Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi Bas
Ilustrasi tebar benih ikan (Instagram/Puskesmas Sedayu)

“Interaksi tak hanya dengan makhluk hidup, dunia ini besar! Terbang dan berbiaklah. Peristiwa ini menjadi hal monumental terhadamu. Penjagaan dan perawatan juga wajib dilakukan untukmu! Karena, kami hidup di tubuhmu. Suatu waktu, kami akan menyatu kembali denganmu!”

Awan hitam pekat berhamburan di langit, angin sepoi mengiringi dan mempercepat gerak awan di atas, di ujung barat tertampak hujan yang lumayan lebat. Di perempatan ini, terlihat gagahnya tatanan janur kuning yang lengkung-melengkung, indah sekali dipandang. Ya! Keadaan alam yang tengah terjadi tidak mematahkan hari bahagia dari kedua mempelai, hari itu.

Upacara pernikahan menjadi sebuah peristiwa yang monumental bagi seorang manusia. Berbagai macam upacara dilalui untuk memohon keberkahan serta keberkatan dari sang pencipta. Berbagai simbol-simbol harapan ini terangkum menjadi satu dalam upacara pernikahan.

Beberapa waktu lalu, saat mendatangi rekan sejawat yang menikah, terdapat sebuah ritual yang tidak saya temui di desa saya, bahkan di desa sekitar saya di Klaten (meskipun kami hidup dalam lingkaran kultur yang sama), yakni tradisi tebar benih ikan di sungai.

Tradisi tebar benih ikan ini belum lama lahir. Kelahiran tradisi ini merespons akan fenomena pelestarian ekosistem sungai. Pengantin diwajibkan untuk menebar benih ikan untuk melestarikan ekosistem ikan di Sungai Lunyu. Meskipun dianggap baru, tetapi tradisi tebar benih ikan patut untuk dicerna bersama, mengingat urgensi kebermanfaatannya.

Tradisi

“Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah, dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi, maka manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya, dan mengubahnya.” (Van Peursen, 1976)

Tradisi pernikahan khususnya Jawa memang sudah menjadi budaya sejak zaman dulu. Senantiasa hadir dan menjadi hukum wajib bagi manusia Jawa. Dalam fenomena yang terjadi di atas, pernikahan ini terdapat penambahan upacara: tebar benih ikan. Hal ini merujuk pada pengantin baru yang melakukan tebar benih ikan ini.

Secara subyektif, penambahan adanya tradisi tebar benih ikan dalam upacara pernikahan ini patut untuk didukung. Hadirnya tradisi tebar benih ikan tidak mengubah esensi dari tradisi pernikahan itu sendiri. Justru adanya tradisi tebar benih ikan ini menjadi peristiwa monumental mengenai keselarasan terhadap alam.

“Tradisi boleh ditambah, tapi kalau dikurangi jangan.” Berikut kutipan pernyataan dari Abah Ugi, selaku ketua adat Kasepuhan Ciptagelar. Pernyataan tersebut sangat menarik dan relevan dengan keadaan saat ini. Tradisi yang telah tercipta sebelumnya sudah menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamya. Selain itu, tradisi yang sudah ada telah mengalami trail an error untuk menjadi sebuah keidealan bagi masyarakatnya. Hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melestarikan tradisi yang ada.

Selain pelestarian yang sudah ada, kiranya juga perlu adanya penambahan. Namun, penambahan ini perlu adanya koridor serta pertimbangan akan aspek kebermanfaatan. Sehingga, tidak mengurangi esensi dari tradisi sebelumnya, tidak merugikan unsur lain, serta mampu menyesuaikan kebutuhan dari kebutuhan saat ini. Tradisi tebar benih ikan saat pernikahan menjadi salah satu wujud dari penambahan tradisi tersebut. Sehingga, hal ini patut untuk didukung.

Lingkungan

Air adalah Kehidupan”. Tradisi tebar benih ikan secara gamblang lahir karena wujud pelestarian atau pengembalian ekosistem Sungai Lunyu yang dulunya “kritis”. Namun, di balik itu, terdapat manfaat lain yang terkandung dengan adanya tradisi tebar benih ikan ini. Ekosistem sungai yang baik akan meberikan kehidupan terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, mulai dari hadirnya ikan, memberikan serapan air yang bersih terhadap sumur-sumur warga, dan masih banyak lagi.

Adanya tradisi tebar benih ikan secara tidak langsung juga akan menghadirkan perilaku terhadap masyarakatnya: menjaga sungai. Tidak hanya menebar benih ikan, melainkan juga tidak membuang sampah di sungai. Hal ini sudah tidak menjadi argumen, melainkan adalah fakta lapangan. Pasalnya, perilaku yang hadir oleh masyarakatnya adalah tidak membuang sampah di sungai. Hal ini sejalan dengan ungkapan Van Peursen bahwa tradisi akan bercampur dengan aneka ragam perbuatan manusia secara keseluruhan. Sederhananya, tradisi (budaya) juga melahirkan perilaku.

Benar adanya bahwa air merupakan sumber kehidupan. Air patut untuk dijaga keberadaannya, demi kelestarian dari air itu sendiri, serta kehidupan masyarakatnya. Tradisi tebar benih ikan menjadi salah satu bentuk perawatan akan air tersebut, sehingga kelahiran akan tradisi ini perlu adanya pelestarian. Di samping itu, pola dari leluhur yang telah melahirkan tradisi senantiasa selaras dengan alam. Sebagai contoh adalah sedekah bumi, sedekah laut, dan berbagai tradisi lainnya. Hal ini sejalan dengan tradisi tebar benih ikan. Secara tidak langsung, tebar benih ikan merepresentasikan sedekah sungai. 

Memang sudah seyogyanya kita hidup selaras dengan alam, di mana alam memberikan oksigen, air, tanaman, dan berbagai macam hal untuk menghidupi makhluk di dalamnya. Pemberian alam ini seharusnya menjadikan kita sadar untuk memberikan imbal balik yang baik untuk alam. Tradisi tebar benih ikan menjadi salah satu bentuknya.

Selain itu, tradisi tebar benih ikan menjadi salah satu solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar Kalilunyu. Peristiwa ini kiranya menjadi salah satu contoh bagi masyarakat lain. Karena kemungkinan sangat banyak yang menemui permasalahan sama.

Selain itu, keberanian melahirkan tradisi baru patut untuk dilakukan sesuai dengan permasalahan dari masing-masing daerah. Asalkan selaras dengan unsur-unsur lain yang menyelimutinya, tidak ada yang terugikan, serta sesuai kebutuhan dari keadaan yang dihadapi. Tradisi menjadi sebuah pengikat antar sesame bahkan dengan alam dan sang pencipta. Dengan begitu, pelestarian akan tradisi menjadi penting. Begitu halnya, tradisi tebar benih ikan. Meskipun baru, namun setelah diuraikan ternyata sarat akan makna serta keselarasan berbagai unsur. Panjang umur tradisiku.

Supriyadi Bas