yang akan dipakai. Material yang digunakan pun cenderung lebih sulit untuk dicari dibandingkan dengan material pada bangunan standar dan biayanya pun pasti lebih mahal. Hal tersebutlah yang membuat bangunan hijau membutuhkan modal dengan jumlah yang tidak main-main. Tingginya harga ini membuat masyarakat mulai enggan untuk menggunakan konsep arsitektur hijau pada bangunannya.

Mengutip dari Beritasatu (2012), kalangan pengembang mengatakan bahwa pembangunan properti hijau membutuhkan biaya 5 hingga 7% lebih mahal ketimbang pembangunan properti konvensional. Pembangunan properti hijau lebih mahal karena tentu saja membutuhkan teknologi dan desain bangunan yang berbeda yang mengarah pada konsep bangunan hemat energi. Sementara menurut Dr. Samad Hamad (2020), biaya awal properti hijau di Amerika Serikat 2 hingga 3% lebih tinggi daripada properti konvensional. Ditambah dengan biaya tambahan sekitar $3,00 hingga $5,00 (Rp. 43.065,00 - Rp. 71.775,00) per kaki persegi.

Tak hanya itu, pinjaman untuk bangunan hijau menjadi masalah lain. Bank mungkin merasa sedikit skeptis dalam hal pembiayaan bangunan hijau. Banyak lembaga keuangan masih memilih memberikan pinjaman untuk bangunan konvensional karena pengalaman dan pengetahuan dalam penilaian rumah konvensional yang lebih tinggi dibandingkan rumah hijau.

Ketidaktersediaan Lokasi

Untuk mengaplikasikan konsep arsitektur hijau pada bangunan, sudah semestinya bangunan dibangun pada lokasi yang ramah lingkungan. Pencarian lokasi inilah yang menjadi masalah, terlebih lagi jika bangunan ingin didirikan di wilayah perkotaan yang minim lahan. Sangat sulit untuk menemukan lokasi yang tepat untuk mendirikan bangunan, bilamana ada lokasi yang strategis pun akan membuat harga melambung tinggi.

Contoh kasus lainnya adalah sebuah bangunan hijau yang mencoba menggunakan cahaya matahari sebanyak mungkin untuk menghasilkan energi dan menggunakan cahaya tersebut demi mengurangi kebutuhan penggunaan sumber energi konvensional. Akan tetapi, untuk daerah yang tidak memiliki cukup sinar matahari, bangunan tersebut mungkin menjadi sia-sia dan bukanlah menjadi pilihan yang tepat karena kondisi luar yang tidak cocok.

Keterbatasan Waktu

Harus diakui bahwa untuk mendirikan bangunan hijau membutuhkan waktu yang sangat panjang, mengapa? Sulitnya mencari material yang ramah lingkungan menjadi penyebab utama pembangunan yang direncanakan menjadi molor atau lambat. Penggunaan material ramah lingkungan merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk mendirikan bangunan berkonsep green building. Berkaitan dengan ketidaktersediaan lokasi, permasalahan lokasi yang tepat juga dapat membuat deadline rencana pembangunan menjadi tidak sesuai dengan perkiraan.

Kurangnya Keahlian

Kurangnya tenaga ahli juga menjadi salah satu faktor penghambat penerapan konsep bangunan hijau. Konstruksi pada bangunan hijau memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan konvensional, baik dari segi desain, teknik, dan perhitungan struktur.

Penggunaan material yang tidak umum juga menjadi tantangan sendiri bagi para pekerja yang belum memiliki pengalaman. Tentu sebuah bangunan tidak akan pernah berdiri tanpa adanya campur tangan para pekerja ini. Para pekerja ini dituntut untuk memiliki keahlian membangun bangunan berkonsep green building yang tentu saja berbeda dengan bangunan pada umumnya.

Dengan melihat contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bahwa penerapan arsitektur hijau menjadi sulit karena berbagai kendala. Masyarakat harus mulai mempertimbangkan untuk mengaplikasikan arsitektur hijau pada huniannya dengan berbagai kelemahannya. Masyarakat juga harus mulai memperhatikan berbagai aspek dalam mendirikan suatu bangunan. Hal tersebut menjadi pertanyaan yang harus dijawab masyarakat. Apakah ingin mendapatkan hunian yang ramah lingkungan dengan modal tinggi, atau hunian yang hanya membutuhkan modal minim tapi tidak environmental friendly?

Setelah melihat beberapa alasan yang telah dijelaskan, mungkin kita akan mulai meragukan konsep arsitektur hijau. Akan tetapi, hal ini tidak berarti penerapan arsitektur hijau bersifat sia-sia. Kita hanya perlu mencari alternatif lain. Kita bisa memulai dengan melakukan pendekatan yang berbeda, yaitu menggunakan material yang sederhana, murah, dan mudah didapatkan yang dapat mengurangi jejak karbon kita, seperti kayu atau bambu.

Apabila Anda menginginkan sebuah hunian yang memiliki konsep berbeda namun tidak memiliki modal yang tinggi, Anda bisa memilih beberapa alternatif konsep gaya arsitektur selain arsitektur hijau. Banyak sekali konsep arsitektur yang patut Anda lihat, salah satunya adalah konsep industrialis. Sesuai dengan namanya, konsep industrialis terinspirasi dari sebuah industri atau pabrik.

Menurut sejarah, konsep industrialis pertama kali diperkenalkan pada tahun 1700 yang lebih menitikberatkan pada efisiensi bangunan. Menurut Raisa Benata Ranti (2019), beberapa material yang digunakan pada bangunan konsep industrialis cenderung kasar dan keras seperti logam atau baja yang sengaja diekspos. Selain itu, material yang digunakan juga merupakan bahan-bahan yang dapat didaur ulang seperti kaca atau alumunium. Material-material tersebut cenderung mudah didapatkan dan harganya terjangkau karena sesuai dengan pertimbangan pada masa tersebut yaitu menghasilkan bangunan yang kuat dengan pemakaian material yang murah.

Dengan demikian, konsep arsitektur hijau yang digadang-gadang orang sebagai konsep arsitektur yang terbaik tak selamanya sempurna. Terdapat beberapa kelemahan yang patut diperhatikan pengembang maupun pemilik dalam mengaplikasikan konsep green building pada bangunan atau hunian. Akan tetapi, bukan berarti pembangunan arsitektur hijau harus dihentikan. Arsitektur hijau dapat menjadi solusi kita untuk mengendalikan perubahan iklim yang makin memburuk.

KELVIN SABASTIAN

Baca Juga